Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
KREDIT memang harus dibayar. Pemutihan kredit macet, seperti judul di atas, sepertinya mengajarkan para debitur untuk melakukan moral hazard. Namun, jika berpikiran lebih jernih, memutihkan kredit macet yang sudah menjadi “batu” bisa jadi membuka peluang lebih lebar.
Tidak hanya bagi bank-bank, khususnya bank-bank milik negara, tapi juga bagi debitur yang selama ini masuk dalam daftar hitam bank (SLIK-OJK). Bayangkan, dengan pemutihan, para debitur macet kelas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masuk dalam daftar hitam, karena kreditnya macet dan sudah menahun, kembali akan mendapatkan kredit baru.
Kredit macet yang dialami debitur UMKM bisa jadi karena bencana alam, seperti gempa bumi Palu dan tsunami Aceh. Bisa juga bencana longsor, sehingga banyak debitur UMKM yang tak mampu mengangsur cicilan rumahnya. Pendek kata, para debitur ini sudah tak bisa membayar pinjamannya.
Juga, kredit-kredit UMKM akibat krisis 2008 dan COVID-19. Lebih panjang lagi – banyak debitur UMKM yang macet baik karena persaingan maupun karena salah urus. Kredit-kredit kecil yang macet ini sudah menjadi “batu” di buku bank-bank BUMN. Kredit itu tidak bisa dihapus tagih oleh bank-bank BUMN.
Selama ini pasal merugikan negara masih menjadi hantu bagi bank-bank milik negara. Para penegak hukum dengan pasal merugikan negara akan bergerak cepat. Tuduhan merugikan negara sudah di depan mata. Jadi, para bankir pelat merah tidak akan berani melakukan hapus tagih, dan dibiarkan jadi “batu” – yang jujur saja sulit ditagih lagi, karena jaminannya pun sudah luluh lantak akibat terkena bencana.
Kasus yang lebih baru adalah apa yang menimpa para generasi milenial akibat salah langkah. Mereka menjadi korban pinjaman online atawa pinjol. Juga, korban kartu kredit dikarenakan tingkat pemahamannya yang rendah. Utang dianggap sebagai sumber pendapatan tambahan. Juga, kredit tanpa agunan yang diberikan bank-bank. Namun, kasus pinjol dengan paylater-nya – benar-benar telah membunuh masa depan kaum milenial.
Menurut salah seorang bankir bank pelat merah, ada 31% nasabah yang mengajukan kredit ditolak karena masuk dalam daftar hitam bank. Dulu namanya BI-Checking, sekarang SLIK-OJK. Padahal, pinjamanya di bawah Rp1 juta. Itu pun sebagian besar karena pinjol. Juga, karena kredit macet kartu kredit.
Besarnya kredit UMKM yang sudah menjadi batu itu, seperti diungkapkan bankir BUMN, mencapai kisaran Rp40 triliun-Rp50 triliun. Sulit dihapus tagih. Sedangkan, jumlah debiturnya tidak diketahui pasti. Mereka pun tak akan mendapatkan kredit baru. Padahal, mereka, pelaku UMKM, sudah melakukan usaha kembali, atau bisa bangkit lagi – karena memang sifat UMKM yang cepat kembali berusaha.
Pemutihan kredit macet UMKM, atau katakanlah di bawah Rp5 juta, bisa jadi tidak akan mengajari debitur untuk melakukan moral hazard. Tentunya dengan kriteria yang sangat ketat. Pemutihan dilakukan secara terbatas. Bayangkan jika tidak dilakukan pemutihan terhadap debitur-debitur yang bangkrut karena bencana alam, tentu akan menutup masa depan debitur. Secara perdata, para debitur ini sudah mati.
Di lain sisi – pemerintah terus meningkatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jadi, kalau tidak dilakukan pemutihan, bank-bank pun akan kesulitan menyalurkan KUR. Selama ini yang terjadi adalah kanibalisme dari debitur-debitur yang ada untuk “pindah agama” dari nasabah non-KUR menjadi nasabah KUR. Hal ini akan memberatkan bank dalam jangka panjang.
Hal lain – ketentuan 30% portofolio kredit bank harus ke UMKM tidaklah mudah. Selama ini, mencari nasabah UMKM yang tidak tercantum dalam daftar hitam tidaklah mudah. Apalagi, sekarang ini, pinjol pun masuk SLIK-OJK. Para “pendosa” kredit macet ini makin besar. Itu artinya mencari debitur yang tak berdosa dengan kredit sulit. Tidak mudah.
Sudah waktunya – di tengah gap antara literasi dan inklusi yang masih lebar – OJK melakukan terobosan. Langkah terobosan itu antara lain membersihkan debitur-debitur yang masuk dalam daftar hitam. Bayangkan, hanya karena pinjam paylater Rp2 juta, para generasi milenial tak akan bisa membeli rumah lewat kredit karena masuk dalam daftar hitam. Juga, tak akan bisa beli sepeda motor dan mobil. Mereka sudah mati secara perdata.
Sedangkan, berharap dari hapus tagih sepertinya tidak mungkin dilakukan oleh bank-bank BUMN. Itu perkara sulit, karena pasal merugikan negara akan menjeratnya. Itu bergantung dari presiden baru mendatang. Langkah kecil yang bisa dilakukan adalah menghapus para debitur gurem ini dari daftar hitam. Dan, itu bisa dilakukan oleh OJK. Semua itu agar masa depan para debitur yang menjadi korban bencana, korban pinjol, dan krisis akibat COVID-19 punya masa depan.
Pemutihan kredit macet yang sudah menjadi batu akibat semua itu bukanlah mengajarkan debitur untuk melakukan moral hazard. Semua itu dilakukan agar bank-bank punya peluang lebih besar, dan mereka tidak mati secara perdata. Kredit sulit disalurkan bukan karena nasabahnya tidak punya kemampuan membayar, tapi ada 30%-45% akibat mereka masuk daftar hitam yang bukan karena perilakunya.
Semua bisa dilakukan oleh OJK dengan menghapus mereka dari daftar hitam SLIK-OJK, terutama bagi debitur korban pinjol, bencana alam, dan krisis yang di bawah Rp2 juta atau KPR bersubsidi. Dengan demikian, maka bank-bank punya peluang baru untuk mengucurkan kredit. Bank-bank pun tak lagi mengalami gangguan “prostat” – karena akan dengan lancar “kencing” kredit akibat stimulus dari pemutihan kredit yang sudah menjadi “batu”. (*)
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More