Oleh Erwin Urip, President Director Blue Power Technology
TAHUN 2025 muncul sebagai salah satu periode paling menantang bagi bisnis dan organisasi di seluruh dunia. Serangkaian outage besar yang menimpa tiga raksasa layanan cloud, menjadi pengingat nyata bahwa bahkan sistem yang tampaknya kokoh tetap memiliki kerentanan.
Dan dengan semakin besarnya ketergantungan terhadap IT, insiden itu bisa langsung terasa dampaknya di seluruh dunia, aplikasi bisnis melambat, transaksi komersial gagal, operasional internal tersendat, dan layanan digital yang menjadi tulang punggung banyak organisasi tiba-tiba “macet” tanpa peringatan.
Bagi publik, ini mungkin tampak seperti gangguan sesaat. Namun bagi eksekutif, CIO, dan tim manajemen risiko, kejadian ini adalah peringatan keras bahwa model bisnis modern kini terikat pada infrastruktur IT yang dapat runtuh sewaktu-waktu.
Dalam konteks organisasi, situasinya mirip seperti sebuah perusahaan yang seluruh operasionalnya bergantung pada satu jalur suplai listrik. Ketika sumber tersebut padam walau hanya beberapa menit, seluruh rantai aktivitas berhenti total dari layanan pelanggan, transaksi penjualan, proses produksi, hingga keputusan strategis.
Kegagalan beruntun yang terjadi pada tiga raksasa cloud dunia itu memperlihatkan bahwa internet global kini beroperasi seperti sistem energi tunggal: sangat kuat, tetapi memiliki titik-titik lemah yang terpusat.
Insiden ini menjadi fakta penting: tidak ada platform yang benar-benar kebal terhadap kegagalan, bahkan yang berskala global sekalipun. Lebih dari itu, insiden tersebut mengingatkan bisnis bahwa ketahanan digital bukanlah sesuatu yang muncul secara otomatis. Ia harus dirancang dengan disiplin, diuji secara berkala, diobservasi secara real-time, dan dijaga melalui strategi yang matang.
Di tengah ketergantungan yang semakin tinggi pada layanan cloud, organisasi harus mulai menggeser mindset dari “mengandalkan teknologi” menjadi “membangun ketahanan” karena dalam ekonomi yang semakin terkoneksi, satu gangguan kecil saja dapat berubah menjadi risiko bisnis yang tidak kecil.
Baca juga: Strategi Tangkal Serangan Siber Berbasis AI yang Makin Masif
Banyak organisasi cenderung memilih cara yang paling praktis dalam mengelola infrastruktur digital mereka, misalnya hanya menggunakan satu cloud provider, satu CDN, atau satu penyedia DNS. Secara operasional, pilihan ini memang terlihat lebih mudah, simpel, dan tidak merepotkan tim IT karena semuanya terpusat di satu tempat.
Namun, kemudahan ini punya risiko besar: ketika semua layanan bergantung pada satu penyedia, maka jika penyedia tersebut mengalami gangguan (down), seluruh sistem organisasi juga ikut lumpuh. Inilah yang disebut single point of failure, yaitu satu titik kegagalan yang dapat mematikan seluruh layanan. Insiden baru-baru ini adalah bukti nyata.
Arsitektur sistem modern harus dibuat bukan hanya untuk berjalan baik saat kondisi normal, tetapi juga untuk tetap berfungsi ketika terjadi gangguan. Karena itu, banyak perusahaan menggunakan konsep multi-region deployment, yaitu menempatkan sistem di beberapa lokasi berbeda agar layanan bisa otomatis berpindah jika salah satu lokasi bermasalah.
Namun, perlindungan tidak cukup hanya sampai di situ. Dengan multi-cloud, perusahaan bisa menggunakan lebih dari satu penyedia layanan cloud sehingga layanan tetap berjalan meskipun salah satu platform mengalami gangguan besar.
Dalam beberapa kondisi, hybrid cloud yakni menggabungkan cloud publik dengan server milik sendiri (on-premise), juga masih penting, terutama bagi organisasi yang memiliki aturan ketat atau data sangat sensitif yang tidak boleh dipindahkan ke cloud. Singkatnya, ketahanan sistem muncul dari penyebaran risiko, bukan dari menumpuk semuanya di satu tempat.
Salah satu masalah terbesar di banyak organisasi adalah kurangnya dokumentasi dan pemetaan infrastruktur. Sistem berkembang secara organik selama bertahun-tahun—ditambal, ditambah, atau dimodifikasi tanpa catatan yang rapi. Ketika ada insiden, tim IT kesulitan mengetahui komponen mana yang terpengaruh dan bagaimana alur dependency bekerja.
Padahal, tanpa pemetaan yang jelas, kita seperti memadamkan api di ruangan gelap: kita tidak bisa melihat seluruh risiko dan hanya bereaksi pada apa yang tampak.
