oleh Sigit Pramono
SAHABATKU kaum profesional, saya yakin para sahabat tahu bahwa hingga saat ini menjelang sidang Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang terus menuduh bahwa Pemilu 2019, yang diselenggarakan oleh KPU dan diawasi Bawaslu, adalah pemilu yang penuh kecurangan terstruktur, sistematis dan masif.
Bagi generasi saya yang sekarang berumur antara 55-65 tahun,
saya yakin masih ingat bagaimana kita dulu pernah mengalami beberapa kali pemilu yang penuh kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif di era pemerintahan Orde Baru, masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Dulupun sebagian dari kita barangkali sudah sadar mengenai adanya kecurangan itu, tetapi tidak berdaya karena pemerintah yang sangat otoriter di masa itu.
Saya ingin mengulang lagi sebagian dari apa yang sudah pernah tulis sebelumnya. Apa ciri-ciri Pemilu yang penuh kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif itu?
Ini dia ciri2 nya :
1. Penyelenggara Pemilu adalah Penguasa/Pemerintah. Bukan lembaga independen non-pemerintah.
2. Semua organisasi yang terkait dengan pemerintah, pejabat pemerintah, eksekutif BUMN, termasuk pegawai negeri dan BUMN dimobilisasi untuk mendukung dan memilih partai Pemerintah (Golkar).
3. Sebagian besar TPS didirikan di kantor lembaga pemerintahan dan atau kantor BUMN.
4. Hari Pemilu bukan hari libur.
5. Karena ciri 3 dan 4 di atas maka di semua TPS yang didirikan di kantor2 , partai pendukung Pemerintah (Golkar) pada umumnya menang 100%. Pegawai negeri atau pegawai BUMN yang tidak memilih Golkar akhirnya pasti akan ketahuan atau tertangkap setelah diinterogasi habis2an. Yang tidak memilih Golkar akan terkena sanksi dari yang paling ringan yaitu dapat konduite (penilaian kinerja) jelek hingga yang paling berat yang bisa berujung kepada pemecatan.
6. Partai Pendukung Pemerintah (Golkar) selalu menang mutlak. Itulah sebabnya mengapa Soeharto bisa berkuasa 30 tahun lebih.
7. Hasil pemilu sudah bisa diketahui, bahkan sebelum pemilu dilaksanakan. Masyarakat sudah tahu hasilnya, dan sudah dapat memastikan siapa yang menang. Orang bercanda hasilnya sudah dapat diketahui lebih cepat dari metode Quick Count sekarang ini.
Bagaimana dengan pemilu setelah Era Reformasi, khususnya Pemilu 2019?
Apakah Pemilu 2019 sekarang ini memiliki ciri2 yang mengindikasikan terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan masif?
Mari kita lihat fakta2nya:
1. Penyelenggara pemilu bukan Pemerintah, melainkan lembaga independen (Bawaslu sebagai pengawas, KPU sebagai penyelenggara). Anggota Bawaslu dan Komisioner KPU direkrut oleh panitia seleksi independen, kemudian Presiden mengusulkan ke DPR dan diputuskan dan disahkan oleh DPR. Jadi Dari prosesnya saja terlihat bahwa Bawaslu dan KPU itu independen dan pemilihan mereka melalui DPR yang artinya melibatkan semua unsur politik. Sungguh mengherankan jika masih ada yang menyangsikan independensi Bawaslu dan KPU. Dan repotnya lagi menyangsikan independensi KPU setelah Pemilu selesai dan diumumkan hasilnya. Bukan sebelumnya.
2. Dari pengumuman KPU diketahui hasil pilpres 2019 bahwa Presiden Petahana sekaligus Capres 01, hanya menang sekitar 55,5%.
3. Tidak ada TPS di kantor-kantor Pemerintah/ BUMN. Sehingga pegawai negeri/ BUMN bebas memilih calon presiden siapapun, dan partai manapun tanpa ketakutan ketahuan pilihannya.
4. Hari pelaksanaan pemilu ditetapkan sebagai hari libur.
5. Dari fakta 3 dan 4 di atas dan diperkuat dengan hasil survei yang mengatakan bahwa 72% PNS/ pegawai BUMN pada Pilpres 2019 memilih Capres 02, jelas bahwa Capres 01 sebagai Presiden Petahana, sekurang-kurangnya tidak terbukti melakukan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif. Capres 01 terbukti tidak memobilisasi pegawai negeri dan pegawai BUMN agar memilih Calon 01.
6. Partai Pendukung Pemerintah ternyata tidak ada yang menang lebih dari 20%. Bahkan di beberapa daerah, presiden petahana bisa kalah telak. Demikian pula dengan partai pendukung Pemerintah/ presiden petahana di beberapa daerah justru kalah mutlak.
