Dirobohkan Atau Pura-pura Tidak Roboh

Dirobohkan Atau Pura-pura Tidak Roboh

Jakarta – Asuransi Bumiputera (BP) berdiri sejak tahun 1912. Termasuk asuransi tertua di Indonesia. Hari-hari ini sedang bergelut agar benar-benar tidak roboh. Secara matematika, rasio keuangan BP harusnya sudah roboh. Tapi, kenapa tidak roboh-roboh meski juga tak sanggup membayar klaim pemegang polisnya? Lalu bagaimana agar BP benar-benar tidak roboh?

Semua itu dikupas secara komprehensif dalam buku “Robohnya Asuransi Kami: Senjakala AJB Bumiputera 1912  Jalan Terjal Menjaga Warisan Bangsa” karya Irvan Rahardjo, praktisi asuransi yang berkarier di industri asuransi selama 41 tahun. Irvan menyajikan sejarah pendirian dan perjalanan BP hingga kini, saat mengalami masa-masa sulit, serta kontroversi penyelesaiannya.

Adalah RM Ngabei Dwidjosewojo, seorang guru di zaman Hindia Belanda, yang mendirikan asuransi itu pada 12 Februari 1912 silam di Magelang. Pendiri Persatuan Guru Hindia Belanda Bumi Putera (PGHB) dan pengurus Boedi Oetomo itu mendirikan BP bersama dua rekan pergerakannya, M Adimidjodjo dan MKH Soebroto.

Masa-masa sulit memang selalu lekat dengan AJB Bumiputera. Utamanya saat awal-awal pendiriannya. Mesti akhirnya berhasil menjadi besar dan tetap survive hingga masuk tahun ke-108, asuransi ini selalu diliputi kontroversi karena statusnya: mutual. Di Indonesia hanya BP satu-satunya asuransi yang beroperasi dengan status usaha bersama.

Status mutual sejatinya bukan barang haram. Bahkan, di kemudian hari, ketika Indonesia diproklamasikan, dan memiliki UUD, praktik usaha bersama dirumuskan dengan sangat indah oleh para pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Di beberapa negara, seperti di Eropa, Kanada, Jepang, Amerika Serikat, dan Afrika, praktik mutual juga diterapkan pada industri asuransi. Praktik mutual kali pertama diberlakukan di Inggris pada tahun 1666 ketika terjadi peristiwa The Great Fire London yang mematik semangat orang akan perlunya perlindungan aset mereka dalam bentuk asuransi.

Pada tahun 2004, Asosiasi Perusahaan Asuransi Mutual Internasional (AISAM) yang beranggotakan 130 perusahaan asuransi mutual dari 21 negara melakukan riset untuk memetakan industri asuransi. Hasilnya, dari 7.180 perusahaan asuransi, 66% berbentuk mutual, khususnya di Eropa. Dari 1.847 perusahaan asuransi jiwa 61% berbentuk mutual, dan dari 5.076 perusahaan asuransi umum 72% berbentuk mutual.

Seiring berjalannya waktu, pada survei AISAM tahun 2008, jumlah asuransi mutual mengalami penurunan 27% dari tahun 2004 menjadi 18%. Di sektor asuransi umum, pangsa pasar asuransi mutual meningkat menjadi hampir 40% dari 39%  tahun 2004. Sektor asuransi jiwa turun menjadi 17% dari 19% di tahun 2004.

Bagaimana praktik asuransi mutual di Indonesia? Menurut catatan Irvan Rahardjo, bentuk usaha mutual banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional Indonesia jauh sebelum kita mengenal bentuk badan hukum seperti perseroan terbatas (PT). Seperti kegiatan arisan di berbagai lapisan masyarakat, lumbung padi bersama di masyarakat pedesaaan, serta lembaga pelayanan sosial berbagai kelompok masyarakat dan agama.

Namun, alih-alih mendapatkan tempat terhormat di dalam khasanah perundang-undangan, hingga 68 tahun usia kemerdekaan berselang belum ada pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama. Sementara, kini hadir badan hukum publik  berbentuk BPJS dengan prinsip yang sama, yakni dana amanat.

Seandainya preferensi pemerintah terhadap bentuk perseroan terbatas seperti tercantum di dalam UU Perasuransian memang cukup kuat dasarnya, di mana perusahaan asuransi dianggap merupakan perkumpulan modal, bukan perkumpulan orang, maka cukup menarik untuk diteliti mengapa BP dapat bertahan  hingga 108 tahun dan menjadi raksasa pemuka industri asuransi jiwa selama beberapa dasawarsa di Tanah Air?

Pada dasarnya, asuransi mutual bekerja berdasarkan prinsip yang sama dengan  asuransi syariah dan BPJS dalam hal bersifat wali amanah (nonprofit) dan bersifat sosial bagi sebesar-besar kepentingan anggota pemegang polis.

Sebagian ahli asuransi syariah bahkan meyakini bahwa bentuk usaha bersama asuransi atau mutual bahkan lebih syariah  daripada asuransi syariah yang berbentuk PT. Karena hasil usaha mutual dinikmati oleh seluruh anggota, sedangkan pada PT hanya dinikmati oleh sekelompok pemilik modal.

