Alhamdulilah! Meski “Setetes” Bank-Bank Mulai “Kencing Kredit”

Alhamdulilah! Meski “Setetes” Bank-Bank Mulai “Kencing Kredit”

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

AKHIRNYA setelah setahun bank-bank menderita disfungsi intermediasi, bank-bank mulai “kencing kredit”. Per Juni 2021 lalu (data terakhir), pertumbuhan kredit perbankan mulai positif. Meski hanya “setetes”, pertumbuhan kredit 0,59% itu memberi signal positif. Namun sayangnya, pandemi COVID-19 di Juli 2021, bank-bank kembali menginjak rem kembali.

Menurut data Infobank Institute yang diolah dari Bank Indonesia, Desember  tahun 2020, pertumbuhan kredit negatif 2,41%. Lalu sepanjang tahun 2021 hingga Mei 2021 pertumbuhan kredit masih negatif. Pada Mei 2021 masih negatif 1,23%, dan Juni 2021 baru positif “setetes” yaitu 0,59%.

Salah satu faktor pertumbuhan kredit tak lain kredit konsumen. Masyakarat kembali bergairah untuk mengambil kredit konsumen. Entah karena untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk membeli rumah, atau mobil. Program relaksasi loan to value (LTV) atau DP 0% dan relaksasi pajak cukup berhasil mendorong kredit konsumen.

Segmen komersial dan korporasi masih berat. Angka kreditnya masih negatif. Bisa jadi ini karena rendahnya permintaan terhadap sektor tertentu. Dan, sektor komersial merupakan sektor yang juga terkena dampak, dan khususnya masih perawatan kredit lewat program restrukturisasi.

Pandemi COVID-19 yang menggila, membuat ketidakpastian kembali dunia usaha dan keyakinan para bankir untuk “kencing kredit”. Padahal, pada Triwulan II 2021, optimisme bankir sudah mulai membaik. Bank-bank sudah mulai tidak jual mahal, meski bank-bank masih tampak menahan diri dengan meningkatkan cadangan.

Itu artinya, Triwulan III tahun 2021 ini, pertumbuhan kredit akan mendapat tantangan. Sektor usaha kembali “termehek-mehek” karena PPKM Darurat dan dilanjutkan PPKM Level 4. Sektor riil terutama retail, restoran, UMKM “kelojotan” dan “kepedesan” terkena PPKM Level 4, meski lebih longgar dari PPKM Darurat. Tetap saja PPKM Level 4 membuat dunia usaha “kepedesan” sakit perut dan tidak membuat sektor perbankan berani mengucurkan kredit.

Kualitas kredit juga menjadi perhatian. Bank-bank sepertinya juga sudah melupakan profitabilitas, dan lebih mementingkan likuiditas. Tiga hal besar, yaitu likuiditas, kualitas kredit dan profitabilitas memang menjadi “dewa” dari perbankan. Namun sepertinya para bankir akan mengorbankan profitabilitas dan menjaga kualitas kredit. Dan, kalau pun tidak bisa menjaga kualitas kredit, maka bank tetap akan memilih mempertahkan likuiditas.

Dan, bank-bank sekarang ini banjir likuiditas. Brankas bank-bank terus banjir likuiditas, meski suku bunga tetap rendah. Pertumbuhan dana per Juni 2021 mencapai 11,28% (YoY), dan 4,52% (YtD). Kenyataan ini tentu melegakan para bankir. Suku bunga dana bisa ditekan lebih cepat, dan bank-bank sementara “berternak” di Surat Berharga Negara (SBN) yang sudah mencapai angka 27% dari total kredit perbankan.

“Lumayan. Masih ada margin ketimbang duit nganggur. Persaingan sekarang ini adalah rendah-rendahan mencari cost of fund,” demikian kata seorang bankir dalam pesan Whattapps kepada Infobank. Tidak salah, untuk alternative agar tidak merah profitabilitasnya, atau negative interest rate.

Restrukturisasi Kredit Diperpanjang Lagi?

Kondisi ini seperti pada awal-awal krisis tahun 1999 lalu. Buku bank isinya obligasi rekap dan kredit hanya dua tetes. Tapi, pada saat itu masih lebih baik dibandingkan sekarang ini, saat itu kredit macet sudah dibersihkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sekarang kredit kredit itu sedang “dicuci” dalam program restrukturisasi. Masih ada di buku bank.

Ketakutan akan terjadinya non performing loan (NPL) masih tinggi ketika deadline restrukturisasi Maret 2022 berakhir. Itu pulalah, meski sudah rendah suku bunga kredit, toh tetap saja permintaan kredit masih sepi. Jika toh ada permintaan kredit, itu pun kualitas debitur yang KW2, dan bahkan KW3.

Jujur, meski angka NPL perbankan 3,24% (gros), atau lebih baik dibandingkan Mei 2021 lalu, namun angka loan at risk (LAR) masih membuat bikin berdegup jantung para bankir. Posisi LAR 22,67% tentu tidaklah kecil. Apalagi awal Pandemi COVID-19 di Maret 2020, angka LAR masih 11,59%.

Namun di sisi lain, dunia usaha sebenarnya mempunyai kemampuan membayar pinjaman lebih besar. Likuiditas korporasi meningkat, dan itu “disimpan” kembali ke bank. Itu pulahlah simpanan masyarakat di atas Rp5 miliar meningkat. Penabung kecil menurun, dan uangnya hanya numpang lewat.

Situasi ke depan tidaklah mudah. Bank-bank terpaksa kembali mengkalkulasi kembali kredit yang akan disalurkan. Dan, setidaknya bank-bank harus membuat “celengan semar” yang lebih besar. Paling tidak ke depan untuk menekan NPL program write off pun kembali masih.

Pandemi COVID-19 yang menggila kemballi menimbulkan ketakutan para bankir. Jadi, maaf saja pada Triwulan III bankir akan kembali tidak “kencing kredit”. Dan, apakah hal ini juga akan membuat program restrukturisasi kembali diperpanjang menjadi Maret 2023 mendatang?

Perpanjangan program restrukturisasi kredit tahap ketiga perlu menjadi pemikiran kita semua. Jika tidak tentu hal ini menjadi tantangan tidak mudah bagi bank-bank yang sedang “kepedesan” akibat PPKM Level 4 ini. (*)

Related Posts

News Update

Top News