Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis kinerja perdagangan Indonesia, di mana pada bulan Desember 2018 terjadi defisit sebesar USD1,1 miliar. Meskipun lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang defisit USD2 miliar, namun secara kumulatif sepanjang 2018 defisit perdagangan Indonesia telah mencapai USD8,6 miliar yang merupakan sebuah rekor kinerja perdagangan terburuk sepanjang sejarah, lebih buruk dibanding defisit yang terjadi pada 2013 yang mencapai USD4 miliar.
Buruknya kinerja perdagangan di 2018 didorong oleh dua sisi, yakni anjloknya pertumbuhan ekspor serta akselerasi impor yang tajam. Ekspor hanya tumbuh 6,7 persen, jauh di bawah performa tahun 2017 yang tumbuh sampai 16,2 persen. Sementara impor malah mengalami akselerasi dari 15,7 persen pada 2017 menjadi 20,2 persen di 2018. Memang pendorong penting dari lonjakan defisit perdagangan di 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai USD12,4 miliar.
Peningkatan harga minyak dunia hampir di sepanjang 2018, telah mendorong lonjakan impor minyak negara-negara net-importir minyak seperti Indonesia. Impor migas Indonesia melonjak dari USD24,3 miliar pada 2017 menjadi USD29,8 miliar 2018, atau tumbuh 22,6 persen. Idealnya, menurut Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak.
Uniknya, dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak. Manakala harga minyak dunia naik 37,3 persen sepanjang Januari-Oktober 2018 (yoy), pertumbuhan nilai impor minyak ikut terkerek 36,8 persen pada periode yang sama. Namun sayangnya, ekspor minyak hanya mengalami kenaikan 2,3 persen. Hal ini disebabkan perbedaan komposisi ekspor dan impor minyak Indonesia.
Ekspor minyak Indonesia didominasi minyak mentah (75,7 persen terhadap total ekspor minyak) yang harganya lebih murah dibandingkan dengan minyak olahan. Sebaliknya, 66 persen dari impor minyak adalah minyak olahan. Kemudian pada saat harga minyak turun sebesar 4 persen selama November – Desember 2018 (yoy), ekspor minyak turun lebih tajam hingga mencapai 23 persen, sementara impor minyak malah tumbuh 3,5 persen pada periode yang sama (yoy).
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, selain migas, sektor nonmigas juga menghadapi masalah yang tak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus nonmigas dari USD20,4 miliar pada 2017 menjadi USD3,8 miliar pada 2018, atau kontraksi sebesar 81,4 persen. Penciutan surplus nonmigas ini juga didorong oleh dua sisi, pertumbuhan ekspor nonmigas yang jauh lebih lambat, sementara impor justru mengalami akselerasi tajam.
Sepanjang 2018, impor nonmigas tumbuh 19,8 persen, jauh lebih cepat dibanding 2017 yang mencapai 13,4 persen. Dia menilai, peningkatan impor memang banyak dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah, yang selama 2018 terdepresiasi 7,3 persen. Namun pelemahan rupiah bukan satu-satunya pendorong lonjakan impor. Volume impor nonmigas juga mengalami lonjakan sebesar 11 persen di sepanjang 2018, lebih pesat dibanding pertumbuhan volume impor tahun 2017 yang hanya 6,4 persen.
“Ini menunjukkan peningkatan permintaan domestik belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri,” ujar Faisal dalam risetnya di Jakarta, seperti dikutip Rabu, 16 Januari 2019.
Memang 75 persen dari impor adalah bahan baku/penolong dan 15,9 persen adalah barang modal yang dibutuhkan untuk kegiatan produktif di dalam negeri. Namun akselerasi impor ternyata tidak hanya terjadi pada kategori barang produktif, tetapi juga pada kategori barang konsumsi. Bahkan impor barang konsumsi justru tumbuh paling cepat, dari 14,7 persen pada 2017 menjadi 22 persen pada 2018, sementara bahan baku/penolong serta modal masing-masing hanya tumbuh 20 persen dan 19,5 persen pada 2018.
Pada bulan September 2018, pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menahan laju impor, khususnya impor barang konsumsi melalui pengenaan PPh untuk 1.147 jenis barang konsumsi. Akan tetapi, efektivitas kebijakan tersebut terhadap penurunan barang konsumsi masih minimal. Bahkan impor barang konsumsi mengalami peningkatan pada Oktober 2018 sebesar 19,4 persen (yoy) atau 13,3 persen (mtm).
