“Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. Selebihnya no way, harus ditolak,” ucap Tulus.
Dia menambahkan, pihak perbankan dirasa tak pantas dalam menggali pendapatan yang lebih mengandalkan “uang recehan”. Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top up. Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah.
Pihaknya juga dengan tegas menolak kebijakan BI tersebut dengan mendesak BI membatalkan kebijakan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik tersebut. “YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut,” tutupnya. (*)
Editor: Paulus Yoga
Page: 1 2
Jakarta - Garuda Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai maskapai penerbangan full service melalui kemitraan strategis… Read More
Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyoroti pentingnya kolaborasi antara Kementerian… Read More
Jakarta – Pengamat pasar uang Ariston Tjendra rupiah akan melemah pada hari ini, Kamis (7/11/2024). Dia menyebut… Read More
Jakarta – Hery Gunardi kembali terpilih sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) periode… Read More
Jakarta - PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia (Allianz Syariah) dengan PT Bank SMBC Indonesia… Read More
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 158 Tahun 2024 yang… Read More