oleh Eko B Supriyanto
PEKAN ini, terdengar nyaring dampak buruk dari Perang Dagang China-AS. Ekonomi global melambat dan Indonesia sudah mulai terkena dampak dari perlambatan ekonomi dunia. Negara Perdagangan RI defisit (US$2,564 miliar), atau terbesar sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Penerimaan Negara juga sudah mengalami perlambatan. Rupiah tertekan dan Pasar Modal mengalami hal yang sama dengan menyusutnya kapitalisasi pasar sebesar Rp400 triliun.
Sementara Indonesia masih berkutat pada persoalan 21 tahun lalu, yaitu penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Lihat saja, pekan yang sama, ketika tekanan ekonomi global makin tidak pasti, Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan akan menetapkan Sjamsul Nursalim (SN) sebagai tersangka SKL-BDNI.
Sangkaan KPK ini tidak terlepas dari putusan hukum yang diterima Syafruddin A. Tumenggung (SAT), Ketua BPPN tahun 2002-2004, pada September 2018 lalu (meski belum berkekuatan hukum tetap karena masih di Mahkamah Agung).
Sjamsul Nursalim adalah pemegang saham BDNI yang sudah menyelesaikan kewajibannya. Pemegang saham BDNI itu dinyatakan kooperatif, karena telah menanda tangani MSAA (Master Sattlement Acquisition Agreement), lalu mendapat release and discharge (R & D) dan sudah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Pemerintah yang sah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bahkan, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 pemberian SKL-BDNI sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sjamsul Nursalim merupakan salah satu obligor dari sembilan obligor yang sudah membuat perjanjian MSAA dan MRNI, dan hanya BCA dan DBNI yang sudah mendapat release and discharge. Prinsip penyelesaian out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan) bagi yang koorperatif dan memenuhi kewajiban sudah dipenuhi oleh Sjamsul Nursalim.
Sementara yang tidak kooperatif dan tidak memenuhi kewajibannya harusnya diselesaikan lewat hukum, dan faktanya banyak yang tidak menyelesaikan. Dari 48 bank penerima BLBI, hanya 7 bank yang menandatangani Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dsn 41 bank tidak menandatangani. Sampai BPPN ditutup Februari 2004, mayoritas pemegang saham dari bank penerima BLBI tidak membayar.
Menurut catatat, ada tiga jenis perilaku penerima BLBI, satu menandatangani PKPS dan membayar lunas kewajibannya. Dua menandatangi PKPS tapi hanya membayar sebagian atau tidak membayar, dan ketiga tidak menandatangi dan tidak membayar.
Jika demikian kasus SKL BDNI masuk kelompok koorperatif, menandatangani PKPS dan menyelesaikan kewajiban. Akan tetapi, penyelesaian BLBI oleh BNI tetap diusut dan timbul tenggelam setiap menjelang pemilihan Komisioner KPK. Sementara yang tidak kooperatif dan tidak memenuhi kewajiban BLBI nya tetap tidak diusut. Dan, kalau ada yang diusut banyak yang dibebaskan, atau mendapat hukuman ringan.
Kepastian hukum menjadi barang langka. Harusnya pelaksanaan penegakan hukum berlandaskan manfaat dan berkeadilan, serta sekaligus memberi kepastian hukum. Tidak ada kepastian hukum, dan sepertinya hukum makin rumit. Kenyataan ini memberi pengaruh buruk bagi perkembangan ekonomi dan kepastian berusaha. Bahkan, menimbulkan persepsi buruk bagi dunia usaha dan investor asing.
Kasus BLBI adalah kasus “luka lama” yang tidak boleh terulang lagi. Tapi, tanpa kebijakan BLBI pada waktu itu dengan krisis ekonomi yang membuat ekonomi drop sampai minus 13 persen diharapkan dapat menghidupkan bank-bank kembali. Faktanya, adanya BLBI dan hadirnya BPPN dapat menghidupkan kembali bank-bank. Fungsi intermedias kembali berjalan, bank medorong perekonomian dan menghasilkan pajak untuk kas Negara.
