Kenaikan Suku Bunga BI Bagai Buah Simalakama

Kenaikan Suku Bunga BI Bagai Buah Simalakama

JakartaBank Indonesia (BI) memberikan sinyal untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 27-28 Juni 2018 yang akan datang. Kebijakan moneter BI yang masih memiliki ruang untuk dinaikkan lagi dari posisi saat ini yang sebesar 4,75 persen dianggap sebagai buah simalakama.

Bank Sentral yang sudah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak dua kali menjadi 4,75 persen ini dinilai belum cukup untuk merespon risiko global yang terjadi saat ini. Keputusan BI untuk menempuh kebijakan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.

Asal tahu saja, Bank Sentral AS (The Fed) baru saja menaikkan suku bunga acuannya ke kisaran 1,75 persen hingga 2 persen pada pekan lalu (13/6) dan akan melanjutkan kebijakannya tersebut dua sampai tiga kali pada tahun ini, telah membuat rupiah bergerak limbung. Pada perdagangan hari ini saja (21/6), dolar AS kembali tembus ke level Rp14.000 an.

Menurut Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, jika BI kembali menaikkan suku bunga acuannya, maka akan memberikan imbas terhadap perekonomian, salah satu impeknya adalah kontraksi di pertumbuhan kredit lantaran permintaan kredit yang menurun akibat ikut meningkatnya suku bunga kredit perbankan sebagai respon kenaikan bunga acuan.

“Memang kebijakan BI ini seperti buah simalakama. Kalau tidak dinaikan nanti capital outflow terus keluar dan tekan rupiah. Imbas untuk ekonomi menjadi kurang bagus. Kalau dinaikkan berefek ke kontraksi pertumbuhan kredit dan menggerus pertumbuhan ekonomi,” ujar Bhima kepada Infobank di Jakarta, Kamis, 21 Juni 2018.

Baca juga: Ekonom: Kenaikan Suku Bunga Harus Diimbangi dengan Intervensi Pasar 

Suku bunga acuan yang naik akan memicu naiknya bunga kredit perbankan dalam waktu 1-3 bulan. Asumsinya, kata Bhima, jika bunga acuan BI naik sebanyak 4-5 kali ditahun ini atau menjadi level 5,25 persen, maka suku bunga kredit perbankan bukan tidak mungkin untuk tembus mencapai rata-rata 11,75 persen sampai dengan 12 persen.

“Jarak transmisi yang cukup singkat membuat cost of borrowing pelaku usaha naik signifikan. Dengan bunga yang mahal, pelaku usaha akan tunda untuk ekspansi,” tegasnya.

Dengan adanya kondisi tersebut, lanjut Bhima, maka pelaku usaha secara terpaksa atau mau tidak mau akan mencari pendanaan alternatif seperti penerbitan saham dan obligasi. Bagi perbankan sendiri, kondisi seperti ini tentu saja bisa menggerus marjin laba perbankan. Prospek kredit bank akan menjadi kurang bagus bahkan diprediksi sampai 2019.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataannya menyebutkan, bahwa BI berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG 27-28 Juni 2018 yang akan datang.

Kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif juga tetap dilanjutkan. Disisi lain BI, Pemerintah, dan OJK juga akan terus mempererat koordinasi untuk memperkuat stabilitas dan mendorong pertumbuhan.

Di tengah kebijakan Bank Sentral yang lebih pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed, dirinya meyakini ekonomi Indonesia, khususnya pasar aset keuangan, tetap kuat dan menarik bagi investor, termasuk investor asing. Dengan investasi yang terjaga, stabilitas ekonomi diharapkan tetap terjaga dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat. (*)

Related Posts

News Update

Top News