Oleh Paul Sutaryono
TAHUN 2025 masih akan sarat dengan ketidakpastian ekonomi global. Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,1 persen pada 2025. Bagaimana tantangan perbankan 2025 sehingga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi?
Selain tantangan internal, terdapat tantangan eksternal, seperti tensi geopolitik yang tinggi karena perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas. Apalagi Donald Trump menabuh genderang perang tarif impor.
Sejauh mana kinerja bank umum? Siaran pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kredit bank tumbuh 10,85 persen (turun dari 11,40 persen per Agustus 2024) secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp6.837 triliun per September 2023 menjadi Rp7.579 triliun per September 2024.
Pertumbuhan kredit itu berada di rentang target pertumbuhan kredit menurut OJK 9 persen – 11 persen pada 2024. OJK dan Bank Indonesia (BI) menetapkan pertumbuhan kredit yang sama 11 persen – 13 persen pada 2025. Menurut jenis penggunaan, kredit investasi tumbuh tertinggi 12,26%, dibayangi kredit konsumsi 10,88 persen dan kredit modal kerja 10,01 persen.
Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih rendah, 7,04 persen, (naik dari 7,01 persen per Agustus 2024) dari Rp8.147 triliun menjadi Rp8.721 triliun. Pertumbuhan DPK itu didukung pertumbuhan giro, tabungan, dan deposito masing-masing 9,38 persen, 7,30 persen, dan 4,95 persen. Imbal hasil aset (return on asset/ROA) tampak tetap tidak berubah, 2,73 persen. Intinya, kualitas aset tetap tinggi. Hampir dua kali ambang batas 1,5 persen. Itulah sekilas kinerja bank umum.
Lantas, apa saja tantangan perbankan pada 2025? Apa pula aneka langkah strategis untuk mampu menjawab tantangan tersebut?
Pertama, apakah suku bunga kredit perbankan akan mendaki lagi? Sesungguhnya, suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini (per 7 November 2024) 4,50 persen – 4,75 persen sudah ancang-ancang untuk menipis lagi mengingat inflasi sudah menyentuh 2,60 persen, mendekati target 2 persen.
Harapan itu barangkali akan pupus. Mengapa? Lantaran, Donald Trump yang bakal dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2025 akan langsung memberlakukan tarif impor yang bermuatan proteksi. Awalnya, Trump akan menerapkan tarif impor 25 persen dari Kanada dan Meksiko serta 35 persen bagi Tiongkok.
Eh, kini Trump mengancam pengenaan tarif impor 100 persen dari negara BRICS. Anggota BRICS meliputi sembilan negara: Brasil, Rusia, India, Cina (Tiongkok), Afrika Selatan, Mesir, Etiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Pengenaan tarif impor setinggi itu akan mendorong inflasi AS bakal meroket lagi. Artinya, FFR akan urung untuk menipis pada 2025. Apakah Indonesia masih siap bergabung dengan BRICS? Indonesia sebaiknya menahan diri seraya menunggu perkembangan sepak terjang Trump.
Hal itu akan mendorong BI untuk menyesuaikan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) 6 persen. Itu semua menegaskan ketidakstabilan ekonomi global akan berlanjut pada 2025. Dengan bahasa lebih bening, suku bunga perbankan minimal akan jalan di tempat. Inilah tantangan utama bank!
Kedua, data BI menunjukkan deposito perorangan turun selama tiga bulan berturut-turut hingga Oktober 2024. Deposito perorangan mengalami kontraksi (tumbuh minus) 2 persen dan 2,7 persen (yoy) masing-masing per Agustus 2024 dan September 2024. Jumlah deposito perorangan Rp1.437,3 triliun per Oktober 2024, turun 3,5 persen.
Apa sebabnya? Ketika suku bunga acuan BI menipis, maka suku bunga deposito juga akan menipis meskipun tidak serta-merta. Artinya, menipisnya suku bunga deposito akan berjalan secara perlahan. Hal itu bisa mendorong deposan perorangan untuk melirik instrumen investasi lainnya yang lebih cantik. Katakanlah, Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan bunga kupon di atas 6 persen dengan tenor tiga tahun. Tentu saja, ORI akan lebih menarik daripada suku bunga deposito yang sekitar 3 persen (Paul Sutaryono, CNBC Indonesia 6/12/24). Oho, bank bersaing ketat dengan pemerintah dalam menghimpun dana masyarakat.
Penurunan deposito perorangan itu menjadi ancaman penipisan DPK yang bisa menekan ekspansi kredit. DPK dari deposito merupakan dana mahal karena suku bunga deposito lebih tinggi daripada suku bunga tabungan apalagi giro.
Ketiga, tantangan berikutnya adalah aturan hapus tagih kredit macet UMKM di bank BUMN yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM.
PP itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) efektif 12 Januari 2023. UU itu menitahkan piutang macet pada bank dan/atau lembaga keuangan nonbank badan usaha milik negara (BUMN) kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM (pasal 250, ayat 2).
Pasal 251 menegaskan, kerugian oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang merupakan kerugian bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN bersangkutan (ayat 1).
Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (ayat 2). Direksi dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi (ayat 3).
Selama ini, belum ada peraturan OJK (POJK) yang mengatur hapus tagih kredit macet UMKM untuk bank BUMN. Celakanya, OJK justru menegaskan tidak akan menerbitkan aturan turunan atau petunjuk teknis. Hal itu disampaikan lantaran isi aturan tersebut sudah memiliki pengaturan yang jelas untuk mencegah potensi risiko, seperti moral hazard (Bisnis.com 18/11/24).
Kok begitu? Padahal, POJK itu akan menjadi petunjuk pelaksanaan bagi bank BUMN untuk melakukan hapus buku kredit macet UMKM. Bukankah tugas OJK itu tidak hanya mengatur dan mengawasi namun juga melindungi sektor jasa keuangan? Karena itu, bank pemerintah harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan titah UU tersebut.
Apalagi terdapat pula UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 35 menyatakan setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, baik langsung maupun tidak langsung, yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
Keempat, selain tantangan, terdapat pula peluang bisnis. Sebut saja, Program Pembangunan 3 Juta Rumah yang dicanangkan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman bisa menjadi lahan basah bagi bank. Program itu tiga kali Program Sejuta Rumah (PRS) per tahun pada era Jokowi.
Untuk itu, bank dapat menjadi mitra bisnis sebagai bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR) komersial. Untuk KPR subdisi alias KPR dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bank dapat menggandeng Badan Pengelola (BP) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Peluang bisnis terbuka lebar di sektor properti. Ingat, sektor properti mampu menggairahkan 174 subsektor lainnya. Katakanlah, pasir, semen, batu kali, batu bata, cat, besi, kawat, paku, baja ringan, kayu, genting, dan arsitektur. Ringkas tutur, sektor properti sanggup menyerap banyak tenaga kerja. Dengan demikian, sektor properti juga mampu menekan tingkat pengangguran terbuka 4,91 persen per Agustus 2024, turun 0,41 poin dari 5,32 persen per Agustus 2023.
Kelima, mau tak mau bank harus memprioritaskan perbankan digital. Kini, bank papan atas bagai berlomba untuk memiliki aplikasi super (super app), seperti Bank Mandiri dengan Livin’, BCA dengan MyBCA, BNI dengan Wondr, BRI dengan BRImo, BTN dengan New BTN Mobile, BSI dengan BYOND, dan PermataBank dengan Permata ME. Super app itu bertujuan untuk mampu memanjakan nasabah, terutama generasi milenial, yang telah begitu akrab dengan transaksi digital.
Keenam, mulai 1 Januari 2025, pemerintah menetapkan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang tertuang dalam PP Nomor 34 Tahun 2023 tentang Besaran Bagian Premi untuk Pendanaan Program Restrukturisasi Perbankan. PP itu merupakan aturan turunan dari UU P2SK.
UU itu menekankan upaya pencegahan krisis melalui penguatan industri perbankan, baik pada level individual bank maupun level industri perbankan. Hal itu bertujuan supaya penanganan permasalahan bank diutamakan dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan dari industri perbankan.
Singkat kata, premi PRP berkisar dari 0,000 persen bagi bank dengan total aset sampai Rp1 triliun dengan bank peringkat komposit 1-5 hingga 0,055 persen bagi bank dengan total aset di atas Rp100 triliun dengan bank peringkat komposit 2. Makin tinggi peringkat komposit suatu bank, makin rendah potensi risiko suatu bank (Paul Sutaryono, Kompas 15/7/23). Amat dicemaskan premi PRP itu bakal dibebankan kepada nasabah berupa suku bunga kredit yang kian tinggi.
Ketujuh, pemerintah pun wajib terus menggelontorkan belanja pemerintah sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi. Sebagai mitra pemerintah, BI siap meluncurkan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial untuk mendorong pembiayaan ke sektor prioritas pencipta tenaga kerja.
Insentif akan naik dari Rp259 triliun pada Oktober 2024 menjadi Rp283 triliun pada Januari 2025. Uang muka bisa 0 persen untuk kredit properti dan kredit kendaraan bermotor.
Kedelapan, bank juga harus membentengi diri dari fraud. Karena itu, bank wajib memperkokoh penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan.
Berbekal aneka langkah strategis demikian, bank bakal mampu menatap 2025 dengan gagah berani sehingga kian gemerincing di tengah gejolak global!
Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya, dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM.
Jakarta - PT Pegadaian resmi menjadi bank emas pertama di Tanah Air. Ini setelah Otoritas… Read More
Jakarta - Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar menyampaikan komitmen pemerintah dalam berbagai agenda pemberdayaan untuk… Read More
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam… Read More
Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bersama sejumlah asosiasi sektoral mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menetapkan… Read More
Jakarta - Mike Johnson, kembali terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat dalam… Read More
Jakarta - Di era modern, kesempatan perempuan untuk mewujudkan mimpi semakin terbuka. Tak terkecuali Tjit… Read More