Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
KREDIT kalau sudah macet, apa saja bisa terjadi. Salah-salah bisa masuk hotel prodeo. Nah, kalau sudah masuk ranah hukum, umumnya bankir akan kena pasal karet kehati-hatian yang mengarah tindak pidana perbankan. Kasus Maryono, mantan direktur utama BTN, yang diduga tersandung gratifikasi bermula dari kreditnya macet. Dan, posisi Loan at Risk (LAR) perbankan yang sudah terbang ke angka 25%, bisa jadi berbuah kredit macet yang apa saja bisa terjadi. Hati-hati soal LAR yang berakhir menjadi kredit macet. Banknya bisa tergerus modalnya, dan bankirnya bisa “tersandung” kredit macet.
Saat ini, hujan restrukturisasi belum juga reda. Bahkan, akan lebih lebat. Simak saja LAR perbankan terus bergerak naik. Saat awal sebelum pandemi COVID-19, angka LAR hanya di kisaran 8%-9%. Kini angkanya sudah lebih dari dua kali lipat. LAR perbankan sudah mencapai 23%. Diperkirakan angka LAR akan menembus 30%-35% dari total kredit hingga akhir restrukturisasi, Maret 2021.
Saat ini saja, sejumlah bank LAR-nya sudah mencapai 24%-25%. Bank-bank besar mendominasi angka LAR. Bank-bank harus mewaspadai LAR yang tinggi ini, karena tidak semua kredit yang direstrukturisasi ini akan kembali lancar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus memikirkan LAR yang tinggi ini agar tidak terjadi hujan non performing loan (NPL). Juga, perlu kecanggihan sendiri dari pihak manajemen bank agar kredit hasil dari restrukturisasi tidak turun kolektibilitasnya. Tidak mudah memang.
LAR didefinisikan sebagai penjumlahan kredit kualitas rendah; kolektibilitas 5, 4, 3 dan kolektibilitas 2 plus kolektibilitas hasil restrukturisasi kredit. Menurut data OJK, kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp863,62 triliun (per 24 Agustus 2020). Jumlah kredit yang direstrukturisasi terbesar non-UMKM mencapai Rp508,48 triliun. Sisanya, UMKM di bawah Rp10 miliar sebesar Rp355,17 triliun.
Menurut catatan Infobank Institute, ada empat hal besar di sektor perbankan. Satu, tekanan NPL dan besarnya LAR akibat kebijakan restrukturisasi. Dua, rendahnya permintaan kredit (mulai terganggunya fungsi intermediasi perbankan). Tiga, menurunnya net interest margin (NIM) di semua sektor kredit. Empat, perubahan tata operasional perbankan yang mengarah ke digital.
“Naik-naik ke puncak restrukturisasi kredit”. Menurut perkiraan Infobank Institute, angka restrukturisasi ini akan meningkat. Kenaikan angka restrukturisasi ini, selain menunjukkan potensi kredit macet relatif besar juga sekaligus mengindikasikan bahwa perbankan menyimpan bom waktu ketika kebijakan restrukturisasi kredit dari OJK ini berakhir, di Maret 2021 mendatang.
Tingginya LAR Bank Himbara dan Bank BUKU 4
Pada gelombang pertama (April-September 2020) restrukturisasi kredit ini menimpa sektor UMKM, dan khusus pada bank-bank besar. Kelompok bank Himpunan bank-bank Milik Negara (Himbara) mengalami kenaikan LAR akibat hujan restrukrisasi kredit. Lebih dari 78% restrukturisasi kredit didominasi oleh bank BUKU 4 papan atas di Indonesia (BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI). Sisanya, 12% dicatat oleh bank BUKU 4 papan bawah dan 10% bank BUKU 3.
Jika melihat kenyataan demikian, maka bisa jadi pada gelombang kedua (September 2020-Maret 2021), angka restrukturisasi akan meningkat. Situasi belum sepenuhnya membaik. Perkiraan bahwa perekonomian Indonesia akan memasuki lorong resesi jujur saja memengaruhi confidence sektor riil dan tentunya perbankan.