Timbul tenggelamnya kasus BLBI ini jelas menyiratkan ketidak pastian hukum. Padahal, lima Presiden sejak Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan kasus BLBI merupakan rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis. Di dalamnya program penjaminan, penyehatan dan rekapitalisasi perbankan, program PKPS, dan program divestasi. Semua kebijakan itu sudah melalui proses politik saat itu dan mendapat landasan hukum yang sah.
Landasan hukum yang sah, antara lain; UU No.25/2000 tentang Propenas, TAP MPR Nomer X tahun 2001, Tap MPR No.VI/2002 dan Inpres No.8/2002. Bahkan, BPK pun sudah menyelesaikan audit terhadap kinerja BPPN termasuk di dalamnya SKL BDNI. Jika demikian, boleh tidak setuju atas apa yang diputuskan, tapi kita semua sudah selayaknya menghargai kebijakan Pemerintah dan menghormati keputusan yang diambil.
Dampak ketidakpastian dalam penyelamatan perbankan ini akan berpengaruh buruk bagi masa depan investasi di Indonesia. Apalagi, kasus BLBI yang sudah berusia 21 tahun dan di utak-atik lagi dengan tidak mengindahkan perjanjian yang sudah disepakati (MSAA), release & discharge dan SKL akan menjadi “reklame” buruk bagi Indonesia.
Apalagi, hasil audit BPK tahun 2017 yang dijadikan dasar kerugian Negara sangat berbeda dengan hasil audit BPK tahun 2006. Objek audit sama, hasilnya berbeda. Jelas, di sini BPK seperti terkesan menerima “order” karena tidak memeriksa yang diaudit. Menghitung kerugian Negara juga janggal, yang jual Perusahaan Penjualan Aset (PPA) yang harus bertanggung jawab SAT. Nah, bagaimana kalau aset itu dijual sekarang? Tentu akan menguntungkan Negara karena harga tanah sudah pasti naik.
Juga , dengan vonis kepada SAT akibat kebijakannya soal SKL-BDNI akan menjadi semacam trauma bagi pengambil kebijakan hari ini. Meski ada protokol krisis, tapi siapa yang berani ambil kebijakan jika 10 tahun mendatang kebijakannya akan dipermasalahkan. Seringkali kita menyaksikan hal ini, kebijakan diungkit kembali dan dikriminalisasi termasuk terakhir yang menimpa Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina.
Tentu tidak bisa melihat kebijakan masa lalu dilihat dengan kaca mata sekarang ini – yang sudah pasti dengan dimensi waktu dan suasana kebatinan yang tentu berbeda. Krisis global bukan tak mungkin akan menghampiri Indonesia. Jika kapastian hukum “jauh api dari panggang” maka Indonesia bisa jadi kalah menarik dari Vietnam yang memberi karpet merah bagi investasi.
Bukan hendak membela Sjamsul Nursalim, tapi ia merupakan sosok pengusaha yang sudah 50 tahun di Indonesia. Grup usahanya besar dan mempekerjakan karyawan. Saat ini, ratusan ribu tenaga kerja yang dihidupi dan pembayar pajak bagi kas Negara. Jika urusan perdata seperti BLBI bisa jadi bisa diajak bicara, tapi karena harus melaksanakan perjanjian MSAA – meski tidak setuju — semua pihak harus menghormati.
Apakah masih ada kepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat, jika Sjamsul Nursalim yang sudah menyelesaikan kewajibannya harus dijadikan tersangka di usia 77 tahun? Sementara obligor yang tidak menyelesaikan kewajiban BLBI masih “kipas-kipas” di luar. Untuk itulah, mereka yang tidak membayar harus segera dibereskan lewat langkah hukum, jangan sampai terkesan, membereskan kasus SKL-BDNI sudah menyelesaikan keseluruhan kasus BLBI.
Jika benar penetapan Sjamsul Nursalim yang kasusnya sudah kadaluarsa (21 tahun) sebagai tersangka oleh KPK, maka akan berdampak buruk bagi kepastian berusaha di Indonesia. Mari menatap Indonesia lebih cerah dengan Pemerintahan Jokowi-Mar’uf lima tahun ke depan. (*)
Penulis adalh Pimpinan Redaksi InfoBank