oleh Paul Sutaryono
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) memberi imbauan agar bank melakukan merger sebagai langkah konsolidasi perbankan. Imbauan itu mendapat sambutan hangat. Simak saja, Bank Dinar merger dengan Bank Oke, sedangkan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC Indonesia). Selain itu, Bank Danamon merger dengan Bank Nusantara Parahyangan dan Bank Central Asia (BCA) memeluk Bank Royal. Terakhir, Bank Agris akan segera merger dengan Bank Mitraniaga.
Ada beberapa alasan mengapa bank harus melakukan merger. Satu, skala ekonomi (economies of scale). Aksi korporasi model ini merupakan sasaran alamiah dari merger horizontal seperti ketika dulu bank pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) meluncurkan produk layanan ATM Bersama. Dengan demikian, nasabah Bank Negara Indonesia (BNI) dapat mengambil uang di tiga automatic teller machine (ATM) bank pemerintah lainnya: Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Begitu pula sebaliknya.
Dua, integrasi vertikal ekonomi (economies of vertical integration). Alasan ini biasanya dilakukan perusahaan besar yang ingin mengawasi seoptimal mungkin proses produksi. Hal ini dilaksanakan dengan mendekati sumber bahan mentah dan pelanggan utamanya (prime customers).
Tiga, supaya mampu mengombinasikan sumber daya pelengkap (complementary resources). Sering kali bank mini malah mempunyai produk yang unik, katakanlah kredit mikro, tapi hanya memiliki sedikit kantor sebagai saluran distribusi (distribution channel).
Dengan bahasa lebih bening, sasaran pengembangan dan pemasaran produknya menjadi kurang bernas. Kekurangan itu akan tertutupi oleh bank raksasa dengan infrastruktur komplet (memiliki banyak kantor, teknologi canggih, dan manajemen yang mumpuni). Nah, kombinasi ini bakal melahirkan sinergi yang wow.
Empat, yang merupakan alasan pamungkas, merger dianggap sebagai penggunaan dana yang berlebih. Pendapat ini mengatakan bahwa bisa saja terjadi pada suatu perusahaan yang memiliki dana lebih, tapi dana itu tidak dibagikan kepada pemegang saham (shareholders). Sebaliknya, mereka justru melihat kesempatan investasi yang menguntungkan dengan melakukan merger yang dibiayai dengan dana tunai (cash). Langkah ini merupakan salah satu cara untuk menyebarkan (redeploy) modal mereka.
Lantas, bagaimana dengan rencana merger antara Bank Agris dan Bank Mitraniaga? Merger kedua bank itu dilakukan karena sama-sama di bawah satu bank (pemilik), yakni Industrial Bank of Korea (IBK) dari Korea Selatan.
Sudah semestinya konsolidasi perbankan lebih ditujukan pada bank papan bawah, terutama yang sulit menambah modal minimum. Makin kecil jumlah bank yang kini mencapai 114 bank, makin memperlancar tugas OJK dalam melakukan pengawasan. Dengan demikian, kasus perbankan dapat ditekan serendah mungkin karena pengawasan lebih intensif.
Dulu, ketika Bank Indonesia (BI) meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada 2004, bank sentral merencanakan untuk membagi bank nasional menjadi empat jenis bank. Pada lima-sepuluh tahun ke depan, perbankan nasional akan terdiri atas empat lapis.
Lapis pertama, dua sampai dengan tiga bank internasional dengan modal lebih dari Rp50 triliun. Lapis kedua, tiga sampai dengan lima bank nasional dengan modal di atas Rp10 triliun dan Rp50 triliun. Lapis ketiga, 30-50 bank dengan segmen usaha tertentu dengan modal antara Rp100 miliar dan Rp10 triliun. Lapis keempat, bank perkreditan rakyat (BPR) dengan modal minimal Rp100 miliar.
Namun, setelah berjalan selama 10 tahun, ternyata program API itu belum terlaksana sama sekali. Tentu, hal ini merupakan tantangan serius bagi OJK untuk melakukan revitalisasi API tersebut. Ringkas kata, regulator perbankan nasional belum mengatur merger dan akuisisi secara terang benderang.
Lagi-lagi, bagaimana arah bisnis pascamerger antara Bank Agris dan Bank Mitraniaga? Langkah strategis apa saja yang layak diambil supaya merger itu membuahkan sinergi sesuai dengan yang diharapkan?
Pertama, bagaimana asal-usul kedua bank itu. Awalnya Bank Agris bernama PT Finconesia pada 1970, kemudian berubah menjadi Bank Finconesia pada 1993, dan berubah nama menjadi Bank Agris pada 2008. Bank Agris diakuisisi IBK pada 15 Januari 2019. Sementara itu, Bank Mitraniaga berdiri pada 1989 dengan pemegang saham berubah-ubah, lalu diakuisisi IBK pada 28 Januari 2019.