Para sahabat kaum profesional, kita paham sebetulnya secara hakiki perwujudan people power atau kedaulatan rakyat yang paling nyata adalah pemilu, yang meliputi pilpres, pileg, pilgub, pilbup, pilwalkot, pileg daerah. Pada saat Pemilu Rakyat menentukan pilihannya secara bebas, tanpa tekanan.
Dalam proses demokrasi, kedaulatan rakyat yang paling penting telah selesai diwujudkan dan berhenti pada saat pemungutan suara. Selesai pada saat rakyat secara perorangan mencoblos. Karena proses berikutnya, yaitu penghitungan hasil dari pemungutan suara adalah persoalan matematika sederhana.
Tetapi justru karena persoalan perhitungan suara adalah persoalan matematika yang logis, maka jika ada kecurangan maka kecurangan itu akan meninggalkan jejak dan pola yang jelas. Dan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif akan menimbulkan pula jejak dan pola yang terstruktur sistematis dan masif, pada hasil perhitungan di setiap tahap atau tingkatan.
Mulai dari perhitungan di TPS, RT/RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten/ Kota, jejak kecurangan itu akan terekam dan terbaca.
Kalau melihat hasil dari perhitungan pilpres 2019 seperti di atas, ternyata tidak ada jejak dan pola mengenai adanya kecurangan.
Terbukti Capres Petahana tidak menang mutlak, bahkan di beberapa TPS, desa, kecamatan, kabupaten dan daerah kalah telak. Bahkan pegawai negeri dan BUMN malah 72% memilih bukan capres petahana.
Jadi di mana letak kecurangan terstruktur, sistematis, masifnya?
Para sahabat kaum profesional, sebetulnya bangsa kita harus bangga dengan apa yang sudah kita capai dalam proses pendewasaan demokrasi hingga saat ini. Dalam rentang waktu sejak pasca reformasi 1997/1998, kita terbukti mampu menyelenggarakan beberapa kali pemilu, pilpres, pileg, bahkan pada tahun 2019 ini dilakukan secara serentak untuk pilpres dan pileg, dan pemilihan perwakilan daerah. Secara kualitatif penyelenggaraan pemilu-pemilu pascareformasi yang diselenggarakan oleh lembaga independen di luar pemerintah, berlangsung dengan sangat damai, jujur adil dan terbuka. Bahkan prestasi kita ini diakui dan diapresiasi negara-negara lain. Tetapi sayangnya pada ujung proses pemilu 2019 ini dinodai oleh kerusuhan yang diprovokasi oleh beberapa elite politik, yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian material dan non material yang sangat besar.
Kita harus terus dorong agar para tokoh politik, tokoh agama, pemuka masyarakat, para politisi, untuk bersikap arif, memberikan tauladan menahan diri dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Jangan memprovokasi rakyat biasa, orang awam, akar rumput.
Jika dalam penyelenggaraan pemilu pasca reformasi dipandang masih ada kelemahan dan kekurangannya, mari kita perbaiki bersama. Jangan menghancurkan ‘bangunan demokrasi’ yang sudah susah payah kita bangun bersama beberapa dekade ini.
Saya memahami bahwa dalam pemilu-pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi, mungkin saja masih ada kecurangan-kecurangan. Tetapi kecurangan itu barangkali bersifat minor dan dilakukan oleh oknum. Saya yakin kecurangan minor itu bisa merugikan dan atau menguntungkan kedua belah pihak. Menimpa kedua belak pihak. Artinya secara matematis kecurangan kecil yang terjadi bisa saling menihilkan (square, bakbuk). Kesimpulannya kecurangan yang terjadi tidak signifikan. Jauh dari apa yang disebut sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif, Sangat berbeda dengan kecurangan-kecurangan seperti yang terjadi pada pemilu era Orde Baru.
Ayo bung kita perbaiki bersama, jika masih ada kelemahan dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu. Jangan merusak apa yang sudah susah payah kita bangun bersama.
Ayo bung, para kaum profesional, kelompok masyarakat yang dikenal sebagai kelompok silent majority seperti kita2 ini, jangan tinggal diam.
Saatnya kelompok Silent Majority bersuara!
Saya juga berharap para cendekiawan di bidang statistik, matematika dan sebagainya, ikut menyuarakan pendapatnya agar masyarakat memahami. Ayo kita lawan penyebar berita bohong dan hoax yang menyesatkan masyarakat dengan penjelasan yang masuk akal.
Terima kasih para sahabat kaum profesional atas perhatiannya, semoga informasi yang saya bagikan ini bermanfaat. Khususnya bagi generasi di bawah saya yang belum pernah mengalami pemilu curang yang terstruktur, sistematis dan masif. (*)
Sigit Pramono, adalah seorang profesional non partisan, yang berkarir lebih dari 30 tahun di sektor keuangan, termasuk di BUMN dan Swasta