Bahkan, pada tahun 2009, mulai muncul usulan untuk demutualisasi BP karena rendahnya rasio solvabilitas atau kemampuan membayar klaim nasabah. Memasuki tahun 2013 dalam RUU Usaha Perasuransian yang tengah dibahas Komisi  XI DPR, pemerintah juga mengusulkan agar bentuk badan usaha asuransi mutual dihapuskan. Dalam draf RUU tersebut, pemerintah mengusulkan agar usaha asuransi hanya berbentuk PT. Sementara UU No 2/1992 tentang Perasuransian  yang akan direvisi dikenal bentuk usaha perasuransian berupa PT, mutual, dan koperasi.

Kekhawatiran pemerintah dan beberapa pihak akan menurunnya kemampuan BP dalam membayar klaim nasabah terbukti. Dalam catatan manajemen BP, tunggakan klaim tahun 2020 mencapai Rp5,3 triliun dari sebanyak 365.000 pemegang polis di seluruh Indonesia. Ini bagian dari permasalahan yang membelit BP selama beberapa tahun terakhir yang tak kunjung terselesaikan secara permanen.

Kinerja BP tahun 2019 lalu mencatatkan penurunan berbagai indikator bisnis yang menyebabkan pembayaran klaim nasabah terus tersendat. Berdasarkan laporan  keuangan per 31 Desember 2019, BP mencatatkan kerugian Rp48,9 miliar. Jumlah tersebut menurun hingga 97,54% secara year on year dibandingkan dengan kerugian 2018, yang sebesar Rp1,99 triliun. Sementara, perolehan premi turun 10,67% secara year on year menjadi Rp2,99 triliun dari Rp3,35 triliun pada  2018.

Pergantian direktur utama dalam delapan tahun terakhir juga semakin membuat BP kehilangan trust. Secara berurutan, sejak 2012 telah terjadi pergantian direktur utama sebanyak tujuh kali. Mulai dari Cholil Hasan (2012-2013), Fauzi Arfan (2013), Majdi Ali (2013-2015), Fauzi Darwis (2015-2016), 7 Pengelola Statuter (2016-2018), Sutikno Widodo Syarif (2018-2019), Dirman Pardosi (2019-2020), dan Faisal Karim (2020-sekarang).

Upaya penyelesaian masalah di BP terus dilakukan hingga kini. Berdasarkan catatan Irvan Rahardjo, upaya OJK selaku regulator untuk memperbaiki tata kelola usaha yang baik bentuk usaha mutual agar lebih transparan dan akuntabel selalu terganjal oleh resistensi BP terhadap pengawasan regulator dan lemah dalam tata   kelola usaha yang baik (good corporate governance).

Salah satu prinsip tata kelola yang baik adalah pemisahan fungsi otorisasi dan  fungsi eksekusi. Dalam praktik, kedua fungsi otorisasi dan fungsi eksekusi di lakukan di satu tangan wewenang Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam banyak aksi korporasi. Di sini Cholil Hasan memunculkan istilah incest, dalam hubungan antara BPA, Dewan Komisaris, dan Direksi BP. Ketiga organ yang seharusnya terpisah satu sama lain dan bekerjanya check and balances sesuai dengan fungsi masing-masing, justru berkelindan satu sama lain dan mengaburkan fungsi pengawasan dan perencanaan.

Menurut Irvan, sistem yang dianut oleh Anggaran Dasar BP hasil Rapat Anggota  Khusus pada 2 Februari 1955 menunjukkan mekanisme check and balances yang lebih  baik. Di mana berlaku single board system dari semula two board system sebelum amandemen Anggaran Dasar. Sistem tersebut meniru praktik di negara yang menganut sistem hukum common law seperti Inggris dan AS.

Single board system dapat memutus konflik kepentingan antara BPA yang bertugas memilih direksi dengan kepentingan BPA sendiri yang dipilih oleh karyawan dan direksi dari antara pemegang polis. Sistem two board system saat ini yang dianut oleh Anggaran Dasar BP menimbulkan komplikasi tersendiri. Terutama jika mengingat bentuk badan usaha BP merupakan usaha bersama.

Menurut Irvan, langkah realistis yang bisa dilakukan manajemen BP untuk kembali menyehatkan keuangan perusahaan adalah menjalankan proses demutualisasi. Dengan demutualisasi, kelak BP tidak lagi berbentuk perusahaan asuransi mutual, tapi PT. Dengan badan hukum berbentuk PT, BP akan lebih mudah meraih  pemasukan dengan cepat. Caranya, dengan mendatangkan investor ke perusahaan.

Setelah berbentuk PT, banyak investor yang tertarik untuk masuk ke BP. Apalagi, berdasarkan hasil survei, nama BP masih menjadi salah satu super brand di Indonesian. Pintu masuk bagi BP untuk melakukan demutualisasi sudah terbuka lebar. Pemerintah telah menerbitkan aturan main demutualisasi itu melalui PP 87/2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama.

Dengan aset kurang dari Rp10 triliun tapi liabilitasnya mencapai Rp30 triliun, masuknya investor baru ke perusahaan adalah langkah penyelamatan yang paling realistis. Kecuali, BP memang mau dirobohkan. (*) Darto Wiryosukarto

Related Posts

News Update

Top News