Yuk! Bank Bikin “Celengan Semar” di Tengah Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

MENCEGAH bahaya lebih baik dari mengejar manfaat. Demikian kata seorang bijak yang sering kita dengar. Janganlah mengobral kredit jika risikonya besar, yaitu macet. Bank-bank sekarang memang sedang tak terlihat sakit. Semua tampak baik-baik saja. Tampak cantik berkat “lipstick” berupa relaksasi restrukturisasi kredit.

Itu tak lain karena relaksasi kredit yang diluncurkan OJK. Apalagi situasi mendatang juga penuh ketidakpastian akibat kapan pandemi COVID 19 ini berakhir. Plus wacana amandemen UUD 1945 — yang kabarnya akan memperpanjang jabatan presiden hingga tahun 2026. Atau, menjadi tiga periode. Jelas ini juga akan menambah risiko ketidak pastian bagi bank. Ada yang menyebut anti reformasi, dan tentu jika benar akan menimbulkan banyak tantangan dari mereka yang pro demokrasi, dan tentu ini menjadi risiko bagi dunia usaha dan tentunya bank.

Awalnya setahun. Lalu dua tahun, dan akhirnya tiga tahun hingga Maret 2023. Tulisan ini membayangkan akhir cerita restru di Maret 2023 mendatang. Apa yang bakal terjadi? Tidak ada yang tahu pasti, karena Pandemi COVID-19, meski sudah landai di awal Agustus 2021 ini, namun belum dikatakan sebagai endemic. Masih Pandemi. Jadi masih was-was, penuh ketidakpastian.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali membuat balied baru perpanjangan restrukturisasi kredit. Balied ini adalah penolong penting dalam bisnis perbankan. Tanpa restru, banyak bank yang akan “lempar handuk” minta tambah modal. Apalagi, dengan PSAK 71 diperlukan bantalan modal yang sudah tentu lebih besar dari sebelum adanya Pandemi COVID-19 ini.

Jika memperhatikan kinerja bank, tampaknya tak perlu dirisaukan. Dibandingkan krisis sebelumnya, baru kali ini kondisi perbankan tampak adem ayem, taka da yang kekeringan likuiditas. Semua tambah basah likuiditas meski suku bunga sangat rendah. Jadi, kinerja perbankan sekarang ini jauh lebih baik.

Tidak hanya soal likuiditas. Tapi, juga soal modal, rentabilitas yang masih mampu mencetak net interest margin (NIM) meski kredit seret adanya. Satu-satunya problem perbankan adalah disfungsi intermediasi. Juga, soal bahaya laten non performing loan (NPL) dari kondisi ekonomi yang masih belum pulih.

Menurut catatan Infobank Institute, angka NPL bank masih rendah dan terkendali. Angka NPL tak sampai 4%. Hanya yang paling menakutkan adalah soal besarnya Loan At Risk (LAR). Potensi LAR yang akan menjadi NPL bisa saja rendah, dan bisa saja tinggi, atau moderat. Tergantung kondisi ekonomi mendatang.

Ekonomi yang membaik sudah pasti akan membuat bank-bank aman. Namun jika kondisi ini sampai pertengahan tahun 2022 mendatang, maka dag-dig-dug akan kembali muncul. Soalnya, mendekati batas akhir program restru kredit. Jika tidak dilakukan perpanjangan maka ada dua kemungkinan besar. Posisi LAR akan menjadi NPL dan atau bank-bank akan menambah kredit baru agar bisa kembali hidup.

Lihat saja loan at risk (LAR) bank-bank, meski mulai menurun angka restrukturisasi kredit, tapi angkanya masih membuat was-was para bankir. Angka LAR mencapai 22%-23% (baik karena Covid-19 maupun tidak). Jika menghitung LAR karena Covid-19 mencapai 14-15% selama tahun 2020-2021 (Juli 2021). Angka LAR itulah yang menjadi bom waktu. Rasa dag-dig-dug selalu saja ada, karena bisa turun menjadi non performing loan (NPL).

Meski LAR turun menjadi NPL, tapi jika kondisi ekonomi normal tak masalah. Bank-bank bisa menambah kredit dengan deras. Akibatnya tentu NPL juga akan mengecil dengan sendirinya. Tidak perlu tehnik yang canggih – menambah kredit artinya menambah penyebut sehingga NPL turun secara otomatis.

Skenario  Kredit Bank: Moderat

Pertanyaannya; apakah kredit akan mengucur deras sepanjang tahun 2023 – ketika batas akhir restrukturisasi kredit?

Ada tiga skenario. Satu, kredit akan mengucur tidak sampai 5% hingga akhir tahun 2022 mendatang. Alasannya, kerusakan dunia usaha akibat Pandemi jika sampai triwulan I tahun 2021 belum selesai, tidak serta merta dunia usaha kembali bergairah. Selama kenormalan baru membuat dunia usaha juga sangat selektif melakukan ekspansi. Jadi, kredit akan moderat di angka 5% hingga akhir tahun 2022.

Skenario dua, LAR akan menjadi NPL ketika dunia usaha benar-benar remuk – dimana skenarionya tetap akan menjalankan PPKM. Ketidak pastian yang tinggi, dan dunia usaha yang sudah direstru tiga kali  sulit hidup kembali. Adanya penambahan kredit yang dilakukan akan sia-sia.

Skenario tiga, ketika kredit akan mengucur pada angka hingga 10%. Sudah tentu catatanya ketika tidak ada PPKM dan Covid benar-benar bablas. Pada akhir tahun 2021 asumsinya kondisi kembali normal. Namun kemungkinan skenario ketiga sulit terjadi. Banyak yang menyebut skenario kredit tumbuh 10% sulit terjadi. Pengalaman sejak tahun 2015 kredit sulit tumbuh di atas 10%.

