Oleh Paul Sutaryono
HINGGA Februari 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha 6 Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Mereka adalah BPRS Mojo Artho, BPR Wijaya Kusuma, BPR Usaha Madani Karya Mulia, BPR Pasar Bhakti, BPR Bank Purworejo dan BPR EDC Cash. Apa tantangan BPR pada 2024? Transformasi total!
Kita simak dulu sejauh mana kinerja BPR konvensional (tidak termasuk BPR syariah). Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh OJK pada 21 Februari 2024 menunjukkan bahwa kredit tumbuh 8,89% (yoy) dari Rp 129,29 triliun per Desember 2022 menjadi Rp 140,79 triliun per Desember 2023.
Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 8,65% dari Rp 146,11 triliun menjadi Rp 158,75 triliun. Meskipun loan to deposit ratio (LDR) naik dari 75,83% menjadi 76,56%, namun masih di bawah ambang batas 78-92%. Dengan bahasa lebih bening, penyaluran kredit BPR kurang agresif sehingga laba amblas 38,66% dari Rp 3,17 triliun menjadi Rp 1,94 triliun.
Akibatnya, imbal hasil aset (return on assets/ROA) turun dari 1,74% menjadi 1% yang berarti kualitas aset turun dan di bawah ambang batas 1,5%. Imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) pun anjlok dari 15,39% menjadi 8,47%. Artinya, kualitas ekuitas turun dan di bawah ambang batas 12%. Itulah sekilas kinerja BPR sampai dengan akhir Desember 2023.
Baca juga: Soal Makin Marak BPR Berguguran, Begini Respons Perbarindo DKI Jaya
Lantas, apa saja tantangan BPR pada 2024? BPR harus melakukan transformasi (perubahan besar-besaran). Apa faktor kunci keberhasilan (key success factors) untuk mewujudkan transformasi tersebut?
Pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) telah mengubah nama Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat dengan akronim tetap BPR.
Harus diakui bahwa BPR merupakan salah satu pilar pendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan. BPR pun mampu meningkatkan inklusi keuangan dan melek keuangan (financial literacy) masyarakat.
Akan tetapi, kinerja BPR yang loyo itu menyiratkan bahwa perubahan nama itu belum menunjukkan hasil signifikan. Sudah semestinya, perubahan nama itu disambut dengan transformasi.
Kedua, kinerja BPR yang turun tajam itu bisa pula disebabkan oleh ketatnya persaingan dengan terbentuknya holding ultra mikro pada 2021. Holding itu sebagai hasil merger 3 BUMN Ultra Mikro yakni PT Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI sebagai induk usaha (holding company). Merger itu bertujuan untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan ultra mikro (UMi).
Apa itu pembiayaan UMi? Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 95/PMK/05/2018 menetapkan pembiayaan ultra mikro merupakan program tahap lanjut dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah yang belum dapat difasilitasi perbankan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Pembiayaan UMi maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank (LKBB). Pertanyaannya, apakah BRI juga terjun langsung menyalurkan pembiayaan UMi? Bukankah BRI bukan LKBB?
Ketiga, apakah penutupan 6 BPR itu sebagai akibat persaingan yang makin ketat? Menurut OJK, penutupan tersebut lantaran BPR tidak mampu melakukan penyehatan sesuai dengan ketentuan. Bahkan kemudian muncullah masalah kecurangan (fraud) di permukaan.
Baca juga: Di Balik Niat Baik Konsolidasi BPR Terselip Kegamangan
Oleh karena itu, BPR perlu meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). GCG itu meliputi transparansi, akuntabilitas, pertanggungawaban, independensi dan kewajaran.
Tentu saja, GCG juga termasuk penataan manajemen, manajemen risiko dan pengendalian internal dalam melaksanakan usahanya. Hal itu bertujuan final untuk mendorong pengelolaan organisasi secara profesional, efisen dan efektif. Itu semua bertujuan untuk menggenjot kinerja.
Keempat, BPR pun wajib menggenjot modal inti seiring dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR. POJK itu mewajibkan BPR untuk memiliki modal inti minimum. BPR dengan dengan modal inti kurang dari Rp 3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.
Ringkas tutur, kini tempo tinggal 9 bulan lagi untuk memenuhi kewajiban itu. Ingat bahwa modal bermanfaat sebagai bantalan (buffer) untuk mampu menyerap aneka risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas. Modal pun bermanfaat sebagai pedang untuk memenangi persaingan perbankan terutama dalam segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Kelima, untuk itu, saatnya BPR menerbitkan saham perdana (initial public offering/IPO) sesuai dengan restu UU P2SK. Go public itu bukan hanya bertujuan untuk mengerek modal, namun juga untuk meningkatkan daya saing. Bahkan hal itu juga dapat meningkatkan penerapan GCG mengingat makin banyak mata bisnis yang mengawasinya.
Keenam, BPR pun wajib menyediakan produk dan jasa perbankan berbasis digital. Jurus itu mendesak dan penting diwujudkan untuk memanjakan milenial dalam melakukan transaksi keuangan.
