Moneter dan Fiskal

Tingkatkan Likuiditas, BI Bakal Pangkas Outstanding SRBI

Jakarta – Bank Indonesia (BI) secara bertahap akan menurunkan nilai outstanding instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk mendorong likuiditas di pasar demi mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter & Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea mengatakan BI terus mendorong ekspansi likuiditas secara konsisten dan terukur, dengan menurunkan outstanding dari SRBI.

“BI mendorong ekspansi likuiditas secara konsisten dan terukur, kita terus berupaya menurunkan outstanding-nya (SRBI),” kata Erwin dalam Taklimat Media, Rabu, 7 Mei 2025.

Baca juga: Krisis Ekonomi Global Mengintai, BI Soroti Tarif Trump hingga Konflik India-Pakistan

Erwin menjelaskan bahwa perluasan likuiditas yang dilakukan oleh BI ini agar bisa digunakan oleh perbankan dalam memenuhi kebutuhan hingga penyaluran kredit.

“Ini menunjukkan bahwa BI mencoba merilis likuiditas yang ada untuk bisa digunakan oleh perbankan,” tandasnya.

Tercermin dari nilai outstanding pada akhir 2024 di kisaran Rp923 triliun. Sementara per 21 April 2025, posisi SRBI menurun sebesar Rp41,14 triliun menjadi Rp881,86 triliun.

Lebih lanjut, Erwin juga menyampaikan, tujuan pengurangan outstanding SRBI yang akan memicu ekspansi likuiditas tersebut diharapkan dapat mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seiring dengan melambatnya ekonomi domestik di kuartal I 2025 yang hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dari kuartal I 2024 yang sebesar 5,11 persen.

“Dalam konteks mendorong pertumbuhan, kita ingin operasi BI itu dampaknya itu ekspansi, untuk mendorong pertumbuhan, apalagi tengah situasi pertumbuhan (ekonomi) menurun,” ungkapnya.

Baca juga: BI Berhasil Serap Modal Asing Melalui SRBI Capai Rp934,87 Triliun

Terlebih, tambah Erwin, diiringi juga dengan adanya insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang diterapkan oleh Bank Indonesia, dan pengurangan outstanding SRBI, maka likuiditas akan lebih banyak mengalir ke industri.

“KLM atau GWM (giro wajib minimum) itu kalau terjadi penurunan rasio itu dampaknya permanen. Karena kuncinya dilonggarkan, likuiditasnya akan mengalir ke industri itu lebih banyak,” imbuhnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

BEI Tekankan Kolaborasi dan Tanggung Jawab Bersama Bangun Masa Depan Hijau

Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More

7 mins ago

Balikkan Keadaan, Emiten PEHA Kantongi Laba Bersih Rp7,7 M di September 2025

Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More

1 hour ago

Unilever Bakal Tebar Dividen Interim Rp3,30 Triliun, Catat Tanggalnya!

Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More

1 hour ago

Hadapi Disrupsi Global, Dua Isu Ini Menjadi Sorotan dalam IFAC Connect Asia Pacific 2025

Poin Penting IFAC menekankan pentingnya kolaborasi regional untuk memperkuat profesi akuntansi di Asia Pasifik, termasuk… Read More

2 hours ago

BAKN DPR Minta Aturan Larangan KUR bagi ASN Ditinjau Ulang, Ini Alasannya

Poin Penting BAKN DPR RI mendorong peninjauan ulang aturan KUR, khususnya agar ASN golongan rendah… Read More

2 hours ago

IHSG Sesi I Ditutup Menguat ke 8.655 dan Cetak ATH Baru, Ini Pendorongnya

Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More

3 hours ago