Jakarta – Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berpotensi mendisrupsi potensi pertumbuhan ekonomi digital. Hal tersebut terlihat pada Pasal 32A UU HPP yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setidaknya ada 3 dampak yang akan timbul akibat aturan ini. Pertama platform atau pelaku usaha karena mereka harus siapkan sistem dan melaporkan pajak yang dipungut. Kedua kepada merchant yang ada di platform dan yang ketiga adalah pemerintah. UU HPP khususnya terkait pengenaan pajak bagi platform marketplace tidak dapat diaplikasikan secara terburu-buru. Sebab beleid ini dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Ekonomi Digital, Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin Manangsang mengatakan, tren perkembangan sektor e-commerce harus didukung dengan penciptaan ekosistem ekonomi digital yang kondusif. Dalam hal ini termasuk regulasi dan kebijakan terkait perpajakan guna menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antar pelaku konvensional dan digital.
“Perdagangan melalui sistem elektronik merupakan keniscayaan yang harus kita kelola degan baik. Oleh karena itu arah kebijakan pajak yang akan diambil juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan marketplace dalam memperluas bisnis mereka,” ujarnya dalam diskusi publik Kamis, 22 September 2022.
Rizal Edwin menjelaskan, tahun 2021 lalu nilai ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar 70 miliar dollar atau sekitar 1.000 triliun rupiah. Tertinggi di kawasan ASEAN. Nilai tersebut diprediksi akan meningkat 2 kali lipat di 2025 dan akan terus naik hingga mendekati 5.000 triliun rupiah pada 2030. Adapun sektor yang menjadi penopang utama ekonomi digital kita adalah e-commerce dengan nilai transaksi mencapai 53 miliar dollar atau sekitar 750 triliun rupiah pada 2021 dan diperkirakan tumbuh hingga 104 miliar dollar atau sekitar 100 triliun rupiah pada tahun 2025.
Dia menambahkan, beberapa hal lain perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan optimalisasi penerimaan negara melalui kebijakan pajak e-commerce. Pertama, mewujudkan regulasi yang adil, kompetitif, berkepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan memiliki sistem yang baik. Kedua adalah mekanisme pemanfaatan teknologi dengan optimal terutama dalam mengintegrasikan teknologi yang mampu memudahkan publik melakukan kewajiban membayar pajak. Untuk itu dibutuhkan koordinasi dan juga kolaborasi yang solid antar berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, media dan masyarat guna mendukung terciptanya ekosistem ekonomi digital dan perpajakan yang sehat.
Direktur Eksekutif ISD, Devi Ariyani mengatakan, aturan baru tersebut dapat mengubah tatanan saat ini mengingat tidak jelas merchant mana yang bisa diterapkan PPN. Mereka juga tidak tahu mana yang sudah PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan belum. Belum jelas juga apa yang akan dilakukan pemerintah bila terjadi kelebihan pembayaran pajak. “Dampak seperti ini lah yang perlu diperhatikan,” ujarnya.
Karenanya Devi berkesimpulan bahwa penerapan HPP ini tidak dapat diimplementasikan secara terburu-buru karena dapat menimbulkan potensi masalah di lapangan. Selain itu, perlu juga diingat bahwa hubungan marketplace dan merchant adalah kemitraan, bukan hubungan kepegawaian yang memungkinkan marketplace memungut pajak dari mitra kerjanya.
“Yang kami khawatirkan, merchant-merchant ini kembali ke sektor informal atau keluar dari platform marketplace ketika aturan ini dijalankan. Akibatnya transaksi pun tidak tercatat. karena mereka kembali berjualan secara offline atau lewat jalur lain seperti socmed,” lanjut Devi.
Di kesempatan yang sama, Kepala Peneliti Indonesian Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Adrianto Dwi Nugroho menjelaskan Pasal 32A UU HPP menunjuk tiga pihak untuk pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak yakni marketplace, fintech dan content creator. Dimensi dari aturan ini masih prematur karena status dari merchant di marketplace yang rata-rata merupakan pelaku UMKM belum dapat ditentukan apakah termasuk PKP atau bukan.
“Pertanyaannya, apakah seller di marketplace ini layak atau tidak dipungut pajak? Mereka harus berstatus PKP jika akan dikenai pajak. Selain itu, banyak pelaku UMKM yang bergabung di lebih dari satu marketplace. Hal ini juga akan menimbulkan multitarif dalam pengenaan pajak kepada pelaku UMKM. Aturan ini belum siap diterapkan. Perlu pendalaman dan perlu perubahan dalam norma baik dalam PPh atau PPN,” ujarnya.
Menurutnya, jangan sampai Pasal 32A UU HPP ini belum memiliki fondasi yang kuat sehingga tidak akan menjadi regulasi yang bertahan lama. Dulu juga pernah ada regulasi soal PMSE, yang diterbitkan pada Desember 2018. Tapi pada 2019 dicabut. Adrianto mengingatkan, kadang pemerintah membuat regulasi terburu-buru dan sulit diterapkan di lapangan sehingga nanti colapse sendiri. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More