Keuangan

Survei PwC: Kejahatan di Sektor Keuangan Masih Meningkat

Jakarta–Meskipun jumlah investasi pada kepatuhan atau compliance meningkat drastis dan berada di bawah pengawasan ketat para pembuat kebijakan, angka kejahatan ekonomi di sektor Jasa Keuangan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran baru diperlukan agar investasi pada kepatuhan memberi nilai lebih dan dapat memberantas kejahatan ekonomi.

PwC yang mencermati bagaimana sektor Jasa Keuangan (baik Perbankan, Pasar Modal dan Asuransi) menangani kejahatan ekonomi. Jasa Keuangan sejak lama telah terbukti sebagai sektor yang paling terancam oleh kejahatan ekonomi, karena sektor ini melayani kebutuhan keuangan industri lainnya.

Dalam survei yang dirilis tahun ini, 46% dari 1.513 responden sektor Jasa Keuangan pada survei kejahatan ekonomi PwC melaporkan bahwa mereka menjadi korban kejahatan dalam waktu 24 bulan terakhir, meningkat dari 45% dalam survei yang lalu. (2014). Angka ini melampaui rata-rata dunia untuk industri ini dengan selisih sebesar 10% (46% vs 36%).

Hal ini berarti bahwa industri jasa keuangan belum berhasil mengurangi secara substansial tingkat kejadian kejahatan ekonomi yang dilaporkan selama tujuh tahun, meskipun tingkat investasi pada kepatuhan melampaui dunia bisnis secara luas. Biaya yang ditimbulkan karena dampak kejahatan juga meningkat dengan 46% menderita kerugian senilai hingga $100.000 untuk setiap kejahatan (40% pada tahun 2014), dan nyaris seperempat (24%) menderita kerugian antara $100.000 – $1 juta (23% pada tahun 2014).

Menangani kejahatan ekonomi dan membuktikan maksud positif kepada pembuat kebijakan mengartikan bahwa sektor Jasa Keuangan meningkatkan pengeluaran untuk kepatuhan. Namun, peningkatan pengeluaran ini tidak kemudian menurunkan angka kejahatan ekonomi.

• 16% dari mereka yang melaporkan telah mengalami kejahatan ekonomi sudah mengalami 100 insiden, sementara 6% telah mengalami lebih dari 1.000 insiden.

• Laporan kejahatan siber meningkat 10% (49% responden telah mengalaminya), dan informasi orang dalam 6% (dari 4% menjadi 10%)

• 53% responden melaporkan bahwa pengeluaran mereka agar dapat melawan kejahatan ekonomi meningkat – 55% memperkirakan jumlah pengeluaran akan terus naik.

• 37% responden jasa keuangan menyatakan mereka terdampak oleh kejahatan siber dalam waktu 24 bulan terakhir.

• 33% responden kami mengungkap bahwa kualitas data masih dapat membatasi kepatuhan terhadap peraturan anti pencucian uang

• Sektor Jasa Keuangan juga sedang menghadapi kurangnya tenaga ahli profesional di bidang kepatuhan, khususnya pada aspek-aspek seperti kepatuhan terhadap ketentuan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Teroris, untuk memandu memahami dan mengelola risiko kejahatan ekonomi yang saling terkoneksi.

• Meskipun 58% penipuan dilakukan oleh pelaku eksternal, lebih tinggi dibandingkan rata-rata sebesar 41%, di sektor Jasa Keuangan 29% dilakukan oleh pelaku internal – biasanya jajaran manajemen junior dan menengah – meskipun 14% berasal dari manajemen senior.

Perusahaan jasa keuangan berupaya keras agar dapat bergabung dengan titik strategis di tengah volume, kerumitan dan variasi kejahatan ekonomi.

Andrew Clark, EMEA Financial Crime Leader, PwC mengatakan, pemikiran baru diperlukan agar investasi pada kepatuhan dapat memberikan nilai dan kejahatan ekonomi dapat dihadapi dengan lebih efektif. Terdapat kebutuhan dalam industri ini, akan pendekatan dan teknologi baru agar dapat dengan efektif menyasar aspek dengan risiko terbesar.

“Budaya adalah aspek yang menjadi fokus setelah terjadinya krisis keuangan dan hal ini harus berlanjut ke perilaku kepatuhan yang tertanam lebih kuat terus ke dalam pusat perusahaan. Pembuat kebijakan juga memiliki peran kunci, menjaga agar peraturan dapat mengikuti perkembangan teknologi dan mendorong cara yang inovatif untuk menghadapi kejahatan,” kata Clark dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 11 Agustus 2016.

Elizabeth Goodbody, PwC Indonesia Financial Crime Advisor, berkomentar survey global PwC menyoroti sejumlah isu yang dapat kita lihat di pasar Indonesia.

“Misalnya, dari responden di seluruh dunia hanya 1 dari 5 responden yang pernah melaksanakan penilaian risiko penipuan -kita seringkali melihat di Indonesia bahwa fokus pada penipuan baru akan dilakukan setelah penipuan signifikan terjadi. Terdapat banyak pertanyaan yang harus diajukan Direksi untuk memahami kesiapan perusahaan untuk memerangi kejahatan ekonomi,” tambahnya. (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

admin

Recent Posts

HSBC Cetak Pertumbuhan Dana Kelolaan Nasabah Tajir Rp10 Triliun di Kuartal III 2024

Jakarta – PT Bank HSBC Indonesia (HSBC Indonesia) mencetak pertumbuhan dana kelolaan nasabah kaya (afluent) menembus… Read More

17 mins ago

Dampak Kemenangan Trump di Pilpres AS bagi Indonesia: Untung dan Ruginya

Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina Samirin Wijayanto, menilai bahwa kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 membawa dampak… Read More

17 mins ago

OJK Sebut 4 Elemen Ini Jadi Kunci Regulasi Keamanan Siber

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti perkembangan digitalisasi yang semakin canggih, memudahkan, dan lebih… Read More

1 hour ago

Trump Menang Pilpres AS, BCA Cermati Dampaknya ke Pasar Keuangan

Jakarta – Direktur BCA Haryanto Budiman menilai kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 dapat… Read More

1 hour ago

IHSG Ditutup Ambles 1,90 Persen ke Level 7.243, 362 Saham Merah

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 7 November 2024, ditutup ambles… Read More

3 hours ago

Dukung Digitalisasi Bisnis, Unifiber Luncurkan NOC Berskala Internasional

Jakarta - Unifiber, lini bisnis infrastruktur digital di bawah naungan PT Asianet Media Teknologi (Asianet),… Read More

3 hours ago