Jakarta – Kondisi nilai tukar rupiah yang tengah tertekan bahkan menembus level Rp14.000 an per dolar AS, dinilai mirip dengan kondisi saat krisis 1998. Meski rupiah saat ini tidak selemah seperti 1998, namun jika dilihat dari indikator ekonomi kondisi ini sama dengan 20 tahun lalu.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Tony Prasentiantono. Menurutnya, langkah BI melakukan stabilisasi melalui cadangan devisa belum cukup kuat untuk menahan pelemahan rupiah semakin dalam.
“Level Rp14.000 membuat kita gak nyaman, karena ini seolah-olah kita dejavu 20 tahun lalu, ini mirip dengan level krisis 1998. Ada aspek psikolgis yang perlu kita jaga. Pasar melihat bahwa situasi ini seperti 1998,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.
Dia menilai, di tengah pelemahan rupiah saat ini, kondisi indikator perekonomian nasional sama persis seperti 20 tahun lalu. Menurutnya, meski perekonomian nasional masih cukup baik dan laju inflasi masih terjaga, namun dari sisi utang luar negeri (ULN) swasta harus menjadi perhatian utama.
“Kita coba flashback ke 1998 yaa, saat itu pertumbuhan ekonomi kita kuat, inflasi terjaga, kinerja ekonomi indikator kita baik-baik saja, tapi kemudian terjadilah krisis. Kalau saya punya analisis, ada faktor yang missing yang tak tercapture, yaitu ULN Swasta,” tegasnya.
Baca juga: Intervensi Rupiah, Cadangan Devisa RI Tergerus US$1,1 Miliar
Utang Swasta yang tidak terkontrol atau diberikan kebebasan bagi swasta untuk berutang ke luar negeri dianggap menjadi salah satu pemicu krisis. Ia memberi contoh, saat 1998 ULN tercatat berkisar US$130 miliar, dengan komposisi Utang Pemerintah dan Swasta hampir sama yakni 50 persen. Sedangkan cadangan devisa saat itu hanya sebesar US$20 miliar.
“Nah jadi ketika tiba-tiba Utang Swasta jatuh tempo dan agak barengan, yaa ambyar kita. Saat itu cadangan devisa kita cuma US$20 miliar. Sedangkan utang swasta kita sekitar US$65 miliar. Kalau jatuh temponya barengan ambyar kita,” ucapnya.
Terlebih, di Indonesia yang saat ini masih didominasi oleh aliran dana asing yang bersifat jangka pendek (hot money) dikhawatirkan bakal memicu penarikan dana asing untuk ditaruh ke negara lain dengan suku bunga yang lebih tinggi, di tengah melemahnya laju rupiah.
“Meski inflasi dan pertumbuhan ekonomi masih baik, tapi yang lemah kita adalah devisa yang masuk kekita, itu yang masuk masih dari hot money bukan yang jangka panjang. Itulah yang belum kita miliki. Kita tidak cukup tangguh untuk itu,” tegasnya.
Asal tahu saja, posisi Utang Luar Negeri Indonesia hingga akhir Februari 2018 tercatat sebesar US$356,2 miliar, yang terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$181,4 miliar, serta utang swasta sebesar US$174,8 miliar. (*)