Jakarta– Keinginan Bulog untuk mengekspor beras dianggap tak logis. Pasalnya, masih banyak hal yang harus dibenahi untuk merealisasikan keinginan Bulog tersebut. Harga beras yang saat ini lebih mahal dibandingkan rata-rata harga beras dunia, dikhawatirkan tidak akan mampu bersaing di pasar global.
“Boleh saja ekspor, tapi rugi. Nanti biar kerugiannya ditanggung rakyat,” ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip Jumat, 25 Januari 2019.
Ia menjelaskan, saat ini harga beras di Indonesia di tingkat petani sudah mencapai Rp10 ribuan per kilogram, dikarenakan harga gabah kering yang sudah menyentuh Rp5 ribu per kilogram ke atas. Sementara itu, harga beras dunia per tonnya di angka US$404 yang kalau dirupiahkan berada di kisaran Rp5.600-an per kilogram.
“Kalaupun nanti musim panen raya, saya prediksi harga beras di tingkat petani sekitar Rp8 ribuan. Masih lebih tinggi,” ucapnya.
Ia menyarankan, baiknya pemerintah tidak mengeluarkan ide yang tidak rasional lagi. Bagaimanapun, mimpi mengekspor beras umum tidak mungkin tercapai dengan kondisi seperti ini. Berbeda jika memang ingin mengekspor beras khusus, seperti beras organik. “Sudahlah tidak mungkin,” sindirnya.
Direktur Utama Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi pun mengamini pendapat Dwi Andreas. Menurutnya, harga beras di Indonesia masih belum bisa menyaingi harga beras yang ditawarkan Thailand maupun Vietnam. Padahal, dalam perdagangan di manapun harga menjadi pertimbangan penting.
“Sebagai contoh misalnya beras dari Vietnam di kisaran US$420 per ton dengan kurs rupiah Rp14.200 per dolar AS belum lagi tambah biaya pengiriman. Bagaimana perbandingannya dengan harga beras nasional? Bisa bersaing tidak? Siapa yang mau beli?” paparnya.
Tidak hanya soal harga, mimpi untuk mengekspor beras menurutnya juga harus dengan pembenahan infrastruktur terlebih dahulu. Mulai dari sisi produksi sampai pasca panen. Arief menyatakan, diperlukan industrialisasi pertanian terlebih dahulu untuk mencapai cita-cita tersebut.
“Baiknya dibuat corporate farming dulu jadi ada lahan khusus untuk ekspor ini. Produktivitas juga bisa meningkat, misalnya sekarang 5-6 ton per hektare jadi 7-8 ton per hektare,” jelasnya.
Pasar Cipinang sendiri saat ini lebih menekankan ke pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Arief mengklaim, saat ini stok di Cipinang mencapai 61 ribu ton. Dari jumlah tersebut, mayoritas diisi beras dengan kualitas medium up atau premium. “Harganya Rp9.450 sampai Rp12 ribuan ke atas,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, kegiatan ekspor harus berkelanjutan, tak cukup cuma sekali, apalagi jika dilakukan ke negara-negara ASEAN. Oleh sebab itu, menurut Darmin, jika ekspor hanya dilakukan sekali, lebih baik tidak perlu dilakukan.
“Apa susahnya kalau ngomong ekspor, ya kirim saja ke Filipina atau Malaysia, yang penting bisa ekspor. Tapi kalau ekspor itu terus menerus, bukan cuma sekali peristiwa begini,” ujar Darmin
Asal tahu saja, Direktur Utama Bulog Budi Waseso sebelumnya dalam rapat DPR menyatakan, rencana ekspor tersebut dilakukan agar pihaknya tidak kesulitan untuk melakukan pengadaan beras dari dalam negeri. Sebab, bila gudang penuh, pihaknya tidak bisa lagi menyerap gabah petani.
“Masyarakat nggak usah takut gudang penuh dan nggak bisa serap. Kita tetap serap nanti kita kelola dengan ekspor,” kata Buwas. (*)