Ekonomi Digital

Tingginya Potensi Penyalahgunaan Data Pribadi pada Social Commerce

Jakarta – Di tengah tren belanja online yang semakin marak sejak pandemi Covid-19, platform media sosial pun mulai menyediakan fitur-fitur yang dapat digunakan untuk bertransaksi atau berjualan di dalam platform mereka. Aktivitas berjualan baik berupa barang maupun jasa tersebut kerap disebut dengan social commerce

Dalam hal ini, brand atau pelaku usaha tidak menjadikan laman media sosial mereka sebagai etalase semata, melainkan konsumen dapat menyelesaikan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi tersebut. Fenomena social commerce ini bisa dianggap sebagai pesaing baru bagi platform-platform e-commerce ternama seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia. 

Di sisi lain, di berbagai negara nyatanya model bisnis social commerce dinilai dapat menimbulkan berbagai risiko. Risiko ini termasuk dalam hal manajemen data. 

Sebelum adanya model bisnis social commerce, media sosial telah memiliki akses data yang cukup luas terhadap para pengguna platformnya, termasuk kebiasaan, perilaku, dan berbagai data pribadi lainnya. Dengan adanya model bisnis social commerce, media sosial dinilai akan semakin memiliki kuasa dan akses atas data pengguna yang berasal tidak hanya dari layanan media sosial, tetapi juga terkait dengan transaksi pembelian mereka. 

Pengumpulan data pengguna yang eksesif ini memiliki potensi penyalahgunaan, misalnya praktik monopolistik, seperti, cross-sharing data, tying and bundling, tracking self-preferencing, ataupun ranking manipulation yang berujung kepada praktik persaingan usaha yang tidak sehat. 

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, penggunaan media sosial untuk berjualan pada dasarnya bisa disebut sebagai marketplace. Oleh karena itu, semestinya mereka juga harus mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam PP Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. 

“Artinya TikTok sendiri sebagai penyedia platform dia harus patuh pada aturan-aturan tersebut, dan membebankan aturan-aturan tersebut kepada usernya yang menggunakan akun mereka untuk jual beli secara online,” kata Wahyudi, dikutip Sabtu, 4 Februari 2023.

“Artinya secara internal, mereka mengelola itu dan mereka juga menerapkan aturan-aturan e-commerce, terkait dengan perlindungan data dalam konteks e-commerce di dalam marketplace mereka. Seharusnya TikTok juga melakukan hal yang sama begitu sehingga konsumen mendapatkan perlindungan. Termasuk yang terkait dengan perlindungan data itu juga harus diterapkan,” tambahnya.

Sejauh ini, Wahyudi menjelaskan, instrumen hukum yang bisa digunakan adalah PP Nomor 80 tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kemudian, sosial commerce juga harus tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

“Selain itu juga dalam konteks perlindungan data hari ini kan platform harus sepenuhnya menerapkan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDT). Jadi sejauh mana juga TikTok mengikuti kewajiban-kewajiban mereka sebagai pengendali data dengan mengacu pada UU PDT,” ungkap Wahyudi. 

Senada, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan social commerce harus diatur oleh pemerintah. Terutama, terkait penggunaan data pribadi di semua sektor termasuk di media sosial dan sejenisnya. 

“Ya kita harus mendorong Pemerintah untuk mengatur, memungut dan mengawasi data. Karena memang era digital memang tantangan terbesar ialah keamanan data dan penyalahgunaan data pribadi,” papar Tulus.

“Karena kalau nanti ada penyalahgunaan untuk komersial mereka contohnya, dia dapat untung tapi merugikan pengguna dan juga nggak ada izin konsumen, karena dengan adanya UU data pribadi semua harus izin kepada pemiliknya,” kata Tulus.

Di sisi lain, sebelumnya Amerika Serikat juga dilaporkan telah melarang penggunaan platform TikTok pada gawai milik pemerintah federal atas alasan keamanan nasional. Pelarangan tersebut tidak terlepas dari dugaan bahwa TikTok telah melakukan pengambilan data yang eksesif dari penggunanya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Obligasi Hijau, Langkah Pollux Hotels Menembus Pembiayaan Berkelanjutan

Poin Penting Pollux Hotels Group menerbitkan obligasi berkelanjutan perdana dengan penjaminan penuh dan tanpa syarat… Read More

11 hours ago

BRI Bukukan Laba Rp45,44 Triliun per November 2025

Poin Penting BRI membukukan laba bank only Rp45,44 triliun per November 2025, turun dari Rp50… Read More

16 hours ago

Jadwal Operasional BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN Selama Libur Nataru 2025-2026

Poin Penting Seluruh bank besar seperti BCA, BRI, Mandiri, BNI, dan BTN memastikan layanan perbankan… Read More

17 hours ago

Bank Jateng Setor Dividen Rp1,12 Triliun ke Pemprov dan 35 Kabupaten/Kota

Poin Penting Bank Jateng membagikan dividen Rp1,12 triliun kepada Pemprov dan 35 kabupaten/kota di Jateng,… Read More

18 hours ago

Pendapatan Tak Menentu? Ini Tips Mengatur Keuangan untuk Freelancer

Poin Penting Perencanaan keuangan krusial bagi freelancer untuk mengelola arus kas, menyiapkan dana darurat, proteksi,… Read More

19 hours ago

Libur Nataru Aman di Jalan, Simak Tips Berkendara Jauh dengan Kendaraan Pribadi

Poin Penting Pastikan kendaraan dan dokumen dalam kondisi lengkap dan prima, termasuk servis mesin, rem,… Read More

1 day ago