Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) untuk membuka ruang menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai bentuk antisipasi menahan pelemahan rupiah terhadap dolar AS dianggap terlambat.
Ekonom Indef Bhima Yudistira Adhinegara kepada Infobank, di Jakarta, Jumat, 27April 2018 mengatakan, seharusnya pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan dapat dilakukan BI sebelum kondisi rupiah terjatuh yang hampir sempat menyentuh level Rp14.000 per dolar AS.
“Jadi langkah BI menaikkan bunga acuan untuk menahan keluarnya dana asing bisa dikatakan sedikit terlambat. Bank sentral di Malaysia dan Singapura sudah lebih dulu menaikkan bunga acuannya mengikuti kenaikan Fed rate,” ujar Bhima.
Di sisi lain, kata dia, BI juga terkesan sedikit cemas terkait intervensi cadangan devisa yang tak mampu angkat rupiah. Dengan kondisi cadangan devisa yang semakin tergerus saat ini, tegas dia, menaikkan suku bunga acuan merupakan opsi yang tak bisa ditunda lagi oleh Bank Sentral.
Baca Juga: BI Buka Ruang Naikkan Suku Bunga
“Jika BI 7-day reverse repo rate naik 25-50 bpsn maka nilai aset baik surat utang maupun saham akan lebih menarik dimata investor,” ucapnya.
Namun demikian, dirinya mengungkapkan, memang pilihan yang dilematis bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuannya sekitar 25-50 bps, lantara di satu sisi bunga bank rendah tetap diperlukan pelaku usaha dalam negeri, tapi di sisi yang lain, rupiah melemah juga memiliki efek yang besar.
“Tekanan global dipastikan terus berlanjut hingga akhir tahun. Kondisi pelemahan rupiah saat ini memang sangat berisiko ganggu stabilitas ekonomi,” paparnya.
Efeknya ke industrinya, kata dia, jika nilai tukar rupiah benar-benar menyentuh Rp14.000 per dolar AS, maka harga bahan baku impor akan naikkan biaya produksi. Ongkos logistik untuk ekspor impor juga terkena dampak pelemahan kurs karena sebagian besar gunakan kapal asing.
“Swasta yang punya ULN pun terancam gagal bayar apabila kurs melemah dalam jangka panjang,” ujarnya.
Kondisi ini juga diperparah dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Di mana Indonesia impor minyak setiap tahunnya US$24,3 miliar. Jadi rupiah yang terdepresiasi juga akan berpengaruh ke harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non subsidi yang terancam akan mengalami kenaikan.
“Apalagi mendekati lebaran bahan makanan baik garam, gula, beras, daging, bawang putih komponen impornya besar. Inflasi volatile food dan administered price yang bersamaan bisa pukul daya beli masyarakat,” tutupnya. (*)