Adapun di sepanjang Oktober-Desember 2018, impor barang konsumsi masih tumbuh sampai 10,7 persen (yoy), lebih tinggi dibanding impor barang modal yang tumbuh 6,7 persen.
Di sisi ekspor nonmigas, perlambatan pertumbuhan yang terjadi juga cukup drastis, dari 15,8 persen (2017) menjadi hanya 6,25 persen (2018). Melambannya pertumbuhan ekspor terutama didorong pada ekspor manufaktur yang hanya tumbuh 3,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan 2017 yang mencapai 13 persen, serta ekspor pertanian yang terkontraksi 6,4 persen. Hanya ekspor pertambangan yang masih tumbuh relatif kuat 20,5 persen di 2018, walaupun tetap lebih lambat dibanding tahun 2017 yakni 33,7 persen.
Penurunan harga komoditas ekspor andalan di pasar dunia menjadi faktor krusial yang mempengaruhi kinerja ekspor nonmigas, mengingat 55 persen ekspor masih dalam bentuk komoditas. Sepanjang 2018 harga sawit dan karet anjlok masing-masing turun 14,9 persen dan 17,9 persen secara tahunan. Harga barang tambang seperti batubara dan tembaga secara tahunan memang masih tumbuh positif, masing-masing 20,9 persen dan 5,8 persen. Namun, tren penurunan harga komoditas tambang ini sudah mulai terlihat pada paruh kedua 2018.
“Selain harga, pelemahan nilai tukar Rupiah yang mendorong lonjakan impor, ternyata belum banyak membantu kinerja ekspor. Volume ekspor nonmigas memang meningkat hingga 13,5 persen pada 2018, tetapi nilai ekspor dalam USD hanya tumbuh 6,25 persen,” jelasnya.
Memang tren perlambatan ekspor tidak hanya dialami oleh Indonesia tetapi juga negara-negara tetangga. Sepanjang periode Januari-November, pertumbuhan ekspor Vietnam melambat dari 22 persen di 2017 menjadi 13 persen pada 2018, Thailand melambat dari 10 persen menjadi 7 persen, sementara Filipina malah terkontraksi atau turun 1 persen di 2018.
Menurutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan efek perang dagang AS dan Tiongkok sudah mulai membawa pengaruh terhadap pertumbuhan ekspor, termasuk negara-negara berkembang. Bagi Indonesia sendiri, tekanan global terhadap ekspor terutama terlihat sejak bulan Agustus 2018, dimana pertumbuhan ekspor rata-rata di bawah 5 persen. Masalahnya, perlambatan ekspor Indonesia ini diperparah dengan peningkatan impor secara tajam, yang tidak terjadi negara-negara tetangga yang lain.
Saat impor Indonesia tumbuh 22 persen, Vietnam hanya tumbuh 11 persen, Filipina 16 persen, dan Malaysia hanya 5 persen. Impor Indonesia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara tetangga.
Akankah Berlanjut di 2019?
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam menambahkan, bahwa pihaknya pada 15 Maret 2018 lalu, telah mengingatkan akan bahaya defisit perdagangan yang mengancam di sepanjang tahun 2018. Tantangan untuk memperbaiki kinerja perdagangan di tahun 2019 masih sangat besar. Pertama, faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor di tahun 2018 masih akan dirasakan di tahun 2019, khususnya perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang.
Kedua, harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah di tahun 2019, termasuk di antaranya sawit, batubara, karet dan tembaga. Ketiga, harga minyak yang memperlebar defisit migas memang sudah mengalami penurunan tajam di akhir 2018. Namun potensi untuk kembali meningkat di tahun 2019 masih sangat terbuka sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan production cut secara signifikan, walaupun kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak di tahun 2018.
“Keempat, tekanan terhadap Rupiah yang mendorong lonjakan impor di tahun 2018 juga
diprediksi masih akan dirasakan di tahun 2019, meskipun dengan kadar yang lebih rendah
dibanding tahun 2018,” katanya.
Meski demikian, lanjut dia, pemerintah diyakini masih dapat memperbaiki kinerja perdagangan yang terus mengalami defisit ini, setidaknya, untuk memperkecil defisit. Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, yang selama 2018 masih belum banyak terasa efektivitasnya, perlu dievaluasi, dipertajam dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya di tahun 2019.
Dalam jangka menengah panjang, revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan untuk
mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur, apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan. Di samping itu, untuk jangka yang lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor non tradisional, sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar. (*)