Jakarta – Tekanan di pasar modal dan nilai rupiah sepanjang triwulan pertama tahun ini lebih banyak dipicu oleh faktor global terutama antisipasi kenaikan suku bunga AS (Fed Fund Rate) dan adanya kegaduhan perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Management, Budi Hikmat dalam risetnya, di Jakarta, Rabu, 4 April 2018. Menurutnya, tekanan di pasar modal dan rupiah diprediksi akan mulai mereda pada triwulan kedua tahun ini.
“Terkoreksinya pasar saham dan rupiah diharapkan akan mulai mereda seiring dengan menurunnya yield T-bond dan VIX yang mengukur volatilitas indeks saham bursa saham Amerika Serikat,” ujarnya.
Sepanjang triwulan pertama 2018, kata dia, IHSG terkoreksi 2,62 persen. Angka ini relatif lebih rendah bila dibanding indeks saham bursa India (-3,2 persen), Tiongkok (-4.18 persen), Nikkei Jepang (-5,5 persen) dan Filipina (-6,8 persen). Sementara itu, kurs rupiah terdepresiasi 1,2 persen selama tahun berjalan.
Kurs rupiah yang mengalami depresiasi 1,2 persen selama tahun berjalan ini, telah membuat Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi sebagai upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal ini menyebabkan posisi cadangan devisa berkurang sekitar US$4 miliar menjadi US$128,06 miliar per akhir Februari 2018.
Namun, di sisi lain kinerja investasi obligasi negara berdasarkan Asian Bond Fund Indonesia mencapai 0,19 persen. Sejak pertengahan Maret 2018, investor asing nampak kembali masuk membeli obligasi negara. Hal ini menopang kinerja Indeks Asian Bond Fund Indonesia selama Maret 2018 sebesar 0,58 persen yang sempat mengalami koreksi tajam selama Februari 2018.
Baca juga: Pasar Obligasi Masih Menarik
Semntara terkait dengan rencana kenaikan tarif impor baja dan aluminium di AS, telah memicu risiko perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya terutama Tiongkok. Presiden AS Donald Trump menuduh Beijing melakukan perdagangan yang tidak sehat yang membuat Amerika defisit hingga US$375 juta sepanjang tahun 2017 lalu.
Pemerintah Tiongkok diberitakan akan membalas tindakan AS dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang negeri Paman Sam tersebut. “Ketegangan ini berisiko menurunkan volume of trade yang kurang menguntungkan emerging market yang memiliki ketergantungan supply chain dengan Tiongkok,” ucap Budi.
Sebenarnya, lanjut dia, hubungan Tiongkok dan AS itu terbilang unik. Pasalnya, Tiongkok selama ini menyediakan beraneka barang yang lebih murah yang tidak dapat diproduksi di AS. Demikian juga Tiongkok merupakan negara kreditor terbesar bagi AS dengan penempatan pada Tbond senilai US$1,17 triliun per Januari 2018 lalu.
Kebijakan pemangkasan pajak menyebabkan Amerika Serikat lebih membutuhkan partisipasi kreditur, terutama Tiongkok. Bayangkan jika Tiongkok melepas US$100 miliar saja, tak hanya pasar AS yang bergejolak, tapi market global juga dapat terimbas
“Kita perlu mencermati perkembangan solusi ekonomi dan politik terkait perang dagang antara AS dengan Tiongkok. Selama triwulan lalu, investor memang cenderung melakukan aksi ambil untung (profit taking) seiring kenaikan bursa saham di AS dan negara berkembang lainnya yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir,” tutupnya. (*)
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More