Bisa jadi akan berefek pada rendahnya permintaan kredit, menyangkut efek bola panas merosotnya perekonomian dunia dan dalam negeri yang masuk lorong resesi. Kedua, bank-bank relatif hati-hati karena menyangkut risiko dan menjaga likuiditasnya. Bahkan, jika keadaan memburuk, demo buruh Omnibus Law dan penanganan pandemi COVID-19, makin rendah permintaan kredit.
Justru yang terjadi adalah kredit seret, dan kredit bermasalah meningkat, maka NPL otomatis meningkat. Dan, sudah pasti LAR juga akan terbang tinggi. Periode September 2020 – Maret 2021 disebut sebagai gelombang kedua dari restrukturisasi kredit. Sektor korporasi dari bank-bank besar akan mengalami tekanan akibat permintaan konsumen yang juga turun, baik di dalam negeri maupun pasar ekspor.
Ada banyak alasan, selain kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Salah satunya, setelah sektor UMKM terkena dampak, maka sektor korporasi juga akan terkena efek berikutnya. Bank-bank BUKU 4 papan atas dan bank-bank BUKU 4 papan bawah makin banyak yang melakukan restrukturisasi kredit, termasuk bank BUKU 3.
Siapa yang menyumbang LAR tinggi? Merujuk data yang sama, kelompok bank BUKU 4 papan bawah (CIMB Niaga, PaninBank, dan Bank Danamon) secara persentase merupakan penyumbang LAR tertinggi. Angka LAR-nya mencapai 24-25%. Sedangkan bank BUKU 4 papan atas (BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI) LAR-nya mencapai 23-24%. Bank-bank BUKU 4 merupakan kelompok bank yang paling besar soal LAR ini.
Kelompok bank BUKU 3 relatif lebih rendah. Angka LAR-nya sekitar 19-20%. Atau lebih kecil daripada LAR seluruh bank BUKU 1 dan bank BUKU 2. Bank-bank BUKU 1 dan bank BUKU 2 dengan LAR sebesar 20-21%. Sehingga, seperti disebutkan di atas, rata-rata dari 106 bank kisaran LAR-nya 22%-23%. Atau, sudah lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pada Maret 2020.
Hal itu disumbang oleh program diskon kebijakan OJK tentang kelonggaran restrukturisasi kredit. Lonjakan restrukturisasi kredit, seperti dicatat Infobank Institute, mencapai empat kali sejak program ini diluncurkan, atau sejak April 2020.
Setelah LAR, Hati-hati jadi NPL
Apakah angka LAR 22%-23% ini besar, atau akan membesar dan berbahaya? Jawabannya relatif, tergantung kondisi. Namun, dengan kondisi di mana penanganan pandemi COVID-19, pilkada yang terus berlangsung, penurunan ekonomi global dan ekonomi dalam negeri, angka LAR bisa terbang. Sebab, persoalan kredit bank makin berat. Permintaan turun, risiko meningkat dan tentu LaR akan naik. Juga, berbagai faktor, salah satunya style manajemen bank, apakah masih akan ditahan NPL-nya atau tidak.
Pergantian direksi di BNI juga setidaknya akan menyumbang angka restrukturisasi kredit. Lazimnya yang dilakukan oleh tim direksi baru akan menurunkan kolektibilitas secara masif. Harapannya, setahun atau dua tahun ke depan akan “dipetik” menjadi laba.
Model penurunan kolektibilitas sudah menjadi “rumus” baku bagi bankir di Indonesia. Direksi baru “cuci-cuci” piring. Hal ini pernah terjadi pada CIMB Niaga, PermataBank. Juga, Bank Mandiri dan Bank BTN. Hal ini lumrah sepanjang cadangannya cukup. Nah, dengan demikian, diperkirakan LAR BNI juga akan membesar akibat penurunan kolektibilitas yang menjadi kebiasaan bankir di Indonesia. Sudah bukan rahasia di antara bankir.
