Jakarta – Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan, kebjiakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuannya pada Maret 2023 sebesar 25 bps ke kisaran 4,75% – 5% atau level tertinggi sejak Oktober 2007, dinilai sudah sesuai dengan ekspektasi. Bahkan, sebelum adanya krisis Silicon Valley Bank (SVB) The Fed diprediksi akan menaikkan suku bunganya sebesar 50 bps.
“Saya menilai hal ini merupakan langkah yang tepat, karena memang SVB, dan beberapa bank lain relatif kecil, dan secara umum kondisi perbankan AS masih sehat,” ujar Rully kepada Infobanknews, Senin, 27 Maret 2023.
Di sisi lain, meskipun inflasi AS pada Februari 2023 menurun menjadi 6% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 6,4% yoy. Namun, level 6% masih tergolong tinggi, sehingga kebijakan The Fed menaikkan suku bunganya merupakan langkah untuk melanjutkan kebijakan mengatasi inflasi.
“Memang kebijakan harus dilakukan secara lebih terukur dan sebagaimana mungkin The Fed tetap melanjutkan kebijakan mengatasi inflasi tanpa menimbulkan gejolak di sistem finansial,” ungkapnya.
Kemudian, kebijakan The Fed tersebut juga direspons oleh Bank Sentral Inggris atau Bank of England (BOE) dan Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) yang masing-masing mengerek suku bunganya sebesar 25 bps dan 50 bps.
Sementara itu, lanjut Rully, untuk Bank Sentral Indonesia (BI) diprediksi akan tetap menahan suku bunga pada level 5,75% sampai akhir tahun ini. Dilihat dari outlook inflasi domestik yang masih akan tetap stabil.
“Saya merasa karena outlook inflasi domestik akan terus stabil, dan besar kemungkinan The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga di 5,25%, maka BI akan tetap menahan suku bunga pada 5,75% sampai akhir tahun ini,” jelas Rully.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo pada RDG Maret 2023 lalu pun mengatakan, BI dalam mengambil kebijakan kenaikan suku bunga acuan bukan hanya didasarkan pada keniakan Fed Fund Rate (FFR), namun pada kondisi fundamental ekonomi di Tanah Air, yaitu ekpektasi dan proyeksi inflasi inti ke depan.
Seperti diketahui, hingga Maret 2023 Inflasi inti terus melambat menjadi 3,09% yoy, atau terkendali sesuai dengan proyeksi di kisaran 3,0±1%.
“Kebijakan BI khususnya suku bunga didasarkan kepada ekpektasi dan proyeksi inflasi kedepan dan perkembangannya terhadap pertumbuhan ekonomi, jadi tidak berkolerasi dengan Fed Funds Rate, kita mempunyai otonomi dalam kebijakan moneter. Inflasi kita menurun lebih cepat kembali ke sasaran khsusnya inflasi inti terkahir di 3,09%, target kita 3,0±1. Inflasi inti itu kan inflasi fundamental, ini kan turun sehingga sebagai dasar pertimbangan kenaikan suku bunga tidak perlu lagi, is enough,” jelas Perry. (*)
Dukung Akses Telekomunikasi danInformasi, IIF Salurkan Kredit SindikasiRp500 miliar. PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF)bekerja sama… Read More
Jakarta - PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) resmi menjual salah satu kepemilikan aset propertinya, yakni… Read More
Jakarta - Saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (kode saham: BBNI) menempati posisi penting… Read More
Jakarta – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyebutkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai… Read More
Jakarta – PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin) menyoroti pentingnya infrastruktur sistem pembayaran digital untuk mendukung transaksi antarnegara (cross-border). … Read More
Jakarta - Sejumlah bank digital di Indonesia telah merilis laporan keuangan pada kuartal III 2024.… Read More