Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo menegaskan, stress test terhadap perbankan ditengah pelemahan rupiah yang mendekati level Rp14.000 per dolar AS, seharusnya tidak dipublikasikan ke masyarakat.
Pernyataan Agus Marto ini menyikapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah melakukan stress test terhadap perbankan yang menyebutkan, bahwa perbankan Indonesia masih cukup kuat meski dolar AS tembus ke level Rp20.000.
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sempat mengatakan, dengan tingkat permodalan (capital adequacy ratio/CAR) yang saat ini berada diatas 22 persen, maka perbankan nasional masih dapat bertahan dengan kondisi stress test apapun.
Penegasan Gubernur BI untuk tidak mempublikasian stress test terhadap perbankan ditengah pelemahan rupiah tersebut, untuk menghindari adanya kekhawatiran sentimen pasar. Para ekonom juga menilai, statement OJK bisa menggiring sentimen pasar terhadap rupiah.
“Kamu mesti tanya dengan pak Wimboh, tetapi stress test itu biasanya tidak dipublikasikan. Harusnya tidak dipublikasikan. Jadi seperti itu,” ujar Agus Marto di Kantornya, Jakarta, Kamis, 3 Mei 2018.
Padahal, jika laju rupiah benar-benar menyentuh Rp20.000 per dolar AS maka dikhawatirkan akan memicu peningkatan kredit bermasalah (NPL) Bank. Merosotnya nilai tukar rupiah, secara langsung akan berdampak ke penyaluran kredit bank dan risiko kredit bermasalah.
Baca juga: Menko Darmin Pertanyakan Stress Test OJK
Efek terberat adalah kondisi debitur yang tidak hanya tertekan merosotnya rupiah secara langsung. Namun, permintaan akan barang juga akan merosot karena harga-harga juga akan meningkat. Kelesuan permintaan akan meningkat akibat merosotnya nilai tukar rupiah. Rupiah yang anjlok tentu menurunkan permintaan akan barang karena semua harga barang impor mengacu pada dolar AS.
Contoh paling sederhana, harga mobil dan motor serta handphone dan tentu barang-barang impor lainnya. Efeknya, pembiayaan konsumen juga akan tertekan yang pada akhirnya bank juga akan terkena imbasnya lantaran selama ini pembiayaan berasal dari bank. Selain itu, debitur di industri pengolahan pun akan terkena dampak dari nilai tukar rupiah yang terus tertekan.
“Kalau benar rupiah melemah hingga Rp20.000 saya sanksi apakah sistem perbankan masih kuat? Debitur terutama industri pengolahan akan bleeding nyaris bangkrut karena besarnya ketergantungan bahan baku dan barang modal impor pasti naikkan biaya produksi,” kata Ekonom Indef Bhima Yudistira.
Posisi credit at risk perbankan yang masih 11 persen tentu akan menjadi soal yang serius. Tekanan terhadap kondisi debitur akan membuat ledakan pada kredit macet yang tentu membutuhkan penanganan dengan penambahan modal. Kredit kualitas rendah akan meningkat karena melihat posisi credit at risk masih tinggi. Bahkan, swasta yang memiliki utang luar negeri juga terancam gagal bayar, jika rupiah melemah hingga level Rp20.000 per dolar AS.
Statemen OJK yang dianggap berbahaya ini, kata Bhima, bisa mengarahkan sentimen pasar terhadap dolar AS ke level Rp20.000. Hal Ini pernah dialami saat lembaga rating Standard and Poor (S&P) yang berstatement bahwa asumsi rupiah bisa menembus Rp15.000 per dolar AS. Investor kemudian melakukan antisipasi dengan memborong dolar dan jual rupiah sebelum harga nya mencapai 15.000 per dolar AS.
“Meskipun itu hanya stress test atau uji ketahanan sistem perbankan namun dampak psikologisnya mempengaruhi prilaku masyarakat, pengusaha dan spekulan,” tutupnya. (*)