Tidak ada yang salah. Namun, tentu ini akan meningkatkan LAR dari perbankan hingga Maret 2021. Atau, paling tidak hingga akhir 2020 ini. Banyak yang memperkirakan BNI akan melakukan restrukturisasi yang lebih banyak. Juga, Bank Mandiri yang mempunyai kredit korporasi yang besar. Sampai dengan saat ini belum ada konfirmasi dari pihak bank tersebut akan melakukan penurunan kolektibilitas atau tidak. Namun, banyak bankir yang memperkirakan akan terjadi “bersih-bersih” kredit.
Bisa jadi angka LAR perbankan bakal naik. Menurut perkiraan Infobank Institute, secara nasional angka LAR perbankan pada gelombang kedua akan berada pada kisaran 30%-35% dari total kredit perbankan sebesar Rp5.550 triliun. Sebuah angka yang besar sepanjang sejarah perbankan setelah krisis perbankan 1997/1988.
Apakah LAR itu akan membahayakan perbankan? Bank-bank sudah waktunya waspada, sejak dini. Mitigasi risiko dalam melakukan restrukturisasi kredit menjadi sangat urgen. Obral restrukturisasi kredit tidak harus dilakukan tanpa harus melihat prospek debitur ke depan.
Apakah debitur yang dikenai restrukturisasi benar-benar bisa hidup kembali, pada akhir Maret 2021 kembali lancar, dan tidak berubah menjadi NPL? Waspada! Bahaya laten LAR sudah di depan mata. LAR sejumlah bank sudah ada yang mencapai 25%, dan bukan tak mungkin akan berubah menjadi 30%-35%. Tinggi. Apalagi, tidak semua kredit yang direstrukturisasi tidak semua kembali bugar. Berdasarkan pengalaman, 20%-30% menjelma menjadi kredit bermasalah atau NPL.
Bankir tak lagi bisa tersenyum lebar. Belum lagi, ulah debitur sontoloyo yang bandel dengan bermain di lapangan basah pengadilan dengan PKPU atau pailit. Pelonggaran kebijakan restrukturisasi kredit menjadi Maret 2022 hanya menunda waktu. Jagalah modal dan brankas masing-masing.
“Modal oh modal”, menjadi jawaban lugas dalam mewaspadai LAR yang sudah terbang tinggi ini, dan akan terbang lebih tinggi lagi. Hati-hati jangan sampai LAR menjadi macet, yang bisa saja masuk ke ranah hukum. Dan, jika masuk ranah hukum, sulit rasanya bankir mengelak dari tuduhan. Pengalaman, seringkali kasus-kasus lain kredit macet yang masuk ranah hukum, bankir sulit lolos. Nah, jika sudah begini, maka The Glorious of the Banker is over. Finish.
Jadi, tetaplah hati-hati dan waspada di tengah hujan restrukturisasi yang sudah menembus 4 kali dari kondisi normal ini. Meski angka NPL perbankan masih 3,7-3,9%, angka LAR yang terbang tinggi bisa berbalik arah “membunuh” bank dan bankirnya sekaligus. Hati-hati lubang besar LAR dari restrukturisasi kredit yang membabi buta ini. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More
View Comments
Kredit default; secara best practice ada 2 hal penyebabnya. 1. Karena faktor intern (humman error dlm analisis). 2. Karena faktor ekstern (bencana alam, wabah, perubahan kebijakan). Realitas yg terjadi terkini LAR meningkat oleh karena faktor no.2. Kebijakan penyelamatan ktedit bagi nasabah yg usaha masih ada dan berjalan itu sdh tepat. Namun bagi yg usahanya sdh tidak berjalan penyelamatan kredit dilakulan dengan penjualan agunan atau agunan yg diambil alih oleh bank. Saya pikir perbankan indonesia on the track dlm menjalankan best practice yg ada, dan peran OJK baik sebagai regulator maupun pengawas telah diupayakan secara optimal mengawal sistem keuangan Indonesia.