Jakarta – Lobi dagang ke negara-negara non-tradisional yang tengah digencarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dipandang tepat dalam mereduksi risiko di tengah perang dagang global. Karena itu, penyelesaian free trade agreement (FTA) maupun preferential trade agreement (PTA) ke pasar baru potensial diharapkan terus digenjot.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana dalam keterangannya seperti dikutip di Jakarta, Selasa, 30 Juli menyatakan, visi dari pembuatan FTA dan PTA amatlah bagus karena bisa menjaring potensi pasar yang lebih besar guna mengganti hilangnya nilai ekspor ke Amerika Serikat (AS) maupun China.
“Kita akan lebih mudah berdagang dengan negara-negara yang mempunya perjanjian dagang dengan Indonesia,” ujarnya.
Saat ini, menurutnya, sudah banyak perjanjian dagang yang digagas dan diupayakan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita. Namun, banyak yang di antaranya juga yang belum selesai. Ia berharap sampai akhir tahun, perjanjian dagang ke negara-negara Rusia, Asia Tengah, dan Asia Selatan bisa segera diselesaikan dan diimplementasikan.
Dirinya berpendapat, negara-negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di tengah gejolak global. Penggencaran lobi pasar nontradisional untuk ke depannya juga mesti terus digiatkan. Ini untuk semakin mengurangi ketergantungan perdagangan dengan China dan AS.
“Kalau kita bisa dagang ke mereka dengan lebih baik, bisa mengatasi masalah-masalah hubungan dengan Uni Eropa juga. Kalau tidak ada pembukaan pasar, kita semakin terpuruk. Artinya trade balance kita semakin merenggang karena dominasi kita ke AS kan tinggi ya,” paparnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, China dan Amerika Serikat (AS) masih menjadi pasar utama bagi Indonesia. Dalam periode Januari-Juni, total nilai ekspor ke China mencapai US$11,40 miliar; sementara nilai ekspor ke AS menyentuh US$8,33 miliar. Total nilai ekspor ke kedua negara tersebut mencapai 26,59% dari total ekspor Indonesia pada semester I-2019.
Upaya pencarian pasar produk nasional oleh Kemendag juga diamati dewan. Anggota Komisi VI DPR-R, Juliari Batubara mengungkapkan, pencarian pasar ini menjadi bagus karena pasar komoditas yang telah sekian lama jadi andalan ekspor nasional sudah tak lagi menggairahkan. “Oleh karena itu memang sudah tugasnya Kemendag untuk mencari market baru,” katanya.
Menurutnya pemerintah perlu mengutamakan negara-negara yang mampu menyerap ekspor produk dengan volume yang sangat besar. Tujuannya agar kondisi neraca perdagangan nasional yang masih defisit bisa kembali positif. Apalagi ini mengingat hamatan dagang yang coba dijatuhkan pada CPO Indonesia oleh negara-negara Eropa.
Ia berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dapat menjadi pembuka jalan bagi para pebisnis. Jadi, produk nasional bisa mendapatkan kemudahaan masuk pasar mancanegara. Masalahnya disadari tidak banyak produk domestik yang memiliki daya saing yang tinggi.
“Terus terang memang produk yang selama ini punya potensi di ekspor ya memang harus dibantu dicarikan marketnya,” imbuhnya.
Pengusaha, kata dia, memiliki kerterbatasan dalam melakukan ekspor. Alhasil hanya negara-negara tertentu saja yang bisa menjadi sasaran. Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk dapat menindaklanjuti FTA yang harus ditindaklanjuti dengan serius. Utamanya dengan negara-nagara dengan volume pasar yang besar.
Semntara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pun melihat pentingnya lobi perdagangan agar ekspor ke negara-negara mitra dagang bisa lebih mudah. Lobi perdagangan yang telah dilakukan Mendag pun perlu dilanjutkan dengan perjanjian perdagangan.
“Intinya kan kita berupaya untuk membuka pasar yang lebih luas. Karena untuk meningkatkan ekspor kan harus ada usaha yaitu kita nyari langganan dulu kan. Kalau kita mau jualan tapi kita malas nyari langganan, ya kita nggak akan bertambah jualannya,” tambahnya. (*)