Oleh: Eko B Supriyanto
Pimpinan Redaksi InfoBank
ANGKA kredit bermasalah perbankan memang masih di bawah 3 persen. Namun tahun depan, angka itu bukan tak mungkin membesar. Lebih, celaka lagi, kini banyak debitur macet main di pengadilan lewat PKPU dengan kreditur “jadi-jadian.” Belum lagi, kalau ada kredit macet pihak berwajib pun ikut-ikut melihat bagaimana proses pencairan kredit.
Industri perbankan mesti mulai mewaspadai ancaman kredit macet. Per Agustus 2019 lalu, Biro Riset InfoBank mencatat terjadi peningkatan rasio non performing loan (NPL) gross dari Juli 2019 sebesar 2,55% menjadi 2,60% pada Agustus 2019. Jika memasukan kolektibilitas 2 dan kolektibilitas 1 — hasil restru, maka credit at risk masih diangka 10%-12%. Dalam kondisi saat ini mudah kredit untuk batuk-batuk.
Ada dua hal penting yang mempengaruhi yaitu penurunan perdagangan global dan penerapan PSAK 71. Bahkan, makin terkikis dengan adanya disrupsi dari hadirnya financial technology (FinTech). Penurunan ekonomi selalu saja memanen kredit macet.
Bersih-bersih kredit macet umumnya juga terjadi masa transisi seperti sekarang. Ganti direksi pasti dengan cara menurunkan kualitas kredit dengan membentuk cadangan. Lalu, akan dipanen di kemudian hari. Jadi, NPL bank terjadi bisa datang dari banyak arah.
Bank-bank pun akan tertekan perolehan labanya. Bukti lain, keengganan bank menurunkan suku bunga kredit merupakan cerminan dari besarnya risiko dan tertekannya net interest margin (NIM). Bank-bank mencari momentum penurunan suku bunga dana dengan tetap mempertahankan kredit. Ini cara “primitive” agar NIM tetap besar.
Padahal, jujur saja saat ini musim tidak lagi bersahabat. Sejumlah debitur korporasi mengalami gagal bayar, atau pura-pura sudah direncanakan tidak membayar pinjaman karena “kekenyangan” kredit. Kasus Duniatex Grup yang menyeret 24 bank merupakan contoh betapa kredit bisa meledak kapan saja.
Industri tekstil sedang menuju kematian. Bocornya barang tekstil ke Indonesia membuat tekstil dalam negeri terpaksa mengurangi produksi, dan bahkan ada yang mati. Bank-bank pun juga sedang was-was. Apalagi bank di Indonesia setipa perpindahan bankir selalu membawa debitur. Plus jika debitur sedang bagus, ramai-ramai mengucurkan kredit. Baik yang konvensional maupun syariah.
Debitur macet selalu bikin sakit kepala. Apalagi hari-hari ini, banyak yang melakukan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dalam penyelesaian pinjaman macetnya.
Ada dua modus, PKPU diajukan debitur dan kredit “jadi-jadian”. Proses PKPU ini sebenarnya bertujuan baik, memberi ruang untuk negoisasi, perdamaian di dalamnya termasuk restrukturisasi kredit.
Namun di lapangan, entah karena bank sudah membentuk cadangan kerugian (PPAP), seringkali bank tidak bisa menghasilkan recovery yang maksimal. Ada trend menyelesaikan kredit macet di pengadilan. Hari demi hari banyak debitur yang mendaftarkan ke PKPU dan pada akhirnya pailit.
Hal lain yang masih perlu penelusuran lebih dalam, jika terjadi kemacetan pihak berwajib juga ikut nimbrung membicarakan bagaimana proses kredit kok bisa menjadi macet. Apa ada yang dilanggar? Keyakinan kalau terjadi kemacetan sudah pasti bekerjasama dengan orang dalam. Padahal, kredit kapan saja bisa macet –baik karena ekonomi atau memang kelakuan dari debitur yang ugal-ugalan termasuk main judi.
Pat gulipat debitur dalam memainkan kredit juga sangat pintar. Tidak membayar utang merupakan hal yang tidak ditakuti, karena proses di PKPU dan pailit sejatinya tidak mematikan hak perdata debitur. Cukup hak dalam pembagian aset di akhir cerita. Harusnya Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih banyak untuk melindungi kreditur.
Tapi nyatanya, kreditur dalam hal ini bank lebih banyak dirugikan. Fenomena kreditur abal-abal mulai tercium. Apalagi, ketika terjadi krisis banyak debitur yang pura-pura macet memanfaatkan momentum krisis. Lebih parah lagi, debitur macet tersebut menciptakan kreditur jadi-jadian yang faktanya dirinya sendiri.
Untuk itu, ketika musim hujan kredit macet ini, sudah waktunya DPR terpilih segera melakukan amandemen UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini. Setidaknya, tidak dengan mudah melakukan PKPU atau kepailitan. Apakah benar asetnya mencukupi jika dilakukan kepailitan? Siapa saja yang berhak mengajukan PKPU yang lebih fair?
Di samping itu, debitur sontoloyo yang sengaja tidak membayar pinjaman ini juga main ke Pengadilan. Dan, cilakanya bank lah yang paling diburu. Ibarat orang sedang di pasar, lalu dompetnya dicopet. Tapi, yang disalahkah banknya kenapa tidak hati-hati. Sementara Sang Pencopetnya didiamkan.
Bicara kredit kalau sudah macet selalu salah saja banknya. Padahal, kredit macet adalah bagian dari bisnis bank yang penuh risiko. Untuk itu pula, terhadap utang-utang debitur yang tersebar di banyak bank, berharap dapat tergambar dalam pengawasan bank terintegrasi. Pengawasan terintegrasi harus dapat menyimpulkan risiko pemberian kredit secara heli coopter view.
Jangan biarkan debitur sontoloyo ini terus beraksi di musim hujan kredit macet seperti sekarang ini. Bank-bank pun harus menyiapkan payung sebelum hujan. Termasuk pengawasan terintegrasi dari OJK dan amandemen UU Kepailitan dan PKPU menjadi urgen. Dan, tak berharap Mulan Jameela dan Kris Dayanti mapun Eko Patrio duduk di DPR Komisi yang akan melakukan amandemen undang-undang yang penting ini.
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More
Jakarta - Program makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai memberikan dampak… Read More
Jakarta – PT Bank HSBC Indonesia (HSBC Indonesia) mencetak pertumbuhan dana kelolaan nasabah kaya (afluent) menembus… Read More
Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina Samirin Wijayanto, menilai bahwa kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 membawa dampak… Read More