Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan sistem keuangan di Indonesia tetap stabil dan terjaga di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua KSSK mengatakan, tekanan perekonomian global yang meningkat sebagai akibat berlanjutnya perang di Ukraina-Rusia dan tekanan inflasi global serta adanya respon pengetatan kebijakan moneter global yang cenderung lebih agresif.
“Daya tahan stabilitas sistem keuangan kuartal II 2022, menjadi pijakan bagi KSSK untuk tetap optimis namun juga terus mewaspadai berbagai tantangan dan risiko yang sedang dan akan terus terjadi dan kami hadapi,” ujar Sri Mulyani dalam press conference KSSK di Jakarta, Senin, 1 Agustus 2022.
Menurutnya, perbaikan ekonomi domestik pada kuartal II 2022 diproyeksikan masih akan terus berlanjut karena ditopang oleh meningkatnya konsumsi, investasi dan kinerja ekspor. Berbagai indikator dini pada Juni 2022 tercatat tetap baik seperti Indeks Penjualan Riil (IPR) yang tumbuh 15,4% (yoy) serta PMI Manufaktur yang masih ekspansif dan mengalami penguatan dari 50,2 pada Juni ke 51,3 pada Juli.
“Konsumsi listrik terutama untuk industri maupun bisnis juga tumbuh positif dan kuat. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga meningkat pada level 128,2 dari posisi Maret yang waktu itu hanya di 111,0. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki optimisme terhadap prospek pemulihan ekonomi,” ungkapnya.
Meski perekonomian dan stabilitas sistem keuangan nasional masih terjaga, namun ada beberapa isu yang menjadi perhatian KSSK. Yakni pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, dan adanya peningkatan risiko stagflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global. Selanjutnya, tekanan inflasi global yang terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas.
“Ini Akibat berlanjutnya gangguan rantai pasok yang diperparah oleh berlanjutnya perang di Ukraina. Juga meluasnya kebijakan-kebijakan proteksionisme bidang pangan. Berbagai negara terutama AS telah merespon naik dan tingginya inflasi dnegan ketatkan kebijakan moneter,” ucapnya.
Baca juga : Menata Kembali Sistem Keuangan untuk Mempercepat Transisi Energi
“Berbagai negara terutama AS telah merespon naik dan tingginya inflasi dengan mengatakan kebijakan moneter dan juga lebih agresif dalam meningkatkan suku bunganya, sehingga menyebabkan pemulihan ekonomi di AS tertahan,” papar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, fenomena ini dapat memicu stagflasi. Pertumbuhan ekonomi negara maju seperti Eropa, Jepang, Tiongkok dan India diperkirakan akan bisa lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diterbitkan sebelumnya. Situasi ini juga disertai dengan makin meningkatnya kekhawatiran kemungkinan terjadinya resesi di AS dan di Eropa. (*)
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More