Jakarta – Tahun politik 2019 dinilai tidak akan mempengaruhi dunia investasi secara negatif. Justru jika dilihat dari sejarahnya, setiap tahun politik dunia investasi selalu membaik.
Pasar surat utang atau obligasi misalnya, Direktur Indonesia Bond Pricing Agency ( IBPA) Wahyu Trenggono menjelaskan, jika ingin melihat kondisi pasar obligasi bisa dilihat dari kurva imbal hasil atau yield curve. Semakin rendah yield curve-nya maka semakin baik kondisi pasar.
Sebab semakin tinggi si penerbit obligasi memberikan yield maka artinya semakin rendah kemungkinan penerbit membayar utangnya, atau semakin tinggi potensi default pembayarannya.
“Kenapa? karena investor minta kompensasi lebih tinggi kalau resikonya lebih tinggi,” terangnya di Gedung BEI, Jakarta, Jumat, 15 Febuari 2019.
Wahyu menjabarkan, pada Desember 2008 yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun berada di posisi 12%, lalu pada Desember 2013 ada di hampir 9%. Sementara untuk tahun ini yield SUN berada di sekitar 8%. Itu artinya kemungkinan Indonesia berstatus default semakin kecil.
“Yield-nya semakin rendah. Jadi investor melihat pemilu sebagai risiko tidak besar. Itu bagus, karena di beberapa saat tahun politik yieldnya meningkat,” tambahnya.
Selain itu kondisi tahun politik saat ini hampir sama dengan tahun politik sebelumnya, yakni pada 1 tahun sebelumnya terjadi turbulensi ekonomi. Pada 2008 misalnya terjadi krisis keuangan, sementara 2018 juga hampir sama yakni nilai tukar rupiah yang begitu anjlok.
Jika dilihat lebih rinci lagi, menurut Wahyu pada beberapa bulan sebelum pemilu pasar obligasi volatilitasnya lebih tinggi. Kemudian pada saat bulan pemilu lebih stabil dan setelahnya kembali berfluktuasi.
“Kalau tidak volatile itu menurut saya agak slowing down. Orang lebih cenderung menahan diri untuk ambil posisi,” tuturnya.
Kendati demikian, biasanya pada tahun politik jumlah penerbitan obligasi akan lebih rendah. Sebab mereka para issuer cenderung lebih menahan diri.
Pada 2014 misalnya, jumlah penerbitan obligasi korporasi hanya Rp47,57 triliun, turun dari 2013 sebesar Rp58,56 triliun. Namun setelahnya jumlah penerbitan naik menjadi Rp62,75 triliun.
Kemudian dari sisi Credit Default Swap (CDS) juga menunjukan setiap tahun politik juga cenderung membaik dengan menunjukan penurunan.
CDS sendiri merupakan kontrak swap yang ibaratnya mengasuransikan portofolio obligasi si investor. Artinya semakin beresiko sebuah negara investor pasti lebih banyak mengasuransikan portofolio obligasinya. (*)