Jakarta – Keputusan Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak 50 basis points (bps) di bulan Mei 2018 ini, diprediksi hanya mendorong penguatan rupiah untuk jangka pendek saja, lantaran risiko global masih akan memberi tekanan besar terhadap laju rupiah.
Efek kenaikan suku bunga acuan terhadap penguatan rupiah sangatlah kecil. Karena sebelumnya para pelaku pasar telah melakukan price in atau memasukan faktor kenaikan bunga acuan yang kedua ke harga saham. Sehingga dampak kenaikan bunga acuan terhadap rupiah saat ini masih minim sentimen positif.
“Jadi meskipun BI naikkan bunga acuan lagi di RDG tambahan pelaku pasar tidak terlalu surprise,” ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira saat dihubungi Infobank, di Jakarta, Kamis, 31 Mei 2018.
Menurutnya, saat ini yang menjadi perhatian utama pelaku pasar adalah melihat sinyal berapa kali BI akan menaikkan bunga acuannya lagi sampai dengan akhir tahun ini, apakah benar-benar pre emptive dalam mengantisipasi setiap naiknya suku bunga AS (Fed Fund Rate) atau lebih longgar.
“Kemudian pelaku pasar juga mencermati langkah lain yang mungkin diambil BI sebagai bentuk stabilisasi rupiah,” ucapnya.
Di sisi lain, lanjut dia, faktor global lainnya juga bisa menjadi penghambat laju penguatan rupiah, salah satunya karena instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. Selain Italia ada juga Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global.
“Negosiasi AS dan China juga belum menemui titik terang dan berpotensi melanjutkan trade war (perang dagang) serta keputusan OPEC yang berpengaruh ke harga harga komoditas. Sampai pekan depan rupiah dan mata uang di Asia masih mixed,” katanya.
Dengan tekanan global yang meningkat tersebut, bunga acuan BI diprediksi masih bisa naik sekali lagi sebesar 25 bps menjadi 5 persen atau naik 75 bps sepanjang tahun ini. Terlebih, BI juga memberi sinyal untuk kembali menaikkan suku bunganya satu kali lagi ditahun ini, sesuai dengan pernyataan Gubernur BI di RDG tambahan 30 Mei 2018.
Baca juga: Rupiah Tertekan, Pemerintah Klaim Ekonomi RI Masih Baik
Gubernur BI Perry Warjiyo mengawali kepemimpinannya dengan mengubah arah kebijakan moneternya menjadi bias ketat dari sebelumnya netral, dan memberi sinyalemen kemungkinan untu menaikkan kembali suku bunga acuan yang ketiga kalinya pada 2018.
“Kami terus mengkalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih ada ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur,” kata Perry.
Kenaikan suku bunga acuan di RDG tambahan kemarin (30/5) melengkapi pengetatan kedua kali suku bunga kebijakan BI hanya dalam tempo dua pekan, di tengah pelemahan rupiah yang sudah jauh di bawah nilai fundamental. Rupiah di penghujung Mei 2018 sudah melewati batas psikologis Rp14.000 per dolar AS dengan level depresiasi di 3,9-4 persen (year to date/ytd).
Pengetatan kebijakan moneter pada akhir Mei 2018 tersebut juga untuk mengantisipasi tekanan arus modal keluar (capital reverseal) yang bisa disebabkan ekspetasi pelaku pasar tentang kenaikan kedua kalinya suku bunga acuan The Federal Reserve pada 13 Juni 2018 menjadi 1,75 persen sampai dengan 2 persen.
“Ini merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan ‘frontloading’ untuk merespon risiko dan tekanan eksternal,” tegasnya.
Menurut Bhima, saat BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 bps pada RDG 16-17 Mei 2018, langsung direspon bank dengan ikut menaikkan bunga depositonya. Jadi setelah kenaikan suku bunga acuan yang kedua ini, efek terhadap kenaikan bunga kredit lag-nya berkisar 1-3 bulan ke depan.
“Paling cepat transmisi ke kenaikan bunga kredit konsumsi seperti KPR, kendaraan bermotor dan kartu kredit,” ujarnya.
Saat ini, tambah dia, dengan suku bunga kredit rata-rata perbankan yang sebesar 11,2 persen per Maret 2018, pertumbuhan kredit hanya berada pada kisaran 8,5 persen. Jika bunga acuan naik lagi, maka bunga kredit dipastikan bakal ikut meningkat dan menghambat kredit untuk tumbuh double digit.
“Kalau bunga kreditnya naik maka pertumbuhan kredit bisa terkontraksi. Proyeksi di 2018 pertumbuhan kredit hanya dikisaran 8,5-9 persen sulit mencapai target growth doubel digit,” tutupnya. (*)