PARA bankir masih sibuk memutar otak. Kerja keras untuk menjinakkan non performing loan (NPL) belum selesai dan hasrat untuk menyudahi masa “berpuasa” yang sudah dilalui sejak 2014 masih akan sulit diwujudkan pada 2017. Target ekspansi kredit yang ambisius untuk menekan rasio kredit macet sulit dibuat karena asumsi ekonomi makro masih penuh dengan ketidakpastian. Para bankir hanya bisa berharap bahwa NPL per September yang mencapai 3,10% adalah titik tertinggi alias tidak naik lagi pada tahun depan. Di tengah upaya untuk lolos dari masa sulit, para bankir juga harus berpikir keras bagaimana meningkatkan capital productivity banknya.
Sebab, kendati aset produktif bank-bank digerogoti kredit macet, modal inti sebagian besar bank terus meningkat. Bahkan, CIMB Niaga, yang kinerjanya terbakar kredit macet sejak 2014, tahun ini berhasil naik ke kelas bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 setelah modal intinya menembus Rp30 triliun. Bank-bank lain juga tetap berusaha naik kelas di tengah masa sulit. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), ada dua bank yang sebelumnya berada di kelompok BUKU 2 juga beranjak ke kelompok BUKU 3. Keduanya adalah Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank DKI. Pada 2017 ada lima bank di BUKU 2 yang berpeluang naik ke kategori BUKU 3, yaitu Bank Mayapada, Bank Jateng, Bank Keb Hana, Bank Ekonomi, dan Bank ANZ.
Bank yang masuk ke kelompok BUKU 3, apalagi BUKU 4, tentu memiliki image yang lebih kuat di market. Tenaganya lebih besar dan bank dengan modal inti di atas Rp5 triliun lebih leluasa mendiversifikasi produk dan jasa perbankan. Namun, di balik peluang yang dimilikinya juga ada tantangan. Sebab, para pemilik bank umumnya berpikir sangat pragmatis. Para pengelola bank dengan modal besar pun harus memikirkan rentabilitas sebagai indikator seberapa produktif modal yang ditanamkan oleh pemilik bank.
Namun, Biro Riset Infobank mencatat, kinerja bank-bank di BUKU 3 mengalami tekanan yang paling berat dalam tiga tahun terakhir. Selain dihantam kredit macet, bank-bank di BUKU 3 berada dalam tekanan overhead cost yang paling berat karena telanjur memosisikan diri sebagai penantang pasar (market challenger) bank-bank raksasa yang berada di BUKU 4. Apalagi, sebagian besar bank di BUKU 3 sudah dimiliki oleh investor asing dan memiliki ambisi untuk memperkuat branding serta perluasan jaringan kantor maupun saluran distribusi elektronik untuk menunjukkan image-nya sebagai bagian dari pemain regional. Untuk membesarkan aset, rencana bisnis bank-bank di BUKU 3 selama ini terlihat sangat ambisius dan optimistis melakukan pendekatan market share yang berorientasi pada penguasaan bisnis di segmen yang menjadi kekuatannya.
Penasaran mengapa bank-bank di BUKU 3 sulit menandingi bank-bank di BUKU 4? Ada apa dengan bank terbesar, Bank Mandiri, yang labanya merosot? Semua diulas tuntas di Majalah Infobank edisi Desember 2016. (*)