Jakarta – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2025 diprediksi akan memberikan tekanan besar bagi dunia usaha di Indonesia. Wakil Presiden Direktur PT Asuransi MSIG Indonesia, Bernard P. Wanandi, mengungkapkan bahwa tahun tersebut akan menjadi periode yang penuh tantangan, terutama bagi pelaku industri.
“Memang bakalan challenging year sih kalau kita lihat ya. Tentu saja akhir tahun ketemu banyak klien yang gede-gede. Mereka juga bilang 2025 challenging year,” ujar Bernard dalam kunjungannya ke Kantor Infobank Media Group, di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Bernard menggarisbawahi sejumlah faktor yang memperburuk kondisi ekonomi, termasuk jatuh tempo utang sebesar Rp800 triliun, fluktuasi nilai tukar dolar, dan dampak kenaikan PPN terhadap harga bahan pokok.
Baca juga: Kuota LPG 3 Kg Jebol, Pemerintah Pantau Ketat Konsumsi Energi di Akhir Tahun
Menurutnya, meski pemerintah telah memberikan berbagai insentif, tantangan tersebut tetap memerlukan kerja keras dari dunia usaha.
“PPN naik, bahan pokok juga (terkena dampak). Tapi memang pemerintah coba ngasih insentif ya. Kita tetap harus kerja keras ya kayaknya. Karena banyak tantangan,” tambah Bernard.
Salah satu kekhawatiran utama Bernard adalah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, yang dapat memicu lonjakan barang dari Tiongkok ke Indonesia akibat kebijakan tarif selektif di Amerika.
“Salah satu yang saya paling takut dengan Trump naik itu sih, basically barang-barang dari China tuh masuk semua ke Indonesia. Jadi itu serem. China is a producing country. Kayak sekarang EV pada pindah ke sini semua. Itu juga masih dilema buat kita,” jelas Bernard.
Baca juga: Dukung Program 3 Juta Rumah, PLN Proyeksikan Konsumsi Listrik 6,3 TWh per Tahun
Dampak tersebut tidak hanya dirasakan sektor manufaktur, tetapi juga industri otomotif dan asuransi. Menurut Bernard, meningkatnya klaim kendaraan listrik menjadi salah satu perhatian utama, ditambah tekanan dari efisiensi biaya produksi Tiongkok yang sulit disaingi oleh pelaku usaha lokal.
“China bisa bikin murah apa lagi ya. Terutama manufacturing lah yang masih kena. Karena gak bisa lawan sama China punya efisiensi dan cost-nya tuh gak bisa lawan gitu,” katanya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, Bernard menekankan pentingnya menerapkan crisis mode dalam strategi bisnis.
“We are in a crisis. Kita mesti crisis mode, gitu. Jadi harus putar otak, cari solusi, cari bisnis, cari cost,” imbuh Bernard.
Baca juga: Netflix hingga Spotify Kena PPN 12 Persen Mulai 1 Januari 2025
Meski demikian, Bernard tetap optimistis terhadap prospek ekonomi Indonesia. Ia menyebutkan bahwa konsumsi domestik yang kuat masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi, meskipun ketidakpastian global terus mengintai.
“Kita tetap ada targetnya cukup tinggi ya. Karena tetap Indonesia prospektif di regional. Tapi memang masih banyak tanda tanya yang harus kita lihat. Di Januari ini sepertinya ke depannya seperti apa,” pungkasnya. (*) Alfi Salima Puteri
Presiden Direktur & Chief Executive Officer (CEO) BCA Life, Christine Setyabudhi menyampaikan sambutan saat peluncuran… Read More
Jakarta - Bank Perekonomian Rakyat Syariah Seluruh Indonesia (HIMBARSI) meresmikan Alfi Wijaya sebagai ketua umum… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) pada Oktober 2024 tercatat sebesar USD423,4 miliar… Read More
Jakarta – Demi meredam dampak atas kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun… Read More
Jakarta – Mengelola likuiditas menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan dengan banyak rekening operasional, terutama yang… Read More
Jakarta – Bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk, akan memangkas sejumlah pengeluaran pemerintah Amerika Serikat… Read More