Jakarta – Setelah cukup panjang pembahasannya, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) jaminan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (PPKSK)—dulu RUU jaring pengaman sistem keuangan (JPSK). RUU tersebut disahkan pada rapat paripurna di Gedung DPR, Kamis, 17 Maret 2016.
Pada umumnya undang-undang (UU) akan mempunyai masa setahun sebelum dilaksanakan agar ada masa transisi, sosialisasi, dan persiapan. Meski demikian, karena sudah menjadi UU, segala masukan dan saran dari publik ataupun pelaku industri tidak lagi akan mengubah isi UU. Mungkin lebih pada bagaimana agar implementasinya bisa berjalan dengan baik.
Apa pun ketentuannya yang dimuat dalam UU PPKSK, mempunyai esensi bahwa apabila terjadi segala sesuatu yang mengganggu stabilitas sistem keuangan, sudah ada sistem dan prosedurnya di satu pihak dan perlindungan hukum yang jelas kepada pemangku jabatan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Perlindungan dimaksud tentunya bukan berarti para pemangku jabatan menjadi kebal hukum. Namun, lebih pada adanya payung hukum bahwa tindakan yang dilakukan tidak melanggar rambu-rambu yang termasuk kategori penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kewenangan. Lebih dari itu, tentunya agar segala sesuatunya dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas dan terbuka.
Tentu, masih ada pekerjaan rumah lanjutan yang harus dipersiapkan pihak yang terkait dengan sistem stabilitas keuangan, utamanya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bentuknya bisa berkaitan dengan peraturan internal masing-masing lembaga dan/atau berupa peraturan presiden (PP) dan lainnya yang memang diamanatkan dalam UU PPKSK. Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang barangkali bisa dijadikan kajian lebih lanjut, antara lain sebagai berikut.
Satu, bagaimana agar koordinasi antarlembaga bisa dijamin berjalan secara optimal. Sebab, penanganan krisis umumnya memerlukan kajian yang komprehensif dan proses pengambilan keputusan yang cepat. Meskipun sudah ada UU PPKSK, kadang masalah interpretasi bisa tidak sama. Belum lagi kalau ada ego kelembagaan, yang terkadang masalah sederhana menjadi rumit. Ada baiknya masing-masing lembaga terkait membuat pedoman teknis atau petunjuk pelaksanaan dibicarakan bersama sehingga semuanya mempunyai pemahaman dan pengertian yang sama sesuai dengan amanat UU.
Dalam praktiknya, terkadang berjalan masing-masing dulu, kemudian dilakukan semacam sinkronisasi. Selama menunggu masa efektif berlakunya UU PPKSK, tidak ada salahnya sinkronisasi tersebut secara intensif dilakukan. Multitafsir akan selalu ada. Namun, dengan kemauan melakukan sinkronisasi yang intensif, peluang terjadinya multitafsir tersebut dapat diperkecil.
Apa yang diuraikan di atas secara teknis barangkali sudah dilakukan. Namun, dengan kesibukan masing-masing tugas kelembagaan, kadang masih terjadi ketidaksinkronan yang cenderung tidak produktif. Sangat tepat sekiranya segala sesuatunya didiskusikan dengan DPR agar dapat dipastikan bahwa semua pedoman teknis atau petunjuk pelaksanaan yang dibuat tidak menyimpang dari UU PPKSK.
Dua, semua kebijakan selalu ada konsekuensi hukum. Sesuatu yang diyakini sudah benar dalam beberapa kasus tidak sama dari sudut pandang hukum. Oleh sebab itu, dalam konteks sosialisasi, seyogianya dalam satu paket, di mana semua lembaga secara bersama-sama melakukannya. Secara terbatas sangat bijak kalau didiskusikan dengan semua aparatur hukum yang ada agar dapat dipastikan bahwa peraturan yang digunakan untuk mengambil keputusan tetap mengikuti kaidah hukum yang berlaku. Sehingga, apabila terjadi permasalahan, bukan kebijakannya yang diadili, melainkan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan yang memang dapat dibuktikan disalahgunakan.
Tiga, asas keterbukaan dalam mengatasi gangguan stabilitas sistem keuangan tampaknya diperlukan. Dalam hal tertentu bisa saja ada beberapa hal tertentu dikecualikan, dengan pertimbangan yang berkaitan dengan kerahasiaan yang memang dilindungi UU. Sebab, kebocoran sebuah langkah strategis bisa saja mengundang moral hazard (baca: niat tidak baik atau memanfaatkan sesuatu untuk tujuan yang tidak baik). Kita sering kali memiliki kelemahan dalam konteks menjaga kerahasiaan hal yang strategis.
Ketiga catatan tersebut memang bukan ide atau pemikiran yang baru atau segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan. Namun demikian, bauran kepentingan dan ego kelembagaan sering kali menimbulkan distorsi yang berujung pada tidak optimalnya sebuah tindakan yang diambil. Sering kali UU, peraturan, dan ketentuan yang bagus secara konsep, tetapi dilaksanakan secara tidak cermat sehingga tujuan yang baik menghasilkan sesuatu yang sebaliknya.
UU PPKSK sudah ada dan memang suatu kebutuhan. Sebuah kesempurnaan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan apabila kita tidak pernah menggunakannya. Artinya, sejak awal kita selalu menjaga agar sistem keuangan selalu stabil. Dalam pengertian lain, selalu tidur nyenyak karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semoga!(*) Krisna Wijaya
Penulis adalah pengamat perbankan.
Jakarta - PT PLN (Persero) meluncurkan program Gerakan Tertib Arsip (GEMAR) dan aplikasi New E-Arsip… Read More
Jakarta - Demi meningkatkan kinerja keselamatan dan integritas aset, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan PT Badak… Read More
Jakarta - Penyelenggara inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) harus melewati regulatory sandbox milik Otoritas Jasa… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bersedia mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden… Read More
Jakarta - Saat ini, secara rata-rata masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji di Indonesia bisa… Read More
Labuan Bajo - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa, akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) terbaru… Read More