Expertise

“Trump Effect” dan Momentum Pendalaman Pasar

Oleh Sunarsip, Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI) serta Pengamat Industri Keuangan.

DAMPAK kebijakan “hit and run” tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada 2 April 2025, telah mengharu biru pasar keuangan global dan domestik. Di pasar keuangan domestik, nilai tukar rupiah, yang sejak Oktober 2024 telah terdepresiasi, pada April ini (hingga minggu kedua) mengalami depresiasi terdalam dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya.

Selama April 2025 (hingga minggu kedua), rata-rata kurs JISDOR berada di level Rp16.844 per dolar AS (US$), terdepresiasi sebesar 2,36 persen (mtd) dan 5,02 persen (ytd). Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut mengikuti pergerakan modal investor portofolio yang mengalami capital outflow signifikan pascakebijakan tarif Trump.

Selama April 2025 (empat hari transaksi) telah terjadi capital outflow sekitar Rp18,37 triliun, tertinggi selama 2025, dengan perincian sebesar Rp5,73 triliun dari pasar saham, Rp10,47 triliun dari SRBI, dan sebesar Rp2,17 triliun dari pasar SBN. Selama 2025 ini, total capital outflow dari modal portofolio telah mencapai sekitar Rp41,05 triliun, yang berasal dari pasar saham sebesar Rp25,28 triliun dan SRBI Rp28,83 triliun, sementara pasar SBN terjadi capital inflow sebesar Rp13,06 triliun.

Pelemahan nilai tukar mata uang memang merupakan fenomena global saat ini. Namun demikian, bila melihat depresiasi nilai tukar rupiah yang relatif lebih dalam dibandingkan dengan mata uang lainnya, memperlihatkan bahwa pasar keuangan kita cenderung lebih fragile ketimbang pasar keuangan lainnya. Tentunya ini menjadi suatu catatan tersendiri yang perlu menjadi perhatian (concern) kita bersama: kenapa hal ini dapat terjadi?

Baca juga: Bos OJK Beberkan Dampak Tarif Trump ke Ekonomi RI

Penulis melihat bahwa kondisi pasar keuangan tersebut tidak terlepas dari derajat kedalaman pasar keuangan (financial deepening) kita yang relatif terbatas. Terbatasnya kedalaman pasar keuangan kita tersebut antara lain dipengaruhi oleh terbatasnya peran korporasi (swasta, BUMN, dan BUMD) dalam turut meramaikan pasar keuangan, khususnya pasar modal (instrumen keuangan jangka panjang).

Sebagai gambaran, selama periode 2016-2019 (sebelum pandemi COVID-19), nilai initial public offering (IPO) mencapai Rp51,11 triliun atau rata-rata Rp13,03 triliun per tahun. Sementara itu, selama periode 2020-2024, nilai IPO hanya mencapai Rp27,13 triliun atau rata-rata Rp5,43 triliun. Selama 2025 (hingga Februari), nilai IPO baru mencapai Rp3,70 triliun.

Tidak hanya di pasar saham (equity), keterlibatan korporasi di pasar obligasi (bond) juga sangat rendah. Sampai dengan Februari 2025, nilai outstanding obligasi yang diperdagangkan mencapai Rp6.663,42 triliun. Dari nilai tersebut, obligasi korporasi mencapai Rp473,09 triliun atau hanya 7,01% dari total oustanding obligasi yang diperdagangkan.

Surat utang (SBN) yang diterbitkan pemerintah masih mendominasi perdagangan pasar obligasi kita. Terbatasnya sisi supply instrumen keuangan yang dapat diserap pada akhirnya menyebabkan investor tidak banyak pilihan investasi sehingga menjadi barrier bagi investor masuk ke pasar keuangan di Indonesia.

Selain sisi supply yang terbatas, regulasi investasi turut berpotensi menghambat penetrasi pendalaman pasar keuangan, terutama yang berlaku pada industri keuangan nonbank (IKNB), seperti asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Termasuk pada lembaga pengelola dana masyarakat yang dibentuk pemerintah.

Regulasi yang cenderung ketat (restricted) berpotensi membatasi pertumbuhan pasar. Dampaknya, karena demand tinggi maka yang terjadi investor portofolio berebut instrumen yang tersedia. Kondisi ini selain menghambat pertumbuhan pasar juga berpotensi dapat menciptakan predatory dalam pasar keuangan kita. Akhirnya, pemain besar saja yang tumbuh di pasar keuangan yang pertumbuhannya terbatas tersebut.

Sebagai gambaran, pada Januari 2025 lalu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional (termasuk BPR) tumbuh 5,51 persen (yoy). Di lain sisi, DPK perseorangan yang memegang pangsa (share) sekitar 47 persen dari total DPK justru mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar -3,39 persen (yoy).

