Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
NGERI. Generasi Z ternyata punya utang yang menumpuk. Generasi yang belum berusia 24 tahun ini, atawa mahasiswa atau lulusan SMA ternyata punya utang macet di pinjaman online (pinjol). Juga, masuk daftar SLIK-OJK yang berpotensi “mati perdata”. Di tengah Gen Z yang kesulitan dan terjebak utang, ada kabar terbaru dari Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI untuk berhati-hati tentang besarnya utang pemerintah. Tidak berhubungan langsung, tapi hanya ingin menyebutkan jangan sampai keduanya terjadi debt trap atawa jebakan utang.
Sri Mulyani Indrawati dalam pembahasan RAPBN dengan Komisi XI DPR RI mengungkapkan pengelolaan utang pada 2025 perlu hati-hati. Pasalnya, tren suku bunga tinggi dan nilai tukar akan memengaruhi belanja termasuk pembayaran bunga utang.
“Oleh karena itu kita harus sangat hati-hati di dalam mengelola utang dalam tren seperti itu,” ujar Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Menurut catatan Biro Riset Infobank, jumlah utang RI Rp.8.338 T. Sementara utang jatuh tempo tahun 2025 mencapai Rp800,33 T, naik nyaris 2 kali yang sebesar Rp434,29 T. Sedangkan Tahun 2024 ini beban APBN untuk membayar bunga utang Rp434,29 T. Jika defisit diperlebar 2,45-2,82%, beban bunga utang bisa tembus Rp600 T. Bisa jadi besarnya beban bunga di tengah situasi global dengan suku bunga tinggi dan inflasi inilah yang menjadi perhatian Sri Mulyani Indrawati.
Jika melihat besarnya penerbitan Surat Utang Negara – yang dikaitkan dengan jumlah utang jatuh tempo, dan bunga pinjaman dapat dipastikan bahwa untuk membayar dengan cara menerbitkan utang baru. Gali lubang tutup lubang. Hal ini tak menjadi masalah jika ada stabilitas, misalnya pembeli SUN. Tapi, hal itu juga perlu diperhatikan mengenai besarnya yield yang tentu lebih berat.
Simak. Pada tahun 2019, porsi pembayaran bunga utang pemerintah Rp275,5 triliun. Jumlah meningkat menjadi Rp 314 triliun pada 2020, naik menjadi Rp 343,4 triliun pada 2021, meningkat ke Rp 386,3 triliun pada 2022 dan diperkirakan melonjak menjadi 434,29 triliun di tahun ini. Beban berat.
Tidak ada kaitannya dengan posisi utang Gen Z. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah debt trap atawa jebakan utang. Lihat saja data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, banyak Gen Z terjerat pinjol, hingga Maret 2024 ada 9,18 juta rekening pinjol dari kelompok usia 19 – 34 tahun, dengan nilai pinjaman mencapai Rp28,80 triliun.
Nah, dari angka itu, nilai pinjaman tersebut naik nyaris Rp2 triliun hanya dalam setahun. Mirisnya, sekarang ini banyak anak di bawah 19 tahun juga ikut terjerat pinjol. Berdasarkan data yang sama, sampai Maret 2024, rekening pinjaman online atau Pinjol di kelompok usia ini sudah mencapai lebih dari 90.000.
Jumlah rekening pinjol orang berusia di bawah 19 tahun sempat mencapai puncak tertinggi pada September 2023, mencapai 178 ribu rekening. Hal ini juga sejalan dengan total pinjaman yang mencetak nilai terbesar Rp283,89 miliar. Pada periode terbaru Maret 2024, nilai pinjaman untuk usia di bawah 19 tahun ini mencapai Rp211,43 miliar, dalam setahun nilainya sudah naik nyaris 60% dari Rp132.25 miliar.
Lebih mengenaskan, utang gagal bayar paling banyak berasal dari peminjam generasi milenial dan Gen Z. Ketelatan pembayaran utang pinjol lebih dari 90 hari disebut juga tingkat wanprestasi 90 hari alias TWP 90. Kredit macet pinjol mencapai 2,94% atau Rp 1,83 triliun per Maret. Angka kredit macet pinjaman online melonjak dibandingkan Februari Rp 1,79 triliun. Kredit macet perorangan mencapai Rp 1,37 triliun. Sementara itu, telat bayar lebih dari 90 hari oleh peminjam UMKM Rp 457 miliar.
Data tentang macetnya Gen Z ini juga menjadi perhatian, karena pasar kredit perbankan juga makin sempit di masa datang. Apalagi, sejumlah kategori kredit mikro misalnya juga ada tendensi kredit bermasalah. Kenaikan kredit mikro dan pinjol ini perlu diwaspadai tentang adanya jebakan utang atawa debt trap yang bisa menjadi bencana di masa mendatang baik bagi bank dan debitur sendiri.
Besarnya beban bunga yang sudah dibayar bunga ini akan menekan fiskal, tapi masalah utamanya penggunaan utang negara ini juga harus produktif dan punya value dan bukan hanya sekadar belanja yang tak produktif, apalagi berutang untuk bayar bunga utang. Hal yang sama juga jangan sampai uang pinjol untuk konsumsi yang berakhir seperti angin tak berbekas. Anak-anak muda yang masuk SLIK-OJK ini akan masuk pada kategori “mati perdata” – tidak bisa mengakses keuangan di perbankan.
Perlu diwaspadai, Gen Z sudah memasuki jebakan utang ketika hidup di zaman atau rezim dimana bunga utang juga sudah dibayar dengan utang yang baru. Keuangan Indonesia tidak baik-baik saja, juga dompet Gen Z yang lebih tidak baik baik saja. Stop gali lubang tutup lubang agar tidak terjebak utang. Sayangnya, kita hampir masuk jebakan utang ini. (*)
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat uang beredar (M2) tetap tumbuh. Posisi M2 pada Oktober 2024 tercatat… Read More
Jakarta - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) kembali meraih peringkat "Gold Rank" dalam ajang Asia… Read More
Jakarta – Menjelang akhir 2024, PT Hyundai Motors Indonesia resmi merilis new Tucson di Indonesia. Sport Utility Vehicle (SUV)… Read More
Jakarta - Romy Wijayanto, Direktur Keuangan & Strategi Bank DKI menerima penghargaan sebagai Most Popular… Read More
Jakarta - Kementerian Koperasi (Kemenkop) menegaskan peran strategis koperasi, khususnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam… Read More