News Update

Tax Amnesty Tumpuan Pemerintah Dongkrak Perekonomian

Jakarta–Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memandang, pemerintah saat ini menjadikan program pengampunan pajak atau tax amnesty sebagai andalan dalam menghadapi gejolak perekonomian global.

Menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, amnesti pajak menjadi tumpuan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Dengan masuknya dana deklarasi dan repatriasi, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara.

“Tahun lalu pertumbuhan ekonomi 3,1% tapi terus turun dari tahun sebelumnya. Tahun ini prediksinya sama dengan tahun lalu atau menurun, jadi tidak ada yang prospektif dari konteks global,” kata Bambang dalam Dialog Ekonomi Indonesia Terkait Pengampunan Pajak di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat, 19 Agustus 2016.

Bambang menjabarkan, tax amnesty sangat dibutuhkan lantaran saat ini tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari kondisi perekonomian global sebagai capital inflow atau arus modal asing masuk.

Sebab, negara-negara besar sendiri seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Eropa, dan China juga telah mengalami guncangan ekonominya masing-masing.

“Ekonomi AS meskipun sudah recovery tapi dia belum yakin dengan recovery-nya. Apalagi kemarin juga ada Brexit. Jepang stagnan pertumbuhannya, bahkan harus mengeluarkan kebijakan yang sangat radikal yaitu negative interest rate. Eropa juga stagnan dengan interest rate sangat rendah. China yang selama ini diandalkan, mereka punya problem tersendiri terutama dikaitkan dengan pertumbuhan mereka sendiri,” tuturnya.

Sehingga, kata Bambang, satu-satunya jalan adalah dengan mengumpulkan seluruh aset sendiri untuk memperkuat perekonomian. Di antaranya, selain belanja pemerintah diperbesar untuk infrastruktur, juga terus berupaya bagaimana memulangkan aset masyarkat kembali ke tanah air.

Dengan begitu, sambung Bambang, seluruh sumber dana Indonesia dapat diputar kembali untuk mendorong dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Karena itu kenapa kita butuh tax amnesty. Tax ratio kita tahun lalu cuma 11%. Untuk standar ASEAN itu rendah. Apalagi jika dibandingkan dengan negara besar yang di atas 20%. Jadi tax ratio rendah tapi kebutuhan untuk dorong pertumbuhan besar, karena masih ada kemiskinan dan ketimpangan. Jadi dari situ alasan tax amnesety,” ujarnya. (*) Dwitya Putra

 

 

Editor: Paulus Yoga

Paulus Yoga

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

3 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

3 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

5 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

5 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

6 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

7 hours ago