Jakarta – Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 akan berada di kisaran minus 1,1% hingga 2,9%, sementara pertumbuhan ekonomi di kuartal II minus 5,32%. Bila itu terjadi maka Indonesia resmi memasuki resesi, yaitu ketika negara mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi dapat diartikan perlambatan atau roda ekonomi berhenti, dengan kondisi daya beli masyarakat menurun, aktivitas ritel dan industri manufaktur tutup, serta tingkat pengangguran semakin meluas akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana.
“Kita berharap resesi ekonomi tidak sampai berimbas pada seluruh sendi kehidupan sosial dan politik masyarakat di tanah air, yang sudah terhemps badai Pandemi Covid-19 sejak enam lalu. Untuk itu, serangkaian kebijakan Pemerintah yang tepat guna sangat diperlukan,” ungkap Pengamat dan Pemerhati Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Suhaji Lestiadi yang dikutip di Jakarta, Selasa, 29 September 2020.
Sebelumnya, Pemerintah telah menggulirkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Paket kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sosial, ekonomi dan keuangan. Selama ini Program PEN fokus mendukungan kinerja BUMN dan UMKM melalui berbagai stimulus pendanaan seperti penundaan pembayaran kredit, penjaminan modal kerja, subsidi bunga, kompensasi dan restrukturisasi kedit bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19.
Suhaji Lestiadi yang juga Anggota Dewan Pakar MEK PP Muhammadiyah, secara prinsip mengapresiasi kebijakan tersebut, namun dari sisi alokasi dana sebesar 2,5% dari PDB dinlai masih terlalu kecil. Sebab, hampir seluruh negara terdampak Covid-19 lainnya di dunia mengalokasikan dana bagi Program PEN minimal sebesar 10% dari PDB.
“Saya khawatir, bila stimulus yang diberikan terlalu kecil dan pemulihan ekonomi berjalan lambat maka industri apalagi sektor UMKM akan kehilangan pasar serta mengalami kesulitan modal. Terburuk, ancaman peningkatan jumlah pengangguran yang diperkirakan mencapai 10,7 – 12,7 juta orang pada 2021,” ujarnya.
Bahkan diprediksi, peningkatan jumlah pengangguran akibat kebijakan yang salah kaprah akan lebih memukul ekonomi Indonesia dari pada ancaman Covid-19 itu sendiri. Alhasil, segala upaya membangkitan perekonomian terutama sektor UMKM dengan susah payah akan terasa nisbi.
Dirinya mendorong agar Pemerintah dapat mempertimbangkan solusi khusus dibidang ekonomi yaitu memacu aktifitas sektor UMKM dan Koperasi sebagai “Lokomotif Pemulihan Ekonomi Nasional”. Caranya, melakukan integrasi kebijakan pembangunan UMKM & Koperasi Indonesia berbasis produk unggulan lokal melalui tujuh visi Penguatan Ekonomi Nasional. Ini didasari pertimbangan bahwa 99% populasi usaha, 97% lapangan kerja, serta 60% PDB adalah dari sektor UMKM dan Koperasi.
Adapun ketujuh visi tersebut adalah, pertama melakukan resetting konsep pembangunan ekonomi rakyat ke arah sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan kekeluargaan dengan menempatkan koperasi sebagai “soko guru” perekonomian Indonesia. Ini sesuai cita-cita UUD 45, pasal 33 ayat 1, dengan memanfaatkan era digitalisasi di segala lini.
Kedua, menyiapkan pembiayaan pandemi (pandemic finance) bagi koperasi dan UMKM senilai Rp500 triliun per tahun hingga dua tahun ke depan (2021-2022), dengan pola chanelling yang dijamin Lembaga Penjaminan (Jamkrindo, Askrindo, dan lainnya). Ketiga, harus dilakukannya pengembangan produk lokal unggulan dari hulu hingga ke hilir sebagai basis usaha koperasi dan UMKM.
“Penanganan dilakukan secara terintegrasi mulai dari produk pertanian, peternakan, perikanan, pengolahan, pemasaran, distribusi, hingga penjualan dan konsumsi,” paparnya.
Keempat, sinergi dan orkestrasi pembangunan ekonomi rakyat berbasis koperasi dan UMKM dengan seluruh kementerian dan seluruh stakeholders bisnis. Kelima, disiapkan peraturan dan ketentuan pendukung pelaksanaan resetting dan perubahan mindset pembangunan ekonomi rakyat. “Ini berisi kebijakan umum, sistem dan prosedur pelaksanaan, reward and punishment yang tegas dan transparan melalui Dashboard Management System,” imbuhnya.
Ke enam adanya scale up usaha dan penguatan digitalisasi bagi Koperasi dan UMKM, menuju terbentuk market place. Lalu terakhir ketujuh, membangun kemandirian dan daya saing ekonomi bangsa melalui gerakan jiwa kewirausahaan dan gerakan aku cinta produk Indonesia. Produksi Beli Gunakan Sendiri (gerakan PBGS).
“Bila dilakukan dengan baik, ketujuh strategi ini diharapkan dapat menghindari resiko Indonesia terkena resesi berkepanjangan (depresi) dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional hingga pertumbuhan sebesar 4% di tahun 2021,” pungkas Suhaji. (*)
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor susu Indonesia pada periode Januari-Oktober 2024 sebesar 257,30… Read More
Jakarta - PT Bank Digital BCA (BCA Digital) berhasil mencatatkan kinerja keuangan impresif pada kuartal… Read More
Jakarta - PT Bank Seabank Indonesia atau SeaBank kembali mencatat kinerja keuangan yang positif, ditandai… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor pada Oktober 2024 sebesar USD21,94 miliar atau naik 16,54… Read More
Serang - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) berencana mengambil alih (take over)… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Oktober 2024 mengalami peningkatan. Tercatat, nilai ekspor Oktober… Read More