SELAIN mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan nasional secara terintegrasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) punya tugas lain yang tak kalah penting, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Caranya, yang paling utama adalah menguatkan sektor jasa keuangan agar makin kontributif terhadap perekonomian Indonesia.
Di usianya yang memasuki 10 tahun, bersama sektor jasa keuangan, OJK terus berkembang dalam berbagai dinamika dan tantangan yang ada. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menjadi the biggest challenge bagi OJK dan industri jasa keuangan nasional dalam dua tahun terakhir ini. Dalam kondisi ini, OJK benar-benar diuji, bagaimana menjaga sektor jasa keuangan nasional supaya bertahan dan stabil dalam kondisi krisis karena pandemi COVID-19. Dan, nyatanya OJK mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Apa saja catatan penting OJK dalam satu dasawarsa ini? Bagaimana cara OJK “mengamankan” industri jasa keuangan nasional dari dampak pandemi COVID-19 sekaligus beradaptasi dengan akselerasi yang terjadi dalam hal teknologi digital? Dan, akan seperti apa OJK ke depan? Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, memberikan jawabannya kepada Infobank, beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:
November ini OJK akan merayakan hari jadinya yang ke-10 tahun. Apa catatan khusus Anda untuk satu dekade perjalanan OJK, terutama dalam tugas dan perannya dalam mengatur, mengawasi, serta melindungi industri jasa keuangan di Tanah Air?
Setiap lembaga negara pasti rujukannya UUD 1945. Kami juga sama, tujuan akhirnya adalah pencapaian UUD 1945 dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai itu, ada porsinya masing-masing. OJK melalui sektor jasa keuangan. Bagaimana sektor jasa keuangan itu bisa menjadi transmisi kebijakan. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat.
Soal pengawasan, kami mengawasi uang masyarakat yang ada. Sejahtera bukan hanya soal tidak punya uang, tetapi juga uangnya terjaga dan aman. Uang ini juga harus dipinjamkan ke masyarakat lain yang membutuhkan. Ini yang namanya transmisi dari dana yang disimpan masyarakat dan yang dipinjam masyarakat. Yang menyimpan sejahtera karena tidak hilang, yang dipinjam berusaha, mempekerjakan masyarakat sehingga pengangguran berkurang, pendapatan masyarakat naik. Mengawasi itu bukan sekadar menunggu saja, enggak. Ya harus meyakinkan kalau simpanan di bank ini aman dan kewajiban kepada nasabah bisa dibayar dan harus bisa memberikan pinjaman. Kalau uang hanya disimpan, tidak dipinjamkan, maka tidak ada multiplier. Fungsi memberikan pertumbuhan ekonomi tidak ada.
Peran OJK itu memang pada akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Itulah mengapa OJK namanya otoritas. Jadi, luas, bisa menstimulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas. Berbeda dengan super attendant, seperti beberapa yang ada di luar negeri. Super attendant itu mengawasi-lapor, mengawasi-lapor, ke masyarakat. Dulu pernah ada lembaga pengawas jasa keuangan, jadi bukan otoritas.
Kalau kita kembali pada 10 tahun OJK, saya flashback kepada sektor jasa keuangan itu di perbankan. Bagaimana penguatan kebijakan di sektor perbankan ini menjadi prioritas. Aturan bisnis, aturan prudential-nya, existing policy-nya. Breakthrough-nya adalah mengawasi itu tidak hanya spot point in time, tetapi lebih banyak forward looking.
Kalau kita spot point in time, bisa bahaya. Setahun lagi atau enam bulan lagi sudah ngguling sehingga kita tidak preventif kalau mengawasi dengan point in time. Dengan forward looking, kita bisa memprediksi. Misalnya, likuiditas, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, atau 10 tahun lagi bisa kita prediksi. Bukan hanya likuiditas, tetapi juga kredit. Sekarang mungkin baik, 1 tahun hingga 3 tahun ke depan bagaimana? Kualitasnya harus bisa kita prediksi. Inilah forward looking.
Inilah yang kami lakukan. Pada awal 2000 ada matriks banking reform, termasuk injeksi modal, bank mana yang membutuhkan modal karena pascakrisis. Matriks itu adalah matriks pengawasan peningkatan kebijakan di sektor jasa keuangan. Itu merupakan bagian dari janji kita kepada IMF. Kita memang punya utang IMF waktu itu. Saya masukkan situ dan IMF senang, ‘that’s what we’re looking for’.
