Jakarta – Banyak perusahaan sekarang yang memakai tenaga kerja melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan outsourcing.
Dalam dunia usaha, penggunaan jasa outsourcing memang sudah tidak asing lagi. Hanya saja, tidak semua orang paham tetang hal ini, ditambah lagi ada berita-berita yang negatif seputar karyawan outsourcing ini, bahkan ada yang berlanjut ke ranah hukum.
Contohnya adalah pada kasus PT Jakarta International Container Terminal (JICT), perusahaan ini biasa memakai tenaga kerja outsourcing. Pada 31 Desember 2017 kerja sama PT JICT dan perusahaan penyedia outsourcing, PT Empco berakhir, otomatis 400 karyawan outsource di bawah PT Empco harus putus kontraknya.
Sebenarnya hal yang wajar saja, bahkan ketika PT JICT mengontrak karyawan outsource baru, di bawah PT Multi Tally Indonesia, yang memang keluar sebagai pemenang tender perusahaan penyedia outsourcing berikutnya.
Yang terjadi kemudian adalah, para karyawan yang di bawah naungan PT Empco, menolak pemutusan hubungan kerja. Dan yang lebih tidak masuk akal, Serikat Pekerja JICT (SPJICT) menuntut perekrutan karyawan outsource tersebut untuk menjadi karyawan tetap.
Definisi outsourcing, adalah penyerahan pekerjaan oleh pengusaha kepada perusahaan lain, untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan produksi pokok atau pekerjaan utama di perusahaan tersebut.
Peraturan mengenai gaji atau sistem pengupahan akan ditentukan pada pemberlakuan sistem kontrak yang dilakukan di awal perjanjian.
Apakah mereka juga bisa membentuk dan mewakili “serikat pekerja” di perusahaan tempat mereka dikontrak?
Menurut Ketua Umum Indonesian Outsourcing Association – IOA ABADI (Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia), Greg Chen, di berbagai negara termasuk Indonesia, umumnya keberadaan Serikat Pekerja (SP), mewakili keberadaan pekerja permanen.
“Memang secara khusus ditemukan di Jepang, keberadaan para pekerja alih daya atau pekerja kontrak bisa diwakili SP. Jadi sistem kerja mereka diikat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),” ujarnya.
Greg mengaku tidak pernah mendengar ada SP yang kehadirannya mewakili pekerja alih daya atau pekerja kontrak di Indonesia.
Keberadaan para pekerja yang sistem kerjanya diikat dengan PKWT, diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Namun demikian tidak menutup kemungkinan, SP merasa turut menjadi perwakilan para pekerja kontrak dalam perusahaan. Biasanya, pembentukan SP dilandasi adanya anggapan perusahaan kerap tidak menjalankan obligasi dasar.
Sebab, jika perusahaan sudah menjalankan kewajiban mereka selaku pemberi kerja, maka biasanya SP tidak dibentuk.
Greg menegaskan, kendati di Indonesia tidak ada SP untuk perusahaan alih daya, namun diakui di tahun yang lalu banyak juga penyalahgunaan UU Tenaga Kerja. Hal itulah yang mendorong munculnya protes dari sejumlah SP.
Lalu, bagaimana jika ada peruasahaan pemberi kerja yang mem-PHK secara sepihak terhadap karyawan outsourcing-nya yang tergabung dalam Serikat Pekerja?
Greg mengatakan harus dilihat dulu bagaimana ketentuan yang diberlakukan klien yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) kedua belah pihak.
“Masalah biasanya terjadi bila kontrak kerja tidak diperpanjang. Sesuai ketentuan perundang-undangan, sah saja memutus kontrak atau PHK saat di tengah jalan. Tapi Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani. Jika semua regulasi diikuti umumnya tidak akan terjadi masalah,” papar Greg.
Di bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan, dan perbankan, bila aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik, maka akan berjalan mulus. Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh vendor. Ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati, mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit, dan menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartite dengan karyawan atau pekerja,“ kata CEO PT Outsource Indonesia ini. (*)