Jakarta – Impor jagung dinilai masih sulit untuk dihindari. Hal ini lantaran produksi jagung domestik yang belum dapat memenuhi kebutuhan secara nasional. Apalagi, hasil jagung di Indonesia memiliki kadar air yang lebih tinggi yakni di atas 15 persen.
Pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Peneliti Visi Teliti Saksama Nanug Pratomo di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2019. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya menghindari impor jagung.
“Jagung kita ini punya kadar air yang tinggi. Seharusnya semakin rendah semakin baik, yaa paling tidak di bawah 15 persen lah minimal,” ujarnya.
Selain itu, rantai distribusi jagung yang panjang juga menyebabkan harga yang meningkat. Setidaknya ada lima rantai distribusi dari petani jagung ke konsumen. “Rantai distribusi kita itu dari petani, ada pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, baru ke konsumen. Makanya harganya mahal,” ucapnya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, bahwa selama ini persyaratan standar untuk jagung tersebut sulit untuk dipenuhi oleh para petani di Indonesia dalam negeri, maka impor jagung juga sulit dihindari.
“Selama produksi jagung kita belum memnuhi kebutuhan dalam negeri yaa masih susah. Impor jagung masih dibutuhkan sebagai upaya untuk pemenuhan konsumsi jagung domestik, terutama untuk pakan,” tukasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor jagung selama 2018 mencapai 737.228 ton, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 517.419 ton. Namun impor jagung tersebut jauh lebih rendah dibandingkan 2014 yang mencapai 3,24 juta ton, 2015 mencapai 3,26 juta ton, dan 2016 yang 1,13 juta ton. (*)