Headline

Terlalu! Untuk Lihat Data Dukcapil, BPR Bak Kena “Palak”

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank

MAHAL. Mahal, dan tak masuk akal. Hanya mau lihat Nomer Induk Kependudukan (NIK), Bank Perekonomian Rakyat (BPR) harus bayar Rp150 juta. Lha bayangkan saja, jika tak membayar sejumlah Rp150 juta untuk sertifikasi ISO 27001, BPR tak bisa lihat NIK dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). BPR bak kena “palak” yang tak masuk akal.

Beban BPR terus bertambah. Tekanan persaingan juga terus makin berat. Tidak hanya dibajak bank-bank umum, tapi juga disikat oleh Pinjaman Online (Pinjol). Dan, meleng sedikit pun diambil oleh rentenir. Hidup BPR penuh dengan tekanan. Beban operasional juga tak ringan. Kini dengan kewajiban ISO 27001 yang hanya untuk melihat NIK KTP calon debitur pun harus membayar sertifikasi yang mahal dan tak masuk akal.

Sementara masalah utama BPR soal modal juga tak mudahh diselesaikan. Kini, di tengah berlikunya konsolidasi modal, justru banyak gangguan kewajiban yang tak masuk akal dihadapi BPR. Salah satunya adalah target jumlah BPR ke depan dan yang membuat puyeng di tengah sulitnya cari tambahan modal ada kewajiban ISO 27001 – yang berbayar mahal dari sebuah konsultan. Setiap BPR wajib membayar Rp150 juta untuk memperoleh ISO 27001.

Pertanyaannya, apa untungnya mendapatkan ISO 27001? Kewajiban sertifikasi itu hanya untuk melihat data-data kartu tanda penduduk (KTP) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Lebih gila lagi, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 470, butir 3, yang mewajibkan punya ISO. Aneh bin ajaib, sekadar lihat KTP harus punya ISO berbayar mahal.

Simak hitung-hitungan kasar ini. Jika ada 1.000 BPR yang berkeinginan memperoleh ISO dengan biaya Rp150 juta per BPR, maka konsultan akan mengantongi duit sebanyak Rp150 miliar – akibat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 470. Ini benar-benar pemerasan sistematis dan konstitusional. Edan.

Apa rumitnya hanya melihat data-data KTP. Bahwa harus punya sistem keamanan itu perlu. Tapi, dengan biaya sebesar Rp150 juta bagi setiap BPR itu supermahal. Duit sebesar itu sama halnya BPR harus menyalurkan kredit sebesar Rp7,5 miliar untuk menghasilkan pendapatan bunga Rp150 juta. Itu pun harus lancar dan belum dipotong biaya dana.

Jalan keluarnya – paling tidak harus ada relaksasi tentang ketentuan ini. Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling tidak harus berkomunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri mengenai ketentuan ISO yang bikin pusing direksi BPR. Lah, bagaimana BPR bisa berkembang dengan baik, kalau ditekan dari sana sini. Kelangsungan hidup BPR bisa jadi makin berat dengan adanya beban yang tak kecil ini.

Padahal, melihat data-data di Dukcapil tidaklah rumit. Jika melihat tata cara dari Google pun cukup kirim SMS di nomor tertentu. Simak caranya! “Buat pesan SMS dengan format Cek#KTP#NIK. Kirim SMS ke nomor Disdukcapil Kemendagri ke nomor 08153636999”. Semudah itu.

Jadi, tak rumit-rumit amat. Ketentuan sertifikasi itu perlu, tapi biaya Rp150 juta hanya untuk konsultan yang “memboncengi” Keputusan Menteri Dalam Negeri ini seperti “pemerasan” legal. Lebih bikin “geleng-geleng” kepala, perusahaan jasa konsultan itu baru berdiri akhir 2022.

Kemudahan untuk melihat data-data untuk pemberian kredit itu harusnya menjadi bagian pelayanan kepada masyarakat yang sudah membayar pajak. Bukan menjadi ladang pendapatan baru bagi pihak lain dan menjadi beban BPR yang sudah banyak beban – seperti beban iuran pengawasan, iuran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), beban pencadangan, juga bayar pajak. Lalu, kalau begini, berapa persen kredit dijual ke masyarakat?

Jumlah bank perkreditan rakyat atau sekarang namanya bank perekonomian rakyat (BPR) terus berkurang. Setiap tahun sejak krisis perbankan 1998 jumlahnya terus menyusut. Namun, di tahun-tahun ketika COVID-19 merajalela, jumlah BPR yang almarhum justru malah makin mengecil. Tahun 2022 hanya satu BPR yang “dikebumikan” dan dua BPR mengembalikan izinnya. 

Jumlah BPR setiap tahun terus menurun. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), jumlah BPR per Desember 2022 sebanyak 1.608 bank, terdiri atas 1.441 BPR konvensional dan 167 BPR syariah. Padahal, akhir 2021 jumlah BPR konvensional sebanyak 1.467, sedangkan BPR syariah sebanyak 164. Ada pengurangan 20 BPR konvensional karena merger dan konversi menjadi BPR syariah. Puncak jumlah BPR terjadi pada 1997, mendekati angka 1.800 BPR.

BPR yang sebanyak 1.608 buah itu – sebagian besar masih memiliki modal di bawah Rp15 miliar (1.138 BPR). Bahkan, masih banyak BPR yang punya modal di bawah Rp6 miliar yang menjadi ketentuan modal inti minimum bagi BPR. Di samping itu – ada tren di BPR yang mengubah akidahnya dari konvensional menjadi syariah.

Apa pun gangguannya, tidak ada salahnya  mendukung keberadaan BPR yang menjadi garda terdepan bagi literasi dan inklusi keuangan. Kehadiran pinjaman online (pinjol) – terbukti menjadi malapetaka bagi masyakarat. Sementara, BPR masih tetap ada, tetap eksis, dan sangat dibutuhkan keberadaannya. Sudah waktunya pembuat kebijakan memberi jalan baik bagi kehadiran BPR. Jangan sampai BPR yang dekat dengan wong cilik dan tersebar di daerah-daerah ini dijadikan “bulan-bulanan”.

Jangan memandang sebelah mata kekuatan inklusi dan literasi BPR. Bayangkan, dengan jumlah nasabah baik kredit maupun dana mencapai 15-16 juta nasabah itu bukanlah angka yang kecil. Dan, setidaknnya banyak pihak menjauhkann BPR dari pemerasan legal dari banyak penjuru. Salah satu yang urgen sekarang ini ialah biaya ISO 27001 yang mahal, Rp150 juta, hanya untuk bisa melihat data KTP calon debitur. 

Jujur, bisnis sertifikasi untuk BPR ini tampak kasar, dan akan membuat BPR menjadi tak efisien karena banyak bayar-bayar. Jujur tidak ada keberpihakan kepada BPR yang menjadi ujung tombak literasi di masyarakat pedesaan.

Boleh jadi BPR itu soko guru literasi dan iklusi di masyarakat. Dan, pinjol yang tanpa aturan ketat itu menjadi drakula di masyarakat. Untuk itu, mari mendorong BPR untuk terus menambah kapasitas permodalan dan bukan dijadikan objek, termasuk bayar-bayar ISO 27001 yang mahal itu. Kuda-kuda BPR harus diperkuat.

Jangan jadikan BPR objek “bisnis” yang tak masuk akal ini. Hanya sekadar lihat NIK KTP harus membayar biaya konsultan sertifikasi sebesar Rp150 juta. Ngeri! 

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

6 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

7 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

8 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

8 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

10 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

10 hours ago