Pertumbuhan DPK perbankan yang positif (meskipun rendah) di tengah pertumbuhan DPK perseorangan yang terkontraksi tersebut bisa terjadi karena ditopang oleh deposan institusi. Mereka adalah IKNB yang mengelola dana masyarakat jangka panjang yang semestinya lebih banyak menempatkan dananya pada instrumen jangka panjang karena memberikan return yang lebih tinggi.

Lihat, DPK perbankan yang berasal dari dana pensiun, perusahaan dan lembaga pembiayaan, serta modal ventura tumbuh di atas 70 persen (yoy) pada Januari 2025. Kenapa ini bisa terjadi? Perkiraan penulis, hal tersebut terjadi karena mereka kesulitan untuk placement ke instrumen jangka panjang berbasis equity ataupun bond di pasar keuangan.

Karena setiap investor ingin memperoleh keuntungan (gain) dalam setiap keputusan investasinya maka perilaku ini berpotensi mendorong terjadinya aksi “goreng-menggoreng” harga instrumen investasi. Dan, ketika terjadi shock yang disebabkan oleh berbagai sentimen, seperti Trump Effect saat ini, maka harga langsung anjlok. Ketika pasar keuangan ditinggal pergi investornya (capital outflow) maka nilai kapitalisasi langsung jatuh.

Potensi demand pada pasar keuangan kita sebenarnya tinggi. Selain dari investor portofolio asing, potensi demand yang berasal dari dana domestik besar. Dari perbankan saja, dana yang telah ditempatkan pada pasar keuangan, di luar kredit, telah mencapai Rp2.300 triliun. Belum lagi bila kita memasukkan komponen dana yang dikelola oleh lembaga keuangan, seperti BPJS, BPKH, BP Tapera, perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, reksa dana, dan modal ventura.

Baca juga: Ekonomi antara Teori dan Praktik, Setelah “Beyond” Ekonomi Donald Trump

Pertanyaannya, dengan potensi dana (domestik dan asing) yang begitu besar, kenapa pendalaman pasar keuangan domestik tampak cenderung masih dangkal? Apakah besarnya dominasi surat utang pemerintah pada pasar obligasi domestik mengindikasikan telah terjadinya crowding out yang menghambat pertumbuhan penerbitan obligasi korporasi? Ataukah, regulasi investasi atau penempatan dana yang berlaku pada industri keuangan yang justru menghambat pertumbuhan pada sisi supply pasar keuangan kita? Atau, situasi tersebut disebabkan oleh gabungan dari kedua faktor ini?

Terlepas mana faktor yang menjadi penyebab utama, situasi saat ini semestinya menjadi momentum untuk memunculkan kesadaran kolektif bahwa pasar keuangan kita membutuhkan reformasi fundamental. Kita, terutama para pemangku kepentingan, perlu memiliki kesadaran bahwa lambatnya pertumbuhan pendalaman pasar keuangan turut berkontribusi menjadi penyebab fragile-nya sektor keuangan kita dari gangguan eksternal.

Kunci dari penguatan pasar keuangan kita adalah terobosan kebijakan dan inovasi produk yang lebih komprehensif untuk mendorong pertumbuhan pasar keuangan, baik dari sisi supply maupun demand. Otoritas ekonomi memegang peran vital untuk mewujudkan hal tersebut, yang tentunya didukung oleh para pelaku industri keuangan. Jadi, mari bahu-membahu mewujudkannya dari sekarang. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Pasar Modal Indonesia Volatil, OJK: Masih Ada Kepercayaan dari Investor Retail

Jakarta - Saat ini, pasar modal Indonesia tengah menghadapi kondisi yang volatil. Menurut Ketua Dewan… Read More

2 hours ago

Trump dan Powell: Kisah Klasik Fiskal-Moneter

Oleh Muhammad Edhie Purnawan, Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah… Read More

4 hours ago

Jadi Tuan Rumah Undian Simpeda, Bank BPD DIY Siap Pamerkan Wisata Budaya Yogyakarta

Jayapura – Undian Tabungan Simpeda Periode ke 2 Tahun XXXV-2025 sukses digelar Bank Papua, Jayapura… Read More

9 hours ago

Asbanda dan Bank Papua Gelar Pengundian Tabungan Simpeda 2025, Ini Pemenangnya!

Jayapura – Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dan Bank Papua menggelar Undian Tabungan Simpeda Nasional… Read More

10 hours ago

OJK Infinity 2.0 Resmi Mengaspal, Jadi Motor Penggerak Keuangan Digital RI

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama seluruh pemangku kepentingan terus mendorong pengembangan inovasi keuangan… Read More

11 hours ago

Bos OJK: Perbankan RI Masih Pede Hadapi Dampak Perang Dagang

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap optimistis terhadap kinerja industri perbankan Indonesia di tengah… Read More

11 hours ago