oleh Agung Galih Satwiko
HARI ini, Kamis 7 April 2016, Bloomberg memberitakan dua mahasiswa asal Asia Tenggara yang berhasil mendapatkan deal dengan bank-bank di Asia Tenggara untuk mengembangkan peer-to-peer lending (P2P) yang menghubungkan investor dengan debitor untuk UMKM. Adalah Kelvin Teo (29) asal Malaysia, dan Reynold Wijaya (27) dari Indonesia yang mengembangkan startup bernama Funding Societies yang focus memberikan pendanaan melalui skema P2P berbasis web.
Sebagaimana diketahui, Harvard Business School mewajibkan suatu course selama setahun bernama FIELD, yaitu Field Immersion Experiences for Leadership Development, yang mana mahasiswanya harus membuat bisnis berupa produk baru atau jasa yang ditawarkan kepada partner internasional. Kelvin Teo yang bekerja sama dengan Reynold Wijaya mengembangkan Funding Societies, mengirim email kepada CEO DBS Singapore akhir Oktober tahun lalu untuk bekerja sama dengan DBS dalam menyalurkan pinjaman melalui P2P Funding Societies. CEO DBS Piyush Gupta yang memang tengah mencari cara untuk memanfaatkan internet dalam rangka memperbaiki kinerja banknya, tidak butuh waktu lebih dari 3 jam sejak email diterima untuk menyatakan ketertarikannya terhadap proposal Teo dan Funding Societies.
Tidak cuma DBS, PT Bank Sinarmas yang berbasis di Jakarta juga telah menghubungi Funding Societies dan telah bekerja sama sejak bulan Februari 2016 sebagai escrow agent yaitu bank yang mengelola rekening penampungan selama proses pemberian pinjaman berlangsung. Tidak cuma bekerja sama dengan bank, Funding Societies juga menarik perusahaan modal ventura di Singapura dan Jakarta . Selama liburan, Kelvin Teo dan Reynold Wijaya berhasil mengumpulkan dana USD1,2 juta dari perusahaan modal ventura untuk mengembangkan proyeknya. Investor terbesar Funding Societies adalah perusahaan modal ventura di Indonesia yaitu Alpha JWC Ventures.
Ketertarikan bank untuk bekerja sama dengan P2P startup seperti Funding Societies merupakan upaya untuk merangkul startup keuangan berbasis FinTech, karena melihat risiko kompetisi yang semakin berat jika harus berhadapan dengan P2P. Hasil survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers kepada para financial executives menunjukkan bahwa 95% bankir meyakini bahwa bisnis perbankan akan tergerus dan kalah dari bisnis yang sama yang dilakukan oleh FinTech companies. Dengan cepatnya perubahan dan perkembangan teknologi finansial, bank tradisional tidak lagi dapat mengesampingkan peran FinTech companies.
Salah satu jalan untuk tetap beroperasi secara efektif adalah melalui kerja sama atau partnership dengan FinTech companies. Dalam konferensi pada tanggal 30 Maret 2016 lalu di Hotel Indonesia Kempinski dengan tema “Next Wave of Technology Disruption in Indonesia”, Arwin Rasyid menyatakan bahwa bukanlah ide bagus bagi perbankan saat ini untuk berkompetisi dengan FinTech startups. Perbankan sebaiknya mencoba memandang mereka sebagai pelengkap dan mencoba bekerja sama dengan mereka. Perbankan yang saat ini sangat besar, dan diregulasi secara ketat (heavily regulated), tidak akan selincah FinTech companies yang mengombinasi kecepatan teknologi dan bisnis finansial.
Sementara itu perkembangan FinTech di Asia Tenggara sendiri jauh tertinggal dibandingkan China. Teo dan Wijaya melihat hal ini dan mencoba mengapitalisasi dengan menyediakan platform P2P berbasis web. Sektor UMKM yang disasar oleh Funding Societies merupakan sektor yang potensial untuk mendukung perekonomian Negara-negara di Asia Tenggara. Funding Societies telah beroperasi di Singapura dan Indonesia. Di Indonesia Funding Societies lebih dikenal dengan Modalku.
Secara keseluruhan Funding Societies telah berhasil menyalurkan pinjaman sekitar USD3,8 juta, dimana sekitar Rp3,1 miliar total pinjaman tersalurkan berhasil dibukukan oleh Modalku yang mulai beroperasi sejak Februari 2016. Sejatinya operasi FinTech seperti ini akan mendorong industri UMKM dan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, terjadi diversifikasi sumber pembiayaan sehingga risiko tidak lagi ditanggung sendiri oleh perbankan. Ke depan jika berkembang semakin maju, dimungkinkan pemberian pinjaman oleh FinTech companies tidak hanya kepada UMKM namun juga kepada korporasi, yang merupakan debitor tradisional industri perbankan. Hal ini telah terjadi di AS dan China. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK