Oleh Paul Sutaryono
MULAI minggu kedua Januari 2025, bank BUMN wajib melakukan hapus tagih kredit macet UMKM sehingga nasabah UMKM bakal bernapas lega. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM. Sebelumnya, rencana ini sudah muncul pada era Presiden Jokowi pada November 2023. Namun, hal itu tenggelam oleh pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden pada 14 Februari 2024.
Selama ini, belum ada aturan tentang hapus tagih kredit macet bagi bank BUMN. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum efektif 1 Januari 2020 hanya mengatur hapus buku bukan termasuk hapus tagih. Aturan ini “hanya” menetapkan terhadap piutang macet (kredit macet) yang sebelumnya wajib telah dilakukan restrukturisasi dan upaya penagihan secara optimal. Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit.
Bagaimana kinerja kredit bank BUMN ke UMKM? Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK pada 24 Desember 2024 menunjukkan outstanding kredit UMKM oleh bank BUMN Rp937,76 triliun atau 12,93 persen dari total bank umum (tak termasuk bank syariah dan bank perekonomian rakyat/BPR) Rp7.252,06 triliun per Oktober 2024. Jumlah kredit UMKM Rp937,76 triliun itu meliputi usaha mikro dengan pangsa pasar (market share) paling tinggi Rp514,99 triliun (54,92 persen). Lalu menyusul usaha kecil Rp334,91 triliun (35,71 persen) dan menengah paling rendah Rp87,86 triliun (9,37 persen).
Sementara, NPL mencapai 3,62 persen mendekati ambang batas aman 5 persen. Perinciannya: NPL usaha mikro paling tinggi 1,79 persen, kemudian menyusul usaha kecil 1,50 persen, dan menengah 0,33 persen.
Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan yang wajib dipenuhi agar titah tersebut berjalan lancar? Pertama, tak semua bidang UMKM dapat dilakukan hapus tagih piutang (kredit) macet. PP tersebut membatasi penghapusan piutang macet UMKM hanya pada tiga bidang, yakni pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kredit macet yang dapat dilakukan hapus tagih maksimal Rp500 juta untuk nasabah badan usaha dan maksimal Rp300 juta untuk nasabah perorangan. Kredit macet itu harus sudah dilakukan hapus buku minimal lima tahun sebelumnya.
Kedua, mengapa UMKM? Karena, UMKM mampu menyerap 119,56 juta tenaga kerja (96,92 persen dari pangsa tenaga kerja) pada 2018-2019. Usaha mikro mampu menyerap 109,84 juta orang (89,04 persen), kecil 5,93 juta orang (4,81 persen), dan menengah 3,79 juta orang (3,07 persen). Bandingkan dengan usaha besar yang “hanya” menyerap 3,81 juta orang (3,08 persen).
Kini, BRI menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam mengucurkan kredit ke segmen UMKM sesuai dengan bisnis intinya. Apakah bank BUMN lainnya seperti Bank Mandiri, BNI, dan BTN juga mengucurkan kredit UMKM? Ya! Bahkan semua bank wajib menyalurkan kredit ke UMKM.
Melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) efektif 31 Agustus 2021, Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank-bank umum untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 30 persen secara bertahap. Tahap pertama 20 persen pada akhir Juni dan Desember 2022. Tahap kedua 25 persen pada akhir Juni dan Desember 2023 dan tahap ketiga 30 persen sejak akhir Juni 2024.
Ketiga, apakah target 30 persen itu telah tercapai? Menurut Statistik Sistem Keuangan Indonesia yang diterbitkan BI, target penyaluran kredit ke segmen UMKM baru mencapai 20,73% dari total kredit bank umum per Oktober 2024. Data itu menegaskan, ternyata tidak mudah bagi bank untuk memenuhi target 30 persen itu. Mungkin bagi BRI, target itu “mudah dicapai” mengingat segmen UMKM merupakan bisnis intinya. Namun, bank papan atas – katakanlah 10 bank terbesar per semester I 2024, seperti Bank Mandiri, BCA, BNI, BTN, BSI, CIMB Niaga, OCBC Indonesia, PermataBank, dan SMBC Indonesia – bisa jadi merasa kesulitan. Mengapa? Lantaran, bank papan atas lebih berfokus pada kredit korporasi.
Keempat, apa itu hapus buku dan hapus tagih? Hapus buku adalah tindakan adminsitratif bank untuk menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur. Hapus tagih adalah kebijakan menghapus kewajiban debitur atas kredit yang sudah dihapus buku dan tidak ditagih lagi.
