Expertise

The Fed Pangkas Suku Bunga, BI Rate Ikut Turun?

Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga

KETUA The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, resmi mengumumkan pemangkasan suku bunga Fed Funds Rate (FFR), walaupun ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan slowing down pada 2026. Pertumbuhannya melemah dari 3 persen ke 1,8 persen, sementara inflasi 2026 diperkirakan naik ke 3 persen.

Kebijakan ini bisa membuat market kolapskarena seiring dengan terjadinya bubble dengan PE S&P 500 sudah tembus 25. Normalnya seharusnya 16, namun itu saja sudah terlalu overvalued.

Semua orang di Wall Street berpikir bahwa AI benar-benar mentransformasi ekonomi, atau AI adalah janji untuk menciptakan pertumbuhan yang pesat. Saya yakin itu hanya sensasi belaka.

Saham perusahaan AI dan teknologi telah menyumbang sekitar 3/4 dari keuntungan S&P 500 tahun ini. Investor modal ventura tampaknya sama yakinnya, setelah menggelontorkan USD200 miliar ke sektor AI di 2025, menurut salah satu sumber tepercaya.

Di saat terjadi gelembung AI, The Fed justru kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen poin persentase ke kisaran 3,50 persen-3,75 persen. Keputusan ini diambil setelah data terbaru menunjukkan adanya perlambatan di pasar tenaga kerja dan inflasi yang mulai menurun. Pemangkasan ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan sejak September 2025, dengan total penurunan 0,75 poin persentase sepanjang tahun.

Namun, para pengambil kebijakan sering lupa dengan sebutan “ilusi moneter (monetary illusion)” ketika bank sentral menurunkan suku bunga. Likuiditas bertambah, harga saham naik, harga rumah naik, dan termasuk harga barang-barang juga ikut naik.

Baca juga: The Fed Pangkas Suku Bunga Jadi 3,5-3,75 Persen, Terendah Sejak 2022

Pada umumnya orang-orang merasa kaya. Padahal, daya beli tidak berubah. Misalnya, harga rumah yang kita jual jadi naik. Maka, kita bahagia, karena merasa menerima uang lebih banyak. Padahal, jika saya harus membeli rumah lain, maka harganya juga naik. Ini namanya “ilusi moneter.

Menurunkan suku bunga saat terjadi gelembung pasar itu berbahaya. Gelembung AI akan makin obesitas. Seperti pada 1999, The Fed mulai menurunkan suku bunga acuannya. Saat itu terjadi gelembung Dotcom yang makin melambung. Pada Maret 2020, market mangalami crash. Disadari ataupun tidak, semua pada ambruk, misalnya Nasdaq jatuh pada level 78 persen.

Beberapa ahli memprediksi bahwa gelembung AI akan meledak pada 2025, karena hype dan investasi yang berlebihan tidak sejalan dengan hasil nyata dan profitabilitas. Suku bunga AS masih moderat. Jika The Fed menurunkan suku bunga acuannya lagi dapat membuat AI bubble makin melebar, juga ketidakpastian geopolitik. Di lain sisi, volatilitas komoditas masih tetap menghantui volatilitas suku bunga FFR.

Meski inflasi masih relatif tinggi, The Fed tetap pada keputusannya untuk memangkas suku bunganya. Hal ini menandai perubahan arah kebijakan The Fed yang mulai melonggar di tengah melemahnya pasar tenaga kerja.

Keputusan tersebut menjadi perhatian utama investor global, termasuk di Indonesia. Sebab, setiap langkah The Fed dapat memengaruhi arus modal internasional, nilai tukar, hingga prospek suku bunga domestik. Kebijakan The Fed tidak hanya mencerminkan kondisi ekonomi AS, tapi juga menjadi acuan arah perekonomian dunia.

Perlambatan ekonomi dan melonggarnya pasar tenaga kerja menjadi dasar bagi The Fed untuk menyesuaikan arah kebijakan moneternya. Melalui keputusan rapat terbaru, Federal Open Market Committee (FOMC) resmi mengambil langkah pemangkasan suku bunganya.

Walaupun langkah ini dipandang sebagai sinyal bahwa The Fed mulai beralih dari kebijakan moneter yang ketat menuju pendekatan yang lebih adaptif – guna menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga – namun ini termasuk tindakan spekulatif bagi The Fed.

Apakah BI Rate Akan Mengikuti Fed Funds Rate?

Kelebihan dari kebijakan Bank Indonesia (BI) jika tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) adalah nilai tukar rupiah yang stabil. Suku bunga yang relatif tinggi pada kisaran 4,75 persen membantu menarik aliran modal asing (portofolio) dan meredam tekanan depresiasi rupiah.

Kebijakan ini juga bisa mempertahankan kepercayaan investor. Konsistensi kebijakan memberi sinyal bahwa BI menjaga stabilitas makro. Di lain sisi, inflasi terkendali dengan inflasi sudah di jalur sasaran. Mempertahankan rate tidak menambah tekanan inflasi.

Transmisi pelonggaran makroprudensial, misalnya kebijakan kredit (KLM forward looking, insentif UMKM) bisa tetap efektif karena suku bunga pasar tidak melonjak drastis.

