Jakarta – Praktik money politic atau politik uang jelang pemilihan umum (Pemilu) seolah tak bisa dihilangkan dari perpolitikan Indonesia. Memberikan uang kepada calon pemilih yang dilakukan oleh kandidat pileg, pilkada, maupun pilpres, dirasa sebagai jalan pintas meraih suara si konstituen.
Berdasarkan survei bertema “Kaji Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” yang dilakukan oleh PR agency, Praxis bekerja sama dengan Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagian besar mahasiswa yang disurvei atau 49,75 persen menyatakan pesimis bahwa politik uang bisa dihilangkan dari perpolitikan Indonesia. Sebanyak 15,98 persen sangat pesimis, 17,68 persen optimis bisa hilang dan 9,59% sangat optimis.
Merespons data survei yang ada, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Imawan, mengungkapkan bahwa politik uang bisa hilang jika kesejahteraan ekonomi masyarakyat meningkat secara merata di seluruh Indonesia. Menurutnya, akar dari politik uang adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih timpang di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karenanya, tak aneh jika praktik politik uang ini ampuh menyasar kelompok masyarakat bawah.
“Karena mahasiswa ini kan kita sudah lihat adalah kelompok yang sudah terdidik secara baik, tapi justru yang rentan itu adalah yang masyarakat kelas menengah bawah. Misalnya, pada 2019 saya pernah mengikuti kampanye di Jambi cuman karena satu amplop Rp50 ribu itu suara orang bisa ke entitas itu. Nah, di Jakarta itu ada satu partai yang dia gelontorkan sembako untuk masyarakat yang lumayan teredukasi di sebuah komplek, dan tidak ada satu pun orang di komplek itu yang memilih partai itu saat pemilu,” ucapnya pada acara konferensi pers “PraxiSurvey Kaji Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” di Jakarta, Senin, 22 Januari 2024.
Baca juga: Jelang Pesta Demokrasi, Airlangga Singgung Politik Uang
“Jadi, menurut saya politik uang itu rentannya bukan ke anak muda, karena anak muda sudah tahu bahwa uang Rp200 ribu itu untuk ke depannya tidak worth it. Namun, untuk masyarakat kelas menengah ke bawah yang struggle dalam menyambung hidup, sebulan income juga tak sampai Rp2 juta, ini masih rentan terkena politik uang karena mereka harus hadapi realita yang tak dihadapi realita kelompok middle atau upper class,” jelas Arga.
Maka dari itu, menurutnya, cara agar politik uang itu semakin tergerus adalah kesejahteraan masyarakat harus meningkat maju, di mana gap kesejahteraan sosial harus semakin menyempit. Hal ini perlu didorong oleh beberapa indikator, seperti pertumbuhan ekonomi atau GDP nasional dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi.
“Sehingga masyarakat yang terangkat status sosialnya atau terpenuhi kesejahteraannya itu lebih banyak. Itu adalah satu-satunya cara yang konkrit untuk melawan money politics. Jadi, pemerataan itu harus jalan. Tidak bisa sentralized terus-terusan, seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke harus merasakan hidup yang layak,” tegasnya.
Sebagai informasi, dari data survei yang dilakukan oleh Praxis dan Election Corner Fisipol UGM tersebut, terlihat juga bahwa 42,96 persen mahasiswa akan menerima uang money politics namun tidak memilih, 20,08 persen akan menerima uang dan memilih, serta 10,99 persen tak akan menerima dan memilih.
Di samping itu, survei itu juga menunjukkan bahwa mahasiswa mengharapkan calon pemimpinnya memiliki program yang jelas terkait penanganan korupsi dan tata kelola pemerintahan (68,63 persen), serta pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan (69,53 persen). Mahasiswa juga mayoritas atau 69,93 persen menyatakan debat terbuka sebagai sarana kampanye paling efektif, sementara metode seminar dan edukasi bagi pemilih (44,16 persen), dan kampanye terbuka (43,06 persen).
Metode iklan OOH seperti billboard, sarana publik, kendaraan umum, dan sebagainya hanya dipilih sebesar 21,08 persen oleh mahasiswa. Mereka yang benar-benar berprofesi sebagai politisi dipandang layak untuk dipilih oleh mahasiswa (20,88 persen). Sedangkan mereka dengan latar belakang selebriti atau publik figur menjadi pilihan terakhir bagi mahasiswa ketika memilih calon kandidat Pemilu (0,15 persen).
Baca juga: PPATK Catat Kenaikan Transaksi Mencurigakan Caleg Jelang Pemilu 2024, Nilainya Bikin Geleng-Geleng Kepala
Survei ini sendiri dilakukan terhadap 1.101 responden mahasiswa di 34 provinsi Indonesia selama 1 sampai 8 Januari 2024. Survei ini memiliki margin of error di bawah 3% dan tingkat kepercayaan hingga 98%.
“Kita sudah sejak lama tak membahas diskursus politik itu sejak era orde baru, di mana dulu itu partai itu kan dijadikan satu begitu. Kalau misalnya dulu ideologi itu dibiarkan tumbuh dan rakyat terbiasa dengan diskursus politik dan ideologi, saya kira hal seperti money politics ini sudah tak lagi menjadi persoalan kita sekarang,” pungkas Director of Public Affairs Praxis dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia, Sofyan Herbowo. (*) Steven Widjaja
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More