Jakarta – Bisnis perbankan menghadapi tantangan yang makin berat setelah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kinerja perbankan berpotensi terdampak. Jika kondisi suku bunga tinggi berlangsung lama, bank-bank sangat mungkin akan menyesuaikan suku bunganya, baik untuk simpanan maupun kredit.
Naiknya suku bunga acuan bank sentral lazimnya akan direspons perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit. Memang tidak serta-merta, perlu waktu bagi bank-bank untuk menaikkan suku bunga kredit. Meski begitu, suku bunga acuan yang lebih tinggi berdampak pada prospek kinerja perbankan ke depan.
Misalnya, permintaan kredit berpotensi melemah karena menjadi lebih mahal. Dan, jika kredit melemah, profitabilitas bank-bank berpeluang menyusut. Lebih jauh, karena naiknya suku bunga, tantangan bagi perbankan juga akan muncul pada sisi likuiditas, kualitas kredit karena kemampuan membayar debitur berpotensi menurun, dan profitabilitas.
Hal itu berlaku pula bagi industri bank perekonomian rakyat (BPR). Bahkan, boleh jadi akan lebih berat. Sebab, transmisi kenaikan suku bunga biasanya akan lebih cepat untuk segmen yang high risk seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang selama ini menjadi periuk nasi bagi BPR-BPR. Alhasil, di era suku bunga yang akan lebih tinggi, tantangan yang dihadapi industri BPR pun bakal makin berat.
Baca juga: Lewat Cara Ini, LPS Berhasil Sehatkan Kembali BPR Indramayu Jabar
“Kebijakan kenaikan BI Rate memang akan berimplikasi pada industri keuangan, bukan hanya BPR. Ini tentu akan berpotensi mendorong naiknya suku bunga penjaminan LPS dan biaya dana yang dikeluarkan oleh perbankan. Di BPR sendiri kenaikan biaya dana akan berdampak pada suku bunga kredit yang naik. Ini tentunya memengaruhi tingkat daya saing produk kredit BPR. Tetapi kami optimistis, semoga ekonomi yang membaik mampu mendorong permintaan masyarakat akan kredit ke BPR,” kata Tedy Alamsyah, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo), kepada The Finance, awal Mei lalu.
Dari sisi kinerja, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Februari 2024, industri BPR tampak mampu menjalankan fungsi intermediasi dengan baik. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tercatat tumbuh 8,16 persen secara tahunan atau menjadi Rp137,96 triliun. Sementara, penyaluran kredit meningkat 8,48 persen menjadi Rp142,19 triliun. Adapun, aset tercatat mengembang 6,62 persen menjadi Rp193,93 triliun.
Meski fungsi intermediasi BPR cukup lancar, di sisi profitabilitas terlihat ada tekanan. Laba industri BPR di Februari 2024 terkontraksi 66,53 persen menjadi Rp161 miliar dari Rp481 miliar per Februari 2023. Tertekannya laba industri ini boleh jadi karena BPR-BPR mempertebal pencadangan – bukan karena pelemahan bisnis kredit.
Pemupukan pencadangan diperlukan untuk menjaga pemburukan kualitas kredit. Dan, di industri BPR, kualitas kredit tampak makin memerah. Tecermin dari rasio non performing loan (NPL) yang mendaki lebih dari biasanya dalam setahun terakhir, dari 8,42 persen di Februari 2023 menjadi 10,55 persen. Soal kualitas kredit ini juga menjadi salah satu tantangan industri BPR. Pasalnya, sudah lebih dari lima tahun NPL industri ini berada di atas 5 persen, dan trennya cenderung meningkat.
Di lain sisi, industri BPR juga belakangan sedang menjadi sorotan, terutama terkait dengan kelembagaan. Pertama, mengenai jumlah BPR yang saat ini lebih dari 1.000 bank. Jumlah itu dinilai terlalu banyak sehingga membuat daya saing BPR kurang optimal. Dan, kondisi BPR berbeda satu sama lain. Ada BPR yang sehat, tapi ada juga yang kurang sehat. Berdasarkan data OJK, per Februari 2024, jumlah BPR tercatat ada 1.393 bank.
Kedua, terkait dengan banyaknya BPR yang tutup. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sejak 2006 hingga 27 Februari 2024, sudah ada 127 BPR yang dilikuidasi. Penyebab utama dari gagalnya BPR adalah fraud atau salah urus oleh pengelola atau pemilik.