Ketujuh, untuk itu, BPR juga perlu meningkatkan kompetensi SDM untuk lebih menguasai teknologi informasi. Hal itu bertujuan untuk menggeber daya saing dalam era perbankan digital.
Tidak hanya itu. BPR pun wajib memiliki buku pedoman perusahaan (BPP) (standard operating procedures/SOP) seperti bidang perkreditan, sumber daya manusia (SDM), pengawasan dan umum. BPP harus tertulis bukan lisan sehingga menjadi pedoman dalam menjalankan aneka bisnis operasional dengan baik dan benar. BPP boleh dikatakan sebagai “buku pintar” dalam melakukan bisnis.
Setiap kali muncul kebijakan baru OJK sudah seharusnya diterjemahkan dan dijabarkan menjadi BPP yang sederhana sehingga mudah dipahami dalam pelaksanaannya. Tampaknya, belum semua BPR mampu melakukannya. Oleh karena itu, BPR dapat menggandeng bank pemerintah dalam menyusun BPP. Sudah barang tentu, “tidak ada makan siang gratis”.
Kedelapan, penerapan GCG yang belum berjalan sebagaimana mestinya dan keterbatasan SDM dapat mendorong kenaikan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Tengok saja, NPL kini tampak memburuk dari 7,89% per Desember 2022 menjadi 9,87% per Desember 2023.
Rasio NPL tersebut sudah hampir mendekati dua kali ambang batas aman 5%. Dengan bahasa lebih lugas, kenaikan NPL setinggi bagai menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Apalagi outstanding kredit terus membubung tinggi.
Belum lagi ketika ada orang dalam BPR “bermain mata” dengan pihak lain di luar BPR sehingga lahirlah fraud. Jangan lupa bahwa pelaku fraud pada umumnya tidak akan bermain sendiri. Inilah tantangan serius dan mendesak bagi BPR kini dan di masa mendatang.
Kesembilan, selain itu, baru sebagian kecil BPR yang telah memiliki yuris atau ahli hukum-lulusan sarjana hukum-yang melaksanakan, meneliti dan mengkaji yurisprudensi. Untuk mencetak yuris yang andal, bank pemerintah-sebagai contoh-akan membutuhkan paling tidak dalam waktu 1 tahun untuk pendidikan dan pelatihan.
Ringkas tutur, BPR wajib memiliki yuris untuk menangani pelbagai produk dan jasa perbankan supaya sejalan dengan hukum yang berlaku. Hal ini menjadi demikian mendesak dan penting ketika jumlah BPR masih demikian banyak.
Kesepuluh, sejatinya berapa jumlah BPR sekarang ini? Ternyata, jumlah BPR telah mencapai 1.402 bank per Desember 2023 sekalipun sudah turun dari 1.441 bank per Desember 2022. Jumlah BPR yang terlalu banyak itu bisa mendorong pengawasan OJK kurang efektif. Hal itu ditambah pula oleh keterbatasan jumlah SDM OJK yang mengawasi BPR ketika dilakukan pengawasan langsung di tempat (on site).
Baca juga: Perkuat Industri BPR, OJK Terus Dorong Konsolidasi
Oleh karena itu, jumlah BPR perlu ditekan serendah mungkin. Bagaimana kiatnya? Konsolidasi BPR melalui merger dan akuisisi. Ini tantangan strategis bagi BPR dan OJK untuk segera menindaklanjuti.
Harap catat bahwa sesungguhnya industri perbankan BPR masih sangat menjanjikan. Mengapa? Lantaran, BPR diizinkan untuk memberikan suku bunga deposito hingga 6,75% yang berarti 2,50% di atas bank umum yang “hanya” 4,25% di bawah penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sungguh, hal ini merupakan kesempatan emas bagi BPR untuk menyedot DPK lebih tinggi di tengah kondisi likuiditas yang agak kering.
Sebagaimana diketahui bahwa selama ini LPS telah menetapkan tingkat suku bunga penjaminan untuk periode 1 Februari 2024 sampai dengan 31 Mei 2024. Namun nasabah bank harus senantiasa ingat syarat-syarat penjaminan LPS sebagai berikut. Satu, data diri dan daftar simpanan nasabah harus tercatat dalam pembukuan bank. Simpanlah semua bukti transaksi perbankan.
Dua, tingkat bunga yang diterima tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS. Perhatikanlah tingkat bunga penjaminan. LPS mengimbau nasabah bank agar bijak dalam menerima cashback dari bank.
Tiga, nasabah bank tidak melakukan tindakan yang merugikan bank. Misalnya, nasabah bank melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan atau membahayakan kelangsungan usaha bank.
Berbekal aneka faktor kunci keberhasilan demikian, transformasi BPR sangat diharapkan dapat berjalan mulus sehingga BPR semakin sehat dan gemerincing!
Penulis adalah Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo dan Staf Ahli Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya Jakarta
Jakarta - Pemerintah memastikan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan tipis dalam sepekan terakhir sebesar 0,48… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (25/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan melemah. Hal ini disebabkan… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Rabu, 25 November… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More