Jakarta – Sejumlah tantangan masih menyelimuti ketahanan pangan di Indonesia. Mulai dari terhambatnya rantai pasok dan mahalnya biaya produksi pangan akibat perang Rusia-Ukraina, perlambatan signifikan pada negara ekonomi utama seperti Tiongkok dan AS, Covid-19 yang menyebar luas awal tahun 2020.
Lalu, tekanan inflasi dan kerentanan sistem keuangan di negara berkembang, serta perubahan iklim dan iklim ekstrim, adalah sejumlah tantangan utama yang menyebabkan krisis pangan global, yang tentunya berdampak pada ketahanan pangan nasional.
Di tengah kondisi global itu, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Restuardy Daud menyampaikan jika masih ada 16 persen penduduk Indonesia yang rentan terpapar kelaparan.
Situasi ini, menurutnya, diperparah dengan tingkat produktivitas padi nasional yang sedikit mengalami penurunan.
“Nah, ini kemudian pada saat kita mencari sumber-sumber pasokan lain, beberapa negara yang selama ini menjadi pengekspor, India misalnya, Kamboja, Thailand, dan sebagainya ini kemudian sudah menutup untuk memberikan pangan mereka. Ini yang juga menjadi tantangan kepada kita untuk bagaimana menjamin kecukupan pangan ini setidak-tidaknya sampai beberapa waktu ke depan,” ujar Restuardy pada acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Wilayah Jawa, yang dipantau secara virtual, Rabu (14/8).
Baca juga: Dunia Diramal Akan Mengalami Kelaparan Berat di 2050, Jokowi Ingatkan Hal Ini
Lebih lanjut, Restuardy membandingkan Indonesia dengan beberapa negara lainnya seperti Singapura dan Thailand. Ia katakan, Singapura yang wilayahnya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia dan juga sesama negara pengimpor pangan, mempunyai tingkat ketahanan pangan di atas Indonesia.
Sedangkan dengan Thailand, yang adalah negara pengekspor pangan, tingkat ketahanan pangan Indonesia ia sebut sedikit lebih baik ketimbang Thailand. Dengan demikian, tak ada alasan spesifik, bagi negara pengekspor maupun pengimpor, untuk bisa memiliki tingkat ketahanan pangan yang mumpuni.
“Tetapi lebih kepada bagaimana ketangguhan kita. Bagaimana kita bisa juga mengandalkan perdagangan pangan didukung dengan teknologi logistik yang baik, tata kelola yang baik. Teknologi Bapak Ibu misalnya yang punya milling rice yang bisa meningkatkan efisiensi, mempercepat kualitas produksi gaba menjadi premium misalnya, ini juga menjadi bagian-bagian yang bisa menentukan langkah-langkah untuk ketahanan pangan kita ke depan,” ungkapnya.
Di samping itu, ia juga menitip pesan kepada segenap perangkat daerah untuk memerhatikan persoalan alih fungsi lahan. Berdasarkan data Kemendagri, ada sekitar 100.000 hektar lahan pertanian di Indonesia yang beralih fungsi setiap tahunnya. Ini pastinya dapat mendisrupsi produksi padi dan ketahanan pangan nasional.
Baca juga: Ditekan Inflasi Tinggi, Dunia Usaha Indonesia Paling Optimistis
Pemerintah pun telah berkomitmen menjaga lahan pertanian, khususnya lahan sawah, melalui regulasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan.
“Isu alih fungsi lahan ini juga masih cenderung berlangsung dari waktu ke waktu. Ini juga menjadi PR kita untuk menjaga dan memperbaiki tingkat derajat ketahanan pangan kita secara nasional. Untuk itu, kami titipkan kepada pemerintah daerah untuk sama-sama kita awasi, sekaligus menegakkan, manakala sudah punya perda terkait dengan lahan sawah yang dilindungi atau LSD, karena beberapa daerah kami catat ini ada yang belum memiliki ini sehingga kita juga sama-sama bisa mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi untuk produksi beras,” tukasnya. (*) Steven Widjaja