Otoritas ingin jumlah BPR susut. Pejabat OJK pernah menyebut bahwa dalam lima tahun ke depan jumlah BPR diharapkan bisa berkurang menjadi 1.000 bank. Pengurangan jumlah BPR ini salah satunya dilakukan dengan konsolidasi. Belakangan, sejumlah BPR telah melakukan konsolidasi dalam bentuk merger untuk memperkuat daya saingnya. The Finance Institute mencatat, sejak 2018 hingga medio 2023, sudah ada 169 BPR yang melakukan merger. Dan, ke depan, konsolidasi atau merger di dalam industri BPR diperkirakan masih akan terjadi.
Yang diharapkan OJK sebetulnya adalah industri BPR menjadi lebih sehat dan kuat. Seperti disampaikan Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, Maret lalu. Ia menyatakan, OJK akan lebih fokus untuk memperkuat kondisi Kesehatan BPR dan tidak ada target khusus mengenai berapa jumlah BPR yang harus dikurangi.
“Bukan dari segi angka (jumlah BPR) itu yang menjadi target, tapi lebih pada upaya untuk memang betul-betul langkah yang membuat penyehatan dan tentu memperkuat kondisi dari BPR dan BPRS,” katanya.
Penguatan tata kelola dan kesehatan BPR memang menjadi hal penting bagi industri BPR, termasuk juga dari sisi permodalan OJK sendiri melalui Peraturan OJK (POJK) No. 5/ POJK.03/2015 tentang Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR telah memerintahkan BPR-BPR untuk memperkuat permodalannya.
Berdasarkan aturan tersebut, BPR wajib memenuhi modal inti minimum yang ditetapkan sebesar Rp3 miliar di 2020 dan Rp6 miliar paling lambat 31 Desember 2024. Dengan menjadi lebih kuat dan sehat, peran BPR terhadap perekonomian nasional diharapkan bisa lebih besar.
Meski begitu, industri BPR sebetulnya juga sudah banyak memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional. Betul ada ratusan BPR yang ditutup. Tapi, tetap ada BPR-BPR yang sehat dan berperan dalam mendorong perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran, misalnya, dari jumlah masyarakat yang dilayani BPR.
Berdasarkan data LPS, hingga Juni 2023, jumlah rekening simpanan BPR tercatat 15,53 juta. Jumlah itu bertambah 1,74 juta dari 2019. Hal itu mencerminkan bahwa BPR diterima dan dipercaya masyarakat. Ini yang harus dijaga dan ditingkatkan.
Lebih jauh, BPR juga berperan dalam mengembangkan pasar UMKM. Selama ini BPR-BPR memang dikenal dekat dengan nasabah UMKM. Dengan kelincahan dan kecepatannya, BPR-BPR mampu melayani UMKM, terutama yang tidak terlayani bank umum dengan sangat baik.
Baca juga: LPS Pertahankan Suku Bunga Penjaminan, Bank Umum 4,25 Persen dan BPR 6,75 Persen
Industri BPR tetaplah bagian dari sistem ekonomi republik ini. Keberadaannya tetap dibutuhkan untuk melayani masyarakat, terutama yang berada di daerah rural. Pasar untuk BPR juga masih sangat besar. Tinggal bagaimana industri BPR memperbaiki dirinya dalam segala aspek, seperti tata kelola, inovasi produk dan layanan, serta permodalan. Makin kuat dan sehat industri BPR, maka tantangan-tantangan yang ada akan cenderung lebih mudah dihadapi.
“Terkait langkah industri BPR, kami berharap pelaku industri mampu memanfaatkan peluang pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayahnya, memperkuat dan meningkatkan customer based, menghadirkan pelayanan hybrid (jemput bola dan mengadopsi teknologi), meningkatkan kepatuhan, memperkuat tata kelola yang baik dan mitigasi risiko yang terukur. Selain itu, meningkatkan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam mendukung bisnis, layanan dan pengembangan produk yang dimiliki oleh BPR,” tambah Tedy.
Akhirnya, sebagai bentuk apresiasi kepada BPR-BPR yang berhasil tumbuh, The Finance (bagian dari Infobank Media Group) kembali menerbitkan rating “The Finance Top 100 BPR” untuk 2024. Rating ini dilakukan dengan mengukur kinerja BPR-BPR selama tiga tahun terakhir. Hasilnya, rating ini mendapati 233 BPR yang kinerjanya cemerlang dalam tiga tahun terakhir.
Laporan lengkap rating “The Finance Top 100 BPR” dapat dibaca di Majalah Digital The Finance edisi Top 100 BPR 2024 yang dapat diakses di www.infobankstore.com atau Majalah Infobank No.554 edisi Juni 2024. (*) Ari Nugroho
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More
Suasana saat penyerahan sertifikat Predikat Platinum Green Building dari Green Building Council Indonesia (GBCI) Jakarta.… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2024 mencapai Rp8.460,6 triliun,… Read More
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More
Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Jumat, 22 November 2024, ditutup… Read More