Expertise

Stop! Kriminalisasi Kredit Macet di Tengah “Oksigen” Kucuran Rp200 Triliun

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank

KREDIT macet masih saja dilihat merugikan negara atau korupsi. Isu ini menyentuh persimpangan rumit antara kegagalan bisnis (business judgment) dan tindak kriminal (criminal act). Menyamakan semua kredit macet non-performing loan (NPL) dengan korupsi adalah simplifikasi yang berbahaya. Namun mengabaikan potensi malpraktik yang disengaja juga sama kelirunya.

Hari-hari ini, pemerintah dengan gagah berani mendorong mesin penggerak ekonomi melalui program penyaluran kredit senilai Rp200 triliun. Langkah ini adalah “oksigen” bagi dunia usaha, khususnya UMKM dan sektor produktif, untuk bangkit dan berlari pasca tekanan berbagai krisis.

Namun, niat mulia memberi “doping” ini akan terancam gagal jika kita abai terhadap fenomena memprihatinkan yang terjadi di hulu. Yaitu, maraknya kriminalisasi terhadap pengelola bank, khususnya bank-bank negara (BUMN), atas tuduhan korupsi dalam kasus kredit macet. Tidak hanya di bank-bank BUMN, pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) lebih “horor” lagi. Salah satunya adalah yang terjadi pada kredit macet PT Sritex.

Sedangkan di bank “pelat merah” — terakhir terjadi kasus kredit macet di Bengkulu (kredit yang sudah di-write off) dengan nilai jaminan tiga kali dari nilai kredit. Juga, beberapa kasus di berbagai daerah yang kembali marak, seperti di Palembang (karena lahannya terbakar) sehingga macet yang sebelumnya lancar kreditnya.

Jujur. Tuduhan ini seringkali dilayangkan, meskipun fakta menunjukkan bahwa pada saat kredit disalurkan, usaha debitur lancar, analisis kredit dilakukan secara benar dan procedural. Tidak ada unsur gratifikasi, dan kemacetan terjadi murni akibat risiko bisnis (force majeure) seperti kebakaran hutan, sengketa lahan, gejolak pasar global, atau pandemi yang tidak terduga.

Permasalahan utama, garis pemisah antara kedua hal ini seringkali kabur. Penegak hukum dan publik mudah terjebak pada hasil akhir yaitu NPL tinggi, tanpa membedakan proses dan niat di baliknya. Inilah inti permasalahannya. Tidak semua NPL adalah korupsi. Lha, ini kok sedikit-sedikit kredit macet dianggap merugikan negara dan memperkaya orang lain.

Tidak Semua Kredit Macet Itu Korupsi

Jadi, perlu memisahkan kredit macet biasa dari kredit macet koruptif. Menurut diskusi terbatas Infobank, kredit macet biasa (business risk). Penyebab, kondisi makroekonomi (resesi, inflasi, pandemi), perubahan regulasi, persaingan usaha yang tidak terduga, bencana alam, atau kesalahan analisis pasar yang dilakukan secara profesional dan beritikad baik.

Menurut diskusi terbatas Infobank, ada perbedaan yang mendasar. Pihak bankir memberikan kredit ketika usahanya lancar, dan pihak penegak hukum melihat dengan kacamata kuda ketika kredit sudah macet. Selama tujuh tahun lancar-lancar saja, misalnya. Tapi, karena lahannya terbakar dan kemudian kredit menjadi macet, maka disitulah awal bencana. Kredit macet ditarik dengan pasal merugikan negara, dan ini dinilai terlalu berlebihan dan terkesan mencari-cari kesalahan di tumpukan kredit macet.

Mengapa penegak hukum dinilai “kelewatan”? Tuduhan “kelewatan” atau overreach biasanya muncul karena beberapa alasan. Satu, hindsight bias (menganalisis dengan kemudian hari). Penegak hukum menggunakan pengetahuan saat ini (kredit ketika macet) untuk menilai keputusan yang dibuat di masa lalu (saat kredit diberikan usahanya lancar).  Ini tidak adil karena pada saat keputusan dibuat, berdasarkan informasi yang ada saat itu, keputusan tersebut diambil ketika saat itu.

Pertanyaannya adalah — apakah setiap kredit macet adalah bentuk korupsi? Jawaban sederhananya: Tidak. Dan menyamakan keduanya adalah sebuah kekeliruan paradigmatik yang berbahaya. Ibarat memvonis seorang nahkoda bersalah karena kapalnya diterjang badai yang tidak diprediksi oleh cuaca manapun.

Inilah titik kritis yang harus kita pahami bersama. Ada perbedaan fundamental antara kegagalan bisnis dan tindak pidana korupsi. Satu, kegagalan bisnis (business failure) dan kelalaian profesional (negligence). Jelas, ini adalah domain dari risk management dan tata kelola perusahaan (corporate governance).  Nah, jika suatu kredit macet karena analisis yang kurang mendalam atau prosedur yang terlewat, ini adalah persoalan disiplin internal bank, pengawasan komite kredit, dan fungsi audit.

