Jakarta — Bank Commonwealth menilai, pada bulan April menjelang ajang pemilihan umum (Pemilu), investor asing kembali melirik pasar Indonesia. Setelah sebelumnya pasar saham Indonesia tercatat mengalami kenaikan di bulan Maret 2019 sebesar +0,39 persen setelah sebelumnya terkoreksi pada bulan Februari 2019.
“Dalam menentukan apakah pasar saham suatu negara akan positif atau tidak, data historis memang dapat
dijadikan acuan, namun ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seperti hasil laporan keuangan emiten, fundamental ekonomi, serta iklim investasi suatu negara,” kata Head of Wealth Management & Client Growth
Bank Commonwealth Ivan Jaya, melalui keterangan resminya di Jakarta, Rabu, 10 April 2019.
Sejak bulan Maret 2019, Investor global kembali melihat emerging market sebagai tujuan investasi, seiring
dengan data indikator ekonomi yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, terutama dari melambatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara maju tersebut disebabkan oleh keyakinan pelaku usaha yang melemah, ekspor yang menurun, masalah Brexit yang masih belum selesai di Eropa, dan belum meredanya ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok.
Selain itu, perundingan perang dagang kembali menjadi sentimen yang menggerakkan pasar keuangan selama bulan Maret 2019. Setelah sebelumnya diharapkan akan dapat diselesaikan di bulan Maret 2019, perjanjian
perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok masih belum menemukan titik temu, hingga di awal bulan April 2019, President AS Donald Trump baru mengatakan bahwa perjanjian perang dagang kemungkinan akan diselesaikan satu bulan kedepan, yakni sekitar bulan Mei 2019.
Di bulan April 2019, investor asing akan mencermati pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia, ada beberapa kemungkinan investor asing akan coba mengambil langkah awal terlebih dahulu atau mungkin juga masih wait and see hingga hasil Pemilu keluar.
Namun berdasarkan data historis di tiga pemilu sebelumnya, pasar saham
Indonesia menghasilkan return yang positif dalam jangka waktu 6 bulan setelah pelaksanaan Pemilu. Enam
bulan setelah Pemilu 2004, IHSG naik sebesar 41 persen, sementara di tahun 2009 enam bulan setelahnya naik sebesar 25 persen, dan di tahun 2014 IHSG mencatatkan return sebesar 4 persen.
Ivan melanjutkan, berdasarkan data Bloomberg, laporan keuangan emiten Indonesia sepanjang tahun 2018
masih tercatat positif. Kemudian, secara fundamental, ekonomi Indonesia juga masih masuk kategori baik,
ditambah dengan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga iklim ekonomi yang kondusif adalah bahan bakar
untuk pertumbuhan ekonomi 2019 yang diprediksi ada di kisaran 5,0-5,4 persen.
Ditambah faktor eksternal, dengan kondisi tahun 2019 ekonomi negara maju diperkirakan akan melambat, sedangkan pertumbuhan ekonomi negara berkembang masih stabil akan menjadi umpan yang menarik bagi Investor asing untuk masuk
ke pasar keuangan Indonesia.
“Dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang umumnya bergerak positif ke
pertumbuhan pasar saham, untuk investasi yang sifatnya jangka menengah – panjang (minimal 1 tahun), kami
lebih melihat reksa dana saham sebagai pilihan utama dengan mempertahankan alokasi saham sebesar 70 persen
di dalam portofolio. Karena di tahun 2019 ini, potensi kenaikan saham lebih menarik dibandingkan dengan
aset kelas lainnya,” jelas Ivan. (*)