Jakarta – Ombudsman Repuplik Indonesia menilai, naiknya anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) khususnya untuk subsidi pupuk, perlu mendapat perhatian khusus. Apalagi data yang digunakan Kementan kerap berbeda dengan BPS. Dalam anggaran terbaru, Kementan menggunakan luas lahan baku sawah versi lama, atau lebih besar 1 juta hektare dibandingkan data terbaru dari BPS.
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, kenaikan anggaran ini dinilai perlu perhatian khusus dari aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Polri, Kejaksaan hingga pengawas keuangan. Apalagi, belakangan berbagai data yang dimiliki Kementan mulai dari luas sawah hingga produksi pangan kerap menjadi perbincangan di berbagai kalangan.
“Kinerja Kementan kemarin itu harus menjadi evaluasi bagi aparat penegak hukum ataupun pengawas terkait kenaikan anggaran ini. Ombudsman juga ikut mengawasi kalau ada maladministrasi dari kebijakannya,” ujar Alamsyah, dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Kamis, 31 Januari 2019.
Sebelumnya, Komisi IV DPR RI dan Kementerian Pertanian dalam rapat kerja telah menyepakati pagu alokasi dana APBN 2019 senilai Rp21,68 triliun dengan menggunakan luas lahan baku SP-Lahan tahun 2016. Namun, pihak Ombudsman tak mempermasalah kenaikan anggaran untuk Kementerian tersebut. Sebab, sektor pertanian menyangkut kehidupan masyarakat Indonesia.
“Kalau anggaran itu kebijakan pemerintah, dan tidak bisa dipotong. Tapi, kementeriannya harus memperbaiki sejumlah kinerjanya,” ucapnya.
Baca juga: Ombudsman Minta Kementan Fokus Saja ke Cadangan Pangan
Naiknya anggaran kementerian dikarenakan Kementan tetap merujuk lahan baku sawah versi lama dimana angkanya lebih tinggi 1 juta hektare dibandingkan versi terbaru yang dikeluarkan BPN, BPS, dan lain-lain. Kementan pun sempat meminta untuk melakukan penghitungan ulang terkait luas lahan baku sawah yang dikeluarkan lembaga-lembaga tersebut.
Dimintanya penghitungan ulang luas lahan baku sawah oleh pihak Kementan ini, diharap tidak menjadi ajang cari celah. Direktur Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka), Yeka Hendra Fatika mengatakan, kalaupun penghitungan ulang disetujui dilakukan, pihak yang melakukannya haruslah lembaga yang independen.
“Yang menghitung ulang jangan lembaga yag memiliki kepentingan terhadap penggunaan data tersebut. Bukan Kementan, tapi BPN, kerja sama dengan BPS. Bisa seperti itu,” ucapnya.
Dirinya mengingatkan, penghitungan ulang mesti dilakukan dengan metolodologi yang tepat. Tujuannya guna menghindari hasil yang salah dan membodohi publik. “Jangan sampai nanti hitung ulang itu menjadi akal-akalan saja yang pada akhirnya malah tetap meningkat untuk menjadi pembenaran,” tukasnya.
Metodologi yang digunakan BPS berupa kerangka sampel area (KSA) pun dinilai sudah sangat tepat digunakan untuk penghitungan luas lahan baku sawah. Penggunaan metodologi ini memungkinkan melihat kondisi terkini yang terjadi karena menggunakan citra satelit yang diverifikasi.
Sebaliknya, metodologi high estimated yang dulunya digunakan untuk menghitung luas lahan baku sawah dianggap sudah usang. Mengingat lembaga yang memiliki kemampuan mumpuni untuk menghitungnya pun sudah tidak ada.
“Nah, mantri pertanian ini kan sekarang lembaganya sudah nggak ada. Jadi, yang menghitung high estimated itu adalah kepala desa. Bisa dipastikan tidak kepala desa menghitungya benar? Saya ragu. Kepala desa paling melihat laporan desa sebelumnya. Jadi, pendekatan itu sudah almarhum,” tutup Yeka. (*)