Kedua bank itu merupakan penghuni bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 yang bermodal inti di bawah Rp1 triliun. Untuk itu, merger bertujuan menjadikan mereka sebagai penghuni BUKU 2 dengan modal inti Rp1 triliun-Rp5 triliun sehingga mampu berkiprah lebih luas karena naik kelas. Itulah betapa pentingnya modal bagi bank untuk menepis aneka potensi risiko, seperti risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas.
Kedua, sesungguhnya sebagian merger itu dilakukan untuk memenuhi aturan kepemilikan tunggal (single present policy/SPP) pada perbankan bahwa semua pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. Aturan itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 39/POJK.03/2017. Demikian pula dengan Bank Agris yang segera merger dengan Bank Mitraniaga. Mengapa? Karena, kedua bank itu berada di bawah satu bank, IBK.
Namun, terdengar kabar bahwa OJK akan melakukan revisi terhadap aturan itu sehingga satu pihak boleh menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank atau lebih. Namun, jangan lupa bahwa perubahan itu justru akan mengganggu tujuan konsolidasi perbankan itu sendiri, yakni menekan jumlah bank yang terlalu banyak saat ini.
Jumlah bank yang terlalu banyak akan membuat OJK sebagai pengawas bank makin sulit untuk melakukan pengawasan. Mengapa? Karena, keterbatasan auditor OJK, sedangkan tugas OJK begitu luas. Ketika fungsi pengawasan beralih dari BI ke OJK, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal dan perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, seperti pergadaian, lembaga penjaminan, dan lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
Ketiga, dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17/12/PBI/2015 Tanggal 3 Agustus 2015, BI mewajibkan bank untuk mengucurkan kredit ke segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minimal 20% dari total kredit. Pengucuran kredit itu dibagi menjadi empat tahapan: minimal 5%, 10%, 15%, dan 20% masing-masing pada 2015, 2016, 2017, dan 2018.
Namun, banyak bank, terutama bank papan atas, yang belum memenuhi target itu. Untuk itu, bank pascamerger perlu menggandeng bank papan atas untuk menggarap kredit UMKM melalui channelling. Dengan kerja sama demikian, bank papan atas akan mencapai target, sedangkan bank papan bawah akan menikmati margin yang tebal. Solusi yang sama-sama gurih (win win solution).
Keempat, bank pascamerger wajib menggabungkan bukan hanya sistem dan prosedur (standard operating procedure atau SOP), melainkan juga sistem teknologi dan informasi serta budaya kerja sebagai potensi risiko jika integrasi kurang berhasil. Namun, jika berhasil, bank pascamerger akan menikmati sinergi merger berupa kelancaran operasi perbankan. Penyatuan budaya kerja akan memakan waktu lebih lama, tapi akan menjadi faktor pendorong keberhasilan ke depan.
Budaya kerja yang kuat akan membangkitkan motivasi pegawai untuk bekerja lebih produktif. Budaya kerja juga tampak kasatmata. Ketika kita masuk bank, satpam langsung membukakan pintu sambil tersenyum, menyapa, dan menanyakan transaksi perbankan apa yang akan dilakukan, kemudian menunjukkan loket yang dituju. Itu merupakan budaya melayani nasabah.
Kelima, potensi risiko lain yang wajib dihadapi adalah kehilangan pegawai yang berpengalaman, berpengetahuan, dan berintegritas tinggi. Mengapa? Karena, merger sedikit banyak akan mengakibatkan pengurangan pegawai.
Keenam, kehilangan nasabah, terutama nasabah inti, juga bisa menjadi potensi risiko bila merger tak berjalan mulus. Jangan lupa, nasabah ingin dimanja sebagai raja. Intinya, pelayanan nasabah harus tetap prima.
Ketujuh, bank pascamerger wajib mengerek kualitas kredit dengan menekan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang mencapai 5,45% (Bank Agris) dan 2,39% (Bank Mitraniaga) di tengah ambang batas 5%. NPL tinggi mendorong cadangan makin tinggi sehingga menggerus laba tahun berjalan, bahkan modal.
Dengan aneka langkah strategis demikian, merger Bank Agris dan Bank Mitraniaga akan berjalan lancar. Bisnis pun kian gemerincing. (*)
Penulis adalah staf ahli Pusat Studi BUMN (PSB), pengamat perbankan, dan mantan Assistant Vice President Bank Negara Indonesia (BNI)