Jadi, skenario yang paling memungkinkan adalah di mana kredit akan tumbuh pada kisaran 5% hingga tahun 2022 mendatang. Bank-bank dalam kondisi mencuci kredit macetnya dengan penuh konsentrasi. Tidak langsung gegabah mendorong kredit, karena permintaan kredit rendah di masa-masa Pandemi dan bahkan pada posisi pertumbuhan 7,07% di Semester I tahun 2021, kredit hanya tumbuh tak sampai 1%.

Sejak Juni 2020, pertumbuhan kredit minus. Nah, baru Juni 2021 lalu bergerak positif 0,59%. Ada optimisme karena pertumbuhan ekonomi Semester I/2021 juga 7,07%. Sayangnya, PPKM Darurat menyebabkan mobilitas orang terganggu. Yang mau beli takut, yang jualan tidak laku. Jadi, kegiatan ekonomi terganggu. Sejumlah usaha gulung tikar.

Kredit pun hanya tumbuh 0,50% (YoY). Melambat dari 0,59% menjadi 0,50%. Jujur saja perlambatan ini sangat tipis, karena PPKM Darurat dampaknya tidak seperti ketika diberlakukan PSBB di tahun 2020 lalu. Bisa jadi masyarakat sudah menemukan keseimbangan. Namun memang angka kredit tidak sangat leluasa ketika Triwulan 2 yang ketika ekonomi tumbuh 7,07%, kredit hanya tumbuh 0,59%.

Menurut data Infobank Institute yang diolah dari Bank Indonesia, per Juli 2021, kredit konsumen tetap mengamai kenaikan lebih tinggi (2,40%). Kredit komersial yang masih dalam anjloknya minus 2,12%, dan kredit korporasi minus 0,5%. Sementara kredit UMKM masih dapat tumbuh.

Ada hal yang perlu digaris bawahi. Selama ini pemerintah sangat konsen terhadap kredit UMKM. Namun yang perlu dipikirkan juga kredit komersial dan korporasi yang juga akan berdampak pada daya dorong pertumbuhan ekonomi. Pilihan sektor korporasi yang padat karya dapat juga membantu pemerintah penciptaan lapangan kerja.

Memperbesar “Celengan Semar”, Untuk Apa?

Namun yang paling penting dilakukan di masa-masa restrukturisasi ini. Satu, tetap menjaga likuiditas agar ketika kenaikan suku bunga di AS tidak membuat bank-bank tersapu karena dananya terbang. Dua, yang paling memungkinkan tetap menjaga kualitas aset dengan baik. Jika terjadi pemburukan maka lebih penting yang dilakukan adalah membuat “Celengan “Semar” atawa pencadangan yang lebih besar. Pilihan, ketiga sedikit mengorbankan perolehan laba.

Dan, tentu dalam masa-masa sekarang, mencari cost of fund yang rendah juga penting, karena dapat disekolahkan sementara di Surat Berharga Negara (SBN) yang masih punya yield yang masih relatif tebal.

Sementara bagi bank yang modalnya cekak, selain memikirkan kredit restru juga memikirkan tambahan modal. Apalagi bagi bank-bank yang belum memenuhi modal minimum Rp2 triliun di akhir tahun 2021, dan 2022 sebesar Rp3 triliun. Masih ada belasan bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun. Sekarang saat yang tepat bagi pemilik bank untuk memutuskan, menambah modal atau menjual banknya – mumpung banyak investor yang menjadi alap-alap dengan membeli bank untuk dijadikan bank digital.

Sepanjang masa restruktursasi kredit ini, mari kita menjaga agar para debitur bisa hidup kembali dan tidak jatuh menjadi NPL secara bersama-sama. Bank-bank sudah berkorban melakukan restrukturisasi maka debitur tidak melakukan moral hazard dengan berpura-pura macet dengan alasan Pandemi COVID-19.

Mari sejenak melupakan untung yang besar, dan lebih baik membuat “celengan semar” lebih besar. Cuaca bank ke depan masih samar-samar, dan cenderung berat karena kerusakan dunia usaha akibat Pandemi COVID-19. “Celengan semar” dibutuhkan untuk mengcover risiko kredit yang akan jatuh menjadi NPL.

Situasi makin tidak pasti – karena kalangan bankir pun juga was-was tentang kondisi politik belakangan ini. Apa itu? Soal wacana amandemen UUD 1945 tentang masa jabawan presiden tiga periode. Atau, melakukan amandemen masa jabatan presiden, DPR, MPR dan DPD  hingga tahun 2026. Jelas ini akan memberi warna penting – paling tidak menjadi tambahan risiko ketidakpastian. Terlepas dari itu kuda-kuda yang paling baik yang membuat pertahanan dengan membuat “Celengan Semar” yang dapat mengcover risiko yang akan muncul dengan sejenak mengorbankan perolehan laba hingga tahun 2023 mendatang. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

BNI Sumbang Rp77 Triliun ke Penerimaan Negara dalam 5 Tahun

Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More

23 mins ago

BI Gratiskan Biaya MDR QRIS untuk Transaksi hingga Rp500 Ribu, Ini Respons AstraPay

Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More

46 mins ago

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

60 mins ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

1 hour ago

Presiden Prabowo Dianugerahi Tanda Kehormatan Tertinggi El Sol del Perú, Ini Maknanya

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memperoleh tanda kehormatan tertinggi, yakni “Grand Cross of the Order… Read More

3 hours ago

RUPS PLN Rombak Pengurus, Berikut Direksi dan Komisaris Terbarunya

Jakarta – PT PLN (Persero) telah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada Kamis (14/11).… Read More

4 hours ago