Sanksinya adalah sanksi administratif, reputasional, dan finansial (misalnya, penurunan jabatan, pencopotan, atau tidak mendapat bonus). Dan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kewenangan penuh untuk menangani hal ini. Itu ranah internal dan bukan ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Apalagi, jika semua prosedur sudah dijalankan, tapi di tengah jalan terjadi kemacetan kredit karena faktor eksternal atau ekonomi, tentu bukan tindakan korupsi.

Dua, tindak pidana korupsi (criminal act). Ini adalah domain hukum yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan (intent to corrupt) dan unsur melawan hukum (against the law) untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum. Korupsi dalam kredit mensyaratkan adanya gratifikasi, suap, kolusi, atau mark-up yang disengaja dengan niat jahat (wilful misconduct).

Nah, menyamakan kategori pertama dengan kategori kedua adalah sebuah kriminalisasi. Ini ibarat menyamakan seorang dokter yang gagal menyelamatkan pasien karena penyakit yang sangat kompleks dengan seorang dokter yang sengaja meracuni pasiennya untuk warisan.

Penurunan permintaan kredit, selain, karena penurunan ekonomi, salah satu sebabnya adalah faktor kriminalisasi kredit macet ini  — yang makin hari makin banyak terjadi. Dan, seperti hasil diskusi terbatas Infobank dengan sejumlah bankir. Ketika para bankir hidup dalam bayang-bayang jeruji besi untuk setiap keputusan kredit yang berisiko—padahal esensi perbankan adalah mengelola risiko—maka respons alami mereka adalah risk aversion atau menghindari risiko sama sekali.

Apa implikasinya? Satu, bankir akan menjadi ultra-conservative. Mereka akan memilih menolak kredit yang berisiko sekalipun prospektus usahanya bagus, hanya karena takut dihukum pidana kelak jika kredit itu macet.

Dua, credit crunch di sektor riil. Jadi, program pemerintah Rp200 triliun akan mandek di level bank. Kredit hanya akan mengalir ke segelintir debitur “super prime” dengan kolateral berlebihan. Sektor-sektor yang paling membutuhkan, seperti UMKM dan startup inovatif yang secara alamiah berisiko tinggi, justru akan kesulitan mendapat pendanaan.

Tiga, talenta-talenta terbaik di industri perbankan akan berpikir dua kali untuk duduk di posisi pemberi keputusan kredit (loan approving officer). Mereka akan mencari posisi yang lebih “aman” secara hukum, meski tidak produktif bagi bank.

Pada akhirnya, yang menjadi korban adalah ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang didorong kredit akan tersendat, dan tujuan mulia pemerintah pun bisa buyar. Guyuran likuiditas Rp200 triliun ke perbankan hanya mengobati “dahaga” likuiditas semata. Tidak pada tujuan mulia, yaitu mendorong pertumbuhan kredit – yang terganjal persoalan kriminalisasi kredit macet.

OJK Berdiri di Barisan Depan

Apa yang harus dilakukan OJK? Peran sebagai “pembela” dan “pengawas” yang proporsional tentu punya peran strategis. Untuk itu, OJK tidak bisa berdiam diri. Sebagai regulator dan pengawas, OJK memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk melindungi industri perbankan dari kriminalisasi, sekaligus menjaga kesehatan industri itu sendiri.

Langkah-langkah strategis, dan berani harus diambil – apalagi dengan hadirnya Undang-Undang P2SK. Menurut Infobank Institute, ada empat langkah yang harus dilakukan agar tidak terus menerus kredit macet dinilai merugikan negara. Satu, memperkuat dan mensosialisasikan prudential banking principle dan business judgment rule.

Di situlah, OJK harus menjadi juru bicara utama yang menjelaskan kepada penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan) tentang prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Bahwa tidak setiap NPL adalah indikasi korupsi. Apalagi, UU BUMN tahun 2025 juga menyebut kredit macet bukan merugikan negara jika karena risiko bisnis.

Sementra business judgment rule adalah konsep hukum yang melindungi pengambil keputusan korporat selama keputusan tersebut diambil: (a) secara itikad baik, (b) dengan wajar (diligence), (c) didasarkan pada informasi yang memadai, dan (d) untuk kepentingan korporasi. OJK harus aktif mendorong penggunaan paradigma ini dalam penyidikan kasus perbankan. 

Dua, menerbitkan regulatory sandbox dan panduan khusus untuk pembedaannya. Misalnya, OJK perlu menerbitkan pedoman atau peraturan yang secara jelas membedakan antara kelalaian administratif yang berujung pada sanksi perbankan dan tindak pidana yang wajib dilaporkan ke penegak hukum. Dan, pedoman ini akan menjadi alat bagi bank dan menjadi referensi kuat bagi penegak hukum untuk tidak melakukan penyidikan yang tidak perlu (overcriminalization).

Tiga, OJK berdiri di barisan depan sebagai “friend of the court”. Dalam kasus-kasus di mana bankir dikriminalisasi untuk kredit macet yang jelas-jelas disebabkan force majeure, OJK harus berani hadir di persidangan sebagai ahli dan pihak yang memberikan keterangan (amicus curiae) untuk menjelaskan sisi teknis perbankan dan bahwa prosedur telah dijalankan dengan benar.

Empat, memperkuat fungsi pengawasan internal dan whistleblowing system. Di sisi lain, OJK harus semakin ketat mengawasi bank untuk memastikan analisis kredit memang dilakukan secara benar dan prosedural. Sistem pelaporan (whistleblowing) untuk indikasi suap atau gratifikasi harus diperkuat. Dengan demikian, OJK memiliki data yang kuat untuk membela bankir yang clean dan menindak tegas bankir yang memang bersalah.

Stop! Kriminalisasi Kredit Mecet

Akhirnya, program kredit Rp200 triliun adalah “bensin” untuk mesin ekonomi Indonesia. Namun, bensin itu tidak akan terbakar jika tidak ada pematiknya. Pematik itu adalah keberanian para bankir untuk mengambil keputusan yang berisiko namun terukur. Tindakan aparat penegak hukum yang gegabah melihat kredit macet sebagai tindakan korupsi secara tidak langsung adalah bentuk “teror” bagi para bankir.

Jujur saja. Seberani-beraninya seorang bankir, tentu takut dikriminalisasi, jika tujuh tahun kemudian terjadi kredit meski karena kondisi pemburukan ekonomi, atau kondisi darurat seperti kebakaran misalnya.

Sudah seharusnya menghentikan budaya menyalahkan (blame culture) dan kriminalisasi atas setiap kegagalan. Kegagalan adalah bagian dari proses belajar dan bagian inheren dari dunia bisnis. Langkah yang baik adalah meminimalisirnya, bukan menghukumnya secara pidana.

Berharap. Please! Seperti harapan para bankir, OJK harus menjadi benteng pertama yang melindungi industri perbankan dari kesalahpahaman hukum ini. Dengan langkah-langkah di atas, paling tidak OJK tidak hanya melindungi bankir, tetapi yang lebih penting, melindungi “nyawa” program pemerintah dan masa pemulihan ekonomi Indonesia.

Dan, musim kriminalisasi kredit macet yang marak di daerah-daerah, dan bahkan kreditnya sudah di-write-off dengan jaminan yang lebih besar pun masih dituduh merugikan negara. Para bankir yang sudah menikmati masa pensiun tujuh, atau sembilan tahun pun terpaksa harus menginap di “Hotel Prodeo”.

Di sinilah pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan juga harus menyadari dan membantu mengomunikasikan kepada pihak aparat penegak hukum, salah satu perlambatan kredit bisa dilihat dari sisi ini. Untuk apa mengalirkan kredit jika “beternak” di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Berharga Negara (SBN) masih nikmat, tanpa risiko.

Jadi, langkahnya semua pihak, OJK, BI, para penegak hukum, pemerintah dan bahkan presiden konsen terhadap masalah kriminalisasi kredit macet ini. Sebab, inilah waktunya untuk mendorong ekonomi dengan memanfaatkann kucuran Rp200 triliun menjadi kredit.

Jangan sampai karena maraknya kriminalisasi kredit macet ini, bank-bank akan makin “malas” mengucurkan kredit. Dan, makin doyan menikmati gurihnya SBN dan SRBI. Modalnya hanya satu mencari dana murah, dan semurah-murahnya. Untuk apa menyalurkan kredit, jika toh lima atau tujuh tahun lagi macet dan kena pasal korupsi.

Stop! Kriminalisasi kredit macet. Jangan lagi dijadikan target atas nama pemberantasan korupsi. Sebab, menjadikan bankir sebagai target pemberantasan korupsi merupakan salah alamat, dan mengganggu program pemerintah yang sudah memberi “oksigen” Rp200 triliun ini.

Galih Pratama

Recent Posts

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

21 mins ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editor’s Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

53 mins ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

1 hour ago

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI, Bukti Peran Strategis dalam Stabilitas Ekonomi RI

Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More

2 hours ago

Segini Kekayaan Menhut Raja Juli Antoni yang Diminta Mundur Anggota DPR

Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More

2 hours ago

DJP Tunjuk Roblox dan 4 Perusahaan Digital Jadi Pemungut PPN, Ini Rinciannya

Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More

2 hours ago