Namun, ada potensi kelemahan/risiko, yaitu pada pertumbuhan kredit. Suku bunga tinggi bisa menahan ekspansi kredit, terutama UMKM dan sektor riil yang sensitif terhadap biaya pinjaman. Beban utang korporasi juga menjadi makin berat.

Perusahaan dengan utang floating rate atau yang banyak bergantung pada pinjaman luar negeri bisa terkena dampak biaya bunga lebih tinggi. Trade-off defisit neraca modal. Jika suku bunga AS naik lebih cepat, sel spread tidak cukup untuk menahan outflow.

Suku bunga BI (BI Rate) 4,75 persen masih cukup kompetitif karena spread dengan FFR masih positif. BI Rate akhir 2025 yaitu 4,75 persen sebagaimana hasil keputusan RDG Oktober-November 2025.

Sementara itu, FFR pada Desember 2025 sebesar 3,75 persen. Maka, spread = BI Rate - FFR; 4,75 persen – 3,75 persen = 0,1 persen (100 bps). Ini masih positif.

Hal itu juga memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan daya tarik aset rupiah (SBN, deposito) tanpa terlalu mengorbankan pertumbuhan kredit.

Namun, jika ketidakpastian global memburuk, misal suku bunga AS naik 0,5 persen lagi, BI mungkin perlu menaikkan rate lebih lanjut atau menggunakan instrumen lain (SRBI, intervensi forex).

Jika pertumbuhan domestik melambat drastis, mempertahankan rate tinggi bisa menghambat pemulihan ekonomi, sehingga perlu keseimbangan dengan kebijakan fiskal yaitu insentif UMKM, dan belanja infrastruktur yang padat karya.

Namun, jika ketidakpastian global makin memburuk, dampak kebijakan proteksionisme, tarif-tarif Trump terhadap inflasi membutuhkan waktu, hal itu akan ada lag. Kita jangan berharap rezim high interest rate segera berlalu, misal FFR naik 0,5 persen menjadi 4,00 persen, maka spread menyempit 4,75 persen menjadi 4,00 persen = 0,75 persen / 75 bps.

Hal ini mendorong risiko capital outflow, tekanan nilai tukar rupiah makin dalam, dan yield SBN ikut terdorong naik. Untuk menjaga spread, maka BI harus menaikkan BI Rate 25 bps menjadi 5,00 persen.

Baca juga: Pemangkasan Suku Bunga The Fed Jadi Momentum Positif Pasar Modal Indonesia

Selain itu, bisa menggunakan instrumen lain, misalnya SRBI untuk menarik likuiditas, intervensi forex (DNDF), atau surat valuta asing BI (SVBI) atau surat utang valuta asing BI (SUVBI) untuk menjaga stabilitas.

Implikasi terhadap rupiah dan aliran modal jika spread positif (100 bps), maka rupiah cenderung stabil/terapresiasi karena imbal hasil SBN masih menarik. Namun, jika spread menyempit atau FFR naik, investor bisa pindah ke aset US, sehingga terjadi capital outflow dan tekanan terhadap rupiah kian dalam.

Kesimpulannya, kebijakan BI mempertahankan BI Rate 4,75 persen pada November 2025 adalah konsisten dengan prioritas stabilitas makro dan pengendalian nilai tukar, terutama di tengah ketidakpastian global. Namun, trade-off antara stabilitas dan pertumbuhan harus terus dipantau. Sinkronisasi dengan kebijakan fiskal dan makroprudensial menjadi kunci agar dampak positif lebih terasa tanpa mengorbankan ekspansi kredit dan investasi sektor riil.

Galih Pratama

Recent Posts

Rekonstruksi Bencana Sumatra Diproyeksi Tembus Rp70 T, Ekonom BCA Wanti-Wanti Fiskal

Poin Penting Rekonstruksi pasca-bencana di Sumatra diproyeksi mencapai Rp50 triliun–70 triliun dan berpotensi meningkat karena… Read More

1 hour ago

Respons Reliance Sekuritas (RELI) soal Dampak Demutualisasi BEI

Poin Penting Reliance Sekuritas menyatakan akan mengikuti arahan BEI terkait rencana demutualisasi yang saat ini… Read More

1 hour ago

2026 di Depan Mata, Ini Strategi Mengatur Keuangan di Tengah Risiko Ekonomi

Poin Penting Resolusi finansial perlu strategi terukur, dimulai dari evaluasi pemasukan, pengeluaran, aset, dan liabilitas.… Read More

3 hours ago

Reliance Sekuritas Bakal Bawa 1 Perusahaan IPO Tahun Depan, Ini Bocorannya!

Poin Penting RELI targetkan dua penerbitan efek di 2026, masing-masing satu IPO saham dan satu… Read More

3 hours ago

Ekonom BCA Ramal Kredit Tumbuh 10 Persen pada 2026

Poin Penting BCA proyeksikan kredit 2026 tumbuh 9–10 persen, sejalan dengan target Bank Indonesia di… Read More

5 hours ago

Tren Cashless Menguat di Taiwan, Dompet Digital Ini Jadi Andalan

Poin Penting Pembayaran non-tunai semakin diminati di Taiwan, terutama di Taipei, meski uang tunai masih… Read More

6 hours ago