Perbaikan yang kami lakukan terbukti berhasil di 2008, waktu krisis finansial global. Resilience perbankan kita, permodalannya kuat, sekarang permodalannya 24%. Ini karena kita menerapkan prinsip tiga pilar. Pilar pertama, bahwa bank harus memiliki modal yang forward looking, berdasarkan risiko tadi. Modalnya tidak didasarkan pada keadaan sekarang. Kalau prediksi kredit macetnya banyak, ya cadangannya harus banyak, risk-based capital. Semua report kami desain agar forward looking. Pilar kedua, kalau tidak yakin dengan pilar pertama dan ada hal yang mengkhawatirkan, kami menambah modal di pilar kedua. Kita asses lagi. Pilar ketiga adalah harus transparan pada masyarakat.
Adanya OJK membuat pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi. Apa poin pentingnya dalam hal ini?
Ini adalah banking reform post-crisis 1997/1998 dan tested di 2008, resilience perbankan kita. Begitu saya kembali dan jadi Ketua DK OJK (2017), itu jadi model pengawasan yang terbaik di dunia, integrated financial authority. Jadi, kita dengan kebijakan di perbankan, kebijakan pasar modal, non banking institution, dan perlindungan konsumen. Beberapa negara terpisah-pisah, padahal saling berkaitan.
Kita tahu kadang ada program asuransi yang ditawarkan ke perbankan. Dulu, waktu kita masih di perbankan (pengawasan terpisah), enggak ngerti, karena ini adalah produk asuransi. Produk asuransi yang ditawarkan, underlying-nya produk pasar modal, yang unit link itu. Apa lagi ini? Enggak ngerti, waktu belum ada OJK, kita tidak mengerti. Tetapi, sekarang kita bisa mengerti semua karena kita dalam satu authority.
Dunia mengatakan bagus, tetapi kalau tidak yakin jangan coba-coba. Namun, kalau berhasil, ya bisa jadi the best. Selama ada di OJK, cara inilah yang menjadi benefit dan menguntungkan masyarakat, bahwa OJK bisa melihat segalanya.
Lalu, ada juga fungsi edukasi dan perlindungan konsumen. Supaya masyarakat bisa paham instrument keuangan dan risikonya, bahkan ada masyarakat yang belum menjadi nasabah, itu kami bawa. Ini financial inclusion, supaya basis sektor jasa keuangan makin besar. Edukasi dan literasi terus dilakukan, tetapi negara kita adalah negara yang besar dan kepulauan. Jadi, saya rasa memang harus kerja keras. Inklusi keuangan kita sekarang sudah 76%. Targetnya 90% di 2024. Jadi, kaitannya tidak pengawasan saja.
Jadi, OJK juga berperan dalam pertumbuhan ekonomi, termasuk mengembangkan sektor UMKM?
Ya, (tapi) kami tidak bisa sendirian. Ini tidak bisa sepotongsepotong, A sampai Z kami tuangkan, misalnya dalam ekosistem pengembangan UMKM. Pertanyaannya, kenapa OJK? Karena, OJK concern, kalau itu tidak ada (UMKM), kredit tidak ada yang ngucur. KUR yang Rp253 triliun, tidak ngucur, mau ke siapa? Kalau ini, (klaster UMKM) 1.000 nasabah dianalisis dalam satu klaster dan bawa satu off taker, satu pengusaha, sudah jelas. Ini tidak bisa terkotak-kotak dan harus integrated. Bank juga tidak bingung KUR-nya mau dikasih ke siapa. Demand ada dan aman. – Bersambung ke bagian 2. (*) Ari Nugroho
*Laporan selengkapnya mengenai 10 Tahun OJK dapat dibaca di Majalah Infobank No.523, edisi November 2021
Jakarta - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyoroti potensi besar negara-negara anggota Developing Eight (D-8)… Read More
Jakarta - BPJS Ketenagakerjaan bersama Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) bersinergi untuk meningkatkan… Read More
Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini, Jumat, 20… Read More
Jakarta - PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk akhirnya buka suara ihwal penarikan varian rasa Indomie… Read More
Jakarta – Mahkamah Agung (MA) resmi menolak permohonan kasasi PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex… Read More
Jakarta – Rupiah diproyeksi melanjutkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat setelah data Produk… Read More