Manfaat Hapus Tagih
Sesungguhnya, apa manfaat hapus tagih bagi nasabah dan bank? Sudah barang tentu, reputasi nasabah di mata regulator menjadi kinclong kembali. Sebab, nama nasabah sudah tidak ada lagi (bersih) di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. SLIK ini merupakan sistem informasi yang bertujuan untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pelayanan informasi keuangan. Dengan demikian, nasabah dapat kembali mengajukan kredit baru sejauh memenuhi syarat.
Bagi bank, laporan keuangan akan makin cantik karena bank tidak perlu membentuk cadangan lagi untuk debitur tertentu. Ketika kredit sudah dilakukan hapus buku, maka kredit tersebut tidak lagi masuk di neraca (off balance sheet).
Namun, perlu dipahami bahwa hapus buku itu tidak berarti hapus tagih. Dengan bahasa lebih lugas, ketika ternyata kredit hapus buku itu masih dapat ditagih, maka hasil penagihan itu akan masuk pos pendapatan lain-lain.
Ketika kredit macet sudah dilakukan hapus buku, bank akan membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) minimal 100 persen. Walakin, bank boleh dikatakan berdarah-darah alias merugi mengingat kredit yang telah dikucurkan ternyata tidak menghasilkan pendapatan dari bunga (interest income) optimal. Siapa yang menanggung kerugian itu? Ya, bank BUMN itu sendiri. Untuk itu, hapus tagih wajib diputuskan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS).
Kelima, sejatinya, PP itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) efektif 12 Januari 2023. UU itu menitahkan piutang macet pada bank dan/atau lembaga keuangan nonbank badan usaha milik negara (BUMN) kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM (pasal 250 ayat 2).
Pasal 251 menegaskan kerugian oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang merupakan kerugian bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN bersangkutan (ayat 1). Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (ayat 2). Direksi dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi (ayat 3).
Keenam, apakah kemudian bank BUMN langsung berani melakukan hapus tagih? Tunggu dulu, karena ternyata masih terdapat UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 35 menyatakan, setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung maupun tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
Apa yang dimaksud dengan keuangan negara? Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dijadikan hak milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (pasal 1).
Nah, ketika UU itu masih berlaku, bank BUMN akan berpikir seribu kali sebelum melakukan hapus tagih. Tegasnya, bank BUMN wajib lebih berhati-hati.
OJK Wajib Melindungi Bank
Ketujuh, oleh karena itu, untuk mempertebal keyakinan bank BUMN dalam melakukan hapus tagih, OJK sudah semestinya segera menerbitkan POJK sebagai petunjuk pelaksanaan PP Nomor 47 Tahun 2024.
Jauh sebelumnya telah ada POJK Nomor 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang mengatur antara lain hapus buku dan hapus tagih bank umum/UUS. Kini saatnya bagi OJK untuk meluncurkan POJK tentang hapus tagih kredit macet UMKM bagi bank BUMN.
Sayang seribu sayang, OJK justru menegaskan tidak akan menerbitkan aturan turunan atau petunjuk teknis. Hal itu disampaikan lantaran isi aturan tersebut sudah memiliki pengaturan yang jelas untuk mencegah potensi risiko seperti moral hazard (Bisnis.com, 18 November 2024). Padahal, aturan turunan atau petunjuk teknis tersebut akan menjadi pedoman penting dan mendesak bagi bank BUMN untuk segera melakukan hapus buku kredit macet UMKM.
Karena itu, sebagai pendekar utama yang melakukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, OJK sudah sepatutnya melindungi bank dalam melakukan hapus tagih kredit macet UMKM. Jangan sampai OJK dinilai seolah membiarkan bank BUMN untuk berjalan sendiri tanpa petunjuk teknis. Hal itu bisa memberi kesan cuci tangan.
Kedelapan, ingat bahwa kebijakan hapus tagih itu dapat mengundang aji mumpung (moral hazard). Artinya, debitur bisa saja menganggap kredit macet itu tidak akan menjadi masalah toh kelak bakal dilakukan hapus buku dan hapus tagih. Padahal, kredit itu utang yang wajib dikembalikan bukan untuk bancakan.
Nah, ketika aneka faktor kunci keberhasilan demikian telah terpenuhi dengan saksama, hapus tagih sangat diharapkan dapat berjalan dengan mulus.
Sebagai institusi yang melakukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, OJK sudah sepatutnya melindungi bank dalam melakukan hapus tagih kredit macet UMKM. Jangan sampai OJK dinilai seolah membiarkan bank BUMN untuk berjalan sendiri tanpa petunjuk teknis. Hal itu bisa memberi kesan cuci tangan.
Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya, dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.