Pemetaan infrastruktur seharusnya mencakup alur data, komponen kritis, dependency antar aplikasi, integrasi dengan layanan pihak ketiga, serta seluruh konfigurasi yang masih aktif. Dengan peta yang lengkap, organisasi dapat mengidentifikasi titik rawan, menilai risiko secara objektif, dan menyiapkan rencana mitigasi yang terukur. Lebih dari itu, pemetaan juga membantu organisasi merencanakan migrasi teknologi dan modernisasi tanpa mengekspos diri pada risiko yang tidak disadari.
Banyak organisasi memiliki Business Continuity Plan (BCP), tetapi tidak banyak yang benar-benar menyiapkannya sebagai rencana praktis. Dokumen BCP sering kali hanya digunakan sebagai formalitas dalam audit atau persyaratan kepatuhan. Namun, ketika insiden terjadi, barulah terlihat apakah rencana tersebut fungsional atau hanya serangkaian kalimat yang tidak pernah diuji.
BCP yang efektif harus mencakup langkah-langkah mitigasi yang jelas: otomatisasi failover, redundansi sistem, skenario pemulihan data, dan kesiapan untuk beroperasi dalam mode darurat. Namun lebih penting lagi, rencana tersebut harus diuji secara berkala.
Banyak organisasi percaya bahwa mereka memiliki failover mechanism, tetapi ketika diuji, ternyata konfigurasi sudah usang, script tidak bekerja, atau komponen cadangan tidak pernah disinkronkan dengan benar. BCP yang tidak pernah diuji hanyalah teori, dan teori tidak dapat menyelamatkan layanan saat outage besar terjadi.
Pada akhirnya, pelanggan tidak peduli apa penyebab outage yang dialami organisasi atau perusahaan tertentu. Mereka tidak peduli apakah kesalahan ada pada provider layanan yang digunakan organisasi atau kesalahan konfigurasi internal. Yang mereka lihat hanyalah satu hal: layanan yang mereka gunakan tidak berfungsi.
Inilah mengapa memahami dan menegakkan Service Level Agreement (SLA) sangat penting. SLA bukan sekadar angka uptime di atas kertas, tetapi komitmen organisasi bahwa mereka siap merancang arsitektur yang sejalan dengan janjinya. Ia harus menjadi acuan dalam mengatur redundansi, memilih provider, menyusun strategi failover, dan menetapkan jumlah sumber daya.
Selain itu, komunikasi adalah elemen penting yang sering diremehkan. Ketika terjadi outage, komunikasi yang cepat, jelas, dan transparan dapat mengurangi kekecewaan pelanggan. Organisasi yang memberikan update berkala cenderung tetap dipercaya, sementara organisasi yang diam justru memperburuk keadaan. Terlebih bagi layanan publik atau perusahaan yang menangani transaksi kritikal, keterlambatan komunikasi dapat memperburuk situasi dan memicu ketidakpercayaan dalam skala besar.
Baca juga: Silent Heist di Era Digital: Menggagalkan Ancaman Jackpotting Touchless Sebelum ATM Menjadi “Mesin Judi” Kriminal Siber
Sistem IT tidak boleh hanya terlihat stabil. Ia harus terbukti stabil melalui serangkaian pengujian berkala. Banyak organisasi terkejut saat menghadapi lonjakan trafik mendadak, padahal lonjakan semacam itu dapat disimulasikan sebelumnya melalui stress testing dan load testing.
Dengan pengujian rutin, organisasi dapat menemukan bottleneck, meningkatkan kapasitas, dan memperkuat area yang rentan. Tanpa pengujian, organisasi hanya berharap yang terbaik dan harapan bukanlah strategi
Insiden tiga raksasa layanan cloud global jelang akhir 2025 bukanlah kejadian pertama, dan pasti bukan yang terakhir. Dunia digital akan terus berkembang, kompleksitas meningkat, dan dependensi antar layanan makin rumit. Tetapi dengan perencanaan yang matang, arsitektur yang resilien, dokumentasi yang baik, BCP yang teruji, serta komunikasi yang transparan, organisasi dapat bertahan bahkan saat penyedia layanan cloud top mengalami kegagalan.
Ketahanan digital bukan soal menghindari kegagalan, tetapi soal kesiapan menghadapi kegagalan itu dengan tenang, cepat, dan efektif. Dan kesiapan tersebut adalah pilihan yang harus diambil setiap organisasi, hari ini, sebelum outage berikutnya datang. (*)
Oleh Dr. Ir. Osbal Saragi Rumahorbo, M.M.* BANK Rakyat Indonesia (BRI) telah mengarungi gelombang perubahan… Read More
Poin Penting Rekonstruksi pasca-bencana di Sumatra diproyeksi mencapai Rp50 triliun–70 triliun dan berpotensi meningkat karena… Read More
Poin Penting Reliance Sekuritas menyatakan akan mengikuti arahan BEI terkait rencana demutualisasi yang saat ini… Read More
Poin Penting Resolusi finansial perlu strategi terukur, dimulai dari evaluasi pemasukan, pengeluaran, aset, dan liabilitas.… Read More
Poin Penting RELI targetkan dua penerbitan efek di 2026, masing-masing satu IPO saham dan satu… Read More
Poin Penting AAUI mencatat estimasi sementara klaim asuransi akibat bencana di Sumatra mencapai Rp567 miliar… Read More