Moneter dan Fiskal

Tolak PPN 12 Persen, Ekonom Sarankan Pemerintah Terapkan Kebijakan Ini

Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyatakan menolak keras kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025. Pasalnya, kebijakan ini akan memberikan dampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat hingga perekonomian domestik.

Achmad mengatakan bahwa kebijakan kenaikan PPN tampaknya kurang tepat dilakukan di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh. Ditambah dengan ratusan ribu masyarakat telah menandatangani petisi untuk menolak kebijakan tersebut.

Meski pemerintah memberikan stimulus berupa Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83 persen dari PDB, namun perlu dipertimbangkan mengingat anggaran stimulus ini cukup besar.

“Jika tidak ada kenaikan PPN, pengeluaran stimulus Rp445,5 triliun itu tidak diperlukan, sehingga efisiensi anggaran dan keberlanjutan APBN bisa tercapai lebih kuat,” kata Achmad dikutip, Jumat, 20 Desember 2024.

Baca juga: PPN 12 Persen Berlaku pada Sekolah Internasional, Anggota DPR: Harusnya Tidak Sebesar Itu

Dia mengatakan kegagalan merespons secara tepat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN, menunda implementasinya, dan mencari alternatif kebijakan fiskal yang lebih inovatif tanpa membebani daya beli masyarakat.

Ada beberapa opsi lain daripada menaikan PPN 12 persen, hanya saja opsi ini membutuhkan kerja ekstra dari para policy makers dan ketekunan ekstra.

Pertama, perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal. 

Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD 77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5 persen dari total penerimaan pajak.

“Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring. 

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia,” kata Achmad.

Menurutnya, potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar. Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun.

Kedua, pemerintah dapat mengevaluasi ulang struktur PPh bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi.  Pengenaan tarif yang lebih progresif pada kelompok super kaya akan menciptakan penerimaan tambahan tanpa berdampak langsung pada mayoritas masyarakat.

“Perkenalan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap aset juga memberikan suasana pemerataan kepada mereka super kaya. Pendekatan ini juga lebih adil karena mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi individu,” paparnya.

Ketiga, pemerintah harus fokus pada perbaikan tata kelola pemungutan PPN sebesar 11 persen yang sudah ada saat ini. Dengan menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat sistem teknologi informasi perpajakan, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp50-75 triliun per tahun tanpa harus menaikkan tarif.

Keempat, kebijakan pembebasan pajak untuk sektor pertambangan dan hilirisasi perlu dievaluasi ulang. Peninjauan insentif yang kurang efektif dapat memberikan tambahan penerimaan hingga Rp30 triliun per tahun jika difokuskan pada investasi yang lebih produktif dan berkelanjutan.

Baca juga: Pemerintah Egois! Rupiah Loyo, PPN 12 Persen, Plus Biaya Opsen Kendaraan dan Kebocoran Anggaran 70 Persen

Kelima, selain meningkatkan penerimaan, pemerintah perlu melakukan efisiensi pada belanja negara. Evaluasi terhadap program-program yang tidak produktif atau memiliki tingkat kebocoran tinggi harus menjadi prioritas. 

Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan untuk menutupi kebutuhan anggaran tanpa harus membebani masyarakat.

Keenam, investasi pada sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi dan insentif baru.

“Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang adil, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong keberlanjutan lingkungan,” pungkasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

BI Uji Coba Penerapan QRIS Tap Berbasis NFC untuk Pembayaran Lebih Cepat dan Praktis

Jakarta – Bank Indonesia (BI) bersama Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) pionir layanan dan Perum DAMRI… Read More

52 mins ago

Bank Mandiri Salurkan Rp3 Triliun untuk Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

Jakarta – Bank Mandiri kembali menegaskan komitmennya dalam pemberdayaan ekonomi perempuan melalui kolaborasi strategis dengan… Read More

1 hour ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Bertahan di Zona Hijau ke Level 6.983

Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (20/12) kembali ditutup bertahan pada… Read More

1 hour ago

Resmi Gandeng Bank Mandiri! Jakarta LavAni Livin’ Transmedia Siap Gebrak Proliga 2025

Suasana saat peluncuran Bank Mandiri jadi sponsor Jakarta LavAni Livin' Transmedia untuk bertanding pada laga… Read More

2 hours ago

Marak Serangan Ransomware, Allo Bank Perkuat Sistem Pertahanan IT

Jakarta – Serangan siber yang mendera bank-bank di Tanah Air tak pernah usai. Teranyar, salah satu… Read More

2 hours ago

Kasus Uang Palsu UIN Makassar, BI Ingatkan Hal Ini ke Masyarakat

Jakarta – Uang palsu yang diproduksi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan diduga